ARSITEKTUR PEMBANGUNAN KABUPATEN BEKASI UTARA (2): CHARACTER BUILDING
ARSITEKTUR PEMBANGUNAN KABUPATEN BEKASI UTARA (2):
CHARACTER BUILDING
Character building. Pembangunan karakter. Yakni konstruksi psikologis satu masyarakat yang dimiliki sebagai bagian melekat yang memengaruhi segala aspek kehidupan. Karakter ini yang menentukan sikap, visi dan kinerja masyarakat. Karakter ini bisa jadi tercipta dengan sendirinya. Tapi, bisa juga karakter ini dibangun secara sengaja, terarah dan terintegrasi dengan hal yang lain.
Pembangunan karakter akan menjadi pelengkap dari pembangunan fisik dan ruang. Fisik dan ruang selama ini cukup diperhatikan. Sayangnya, untuk pembangunan karakter belum tersentuh sama sekali. Di Pemda sudah ada Dinas Tata Ruang. Sudah ada RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Untuk karakter belum ada RUTK (Rancangan Umum Tata Karakter).
Sejatinya, konstruksi karakter menjiwai setiap ciri pembangunan fisik satu wiayah. Sehingga ketika seseorang masuk ke Bekasi, orang langsung ‘menyelam nyaman di ruang Bekasi’. Ini kan tidak. Masuk ke Bekasi tidak ada bedanya dengan masuk Jakarta. Sulit membedakan. Mana Jakarta mana Bekasi. Wajar kemudian kalau kita pergi ke Luar Negeri. Kalau ditanya, Anda darimana? Kita langsung menjawab spontan dari Jakarta. Jakartanya mana? Kita langsung jawab Jakarta sebelah Timur. Sonoan dikiiit…padahal mah tinggalnya di Babelan….(he..he..he..ini mah pengalaman penulis)
Salah satu contoh wilayah yang pas mengedepankan pembangunan karakter adalah Bali. Dengan semangat Hinduismenya, Bali bisa tampil dengan komersialisasi budaya yang semakin memperkuat kehadiran karakter Bekasi. Bahkan, mereka bersatu mati-matian untuk menolak UU Pornografi. Saya yakin kalau mereka ke luar negeri dan ditanya draimana asalnya, dengan gagah perkasa pasti dia jawab, “Saya dari Bali….”
Contoh lain barangkali Yogyakarta. Walau, beberapa masa terakhir ini banyak yang mengritik pembangunan yang ada menghapus memori orang Yogya, namun tetap saja dibandingkan pembangunan di Bekasi.
Sebagai pemerhati dan berusaha mendalami karakter orang BEkasi, saya tarik dengan dua hal yang memengaruhi hitam putihnya Bekasi. Tiga hal tersebut adalah Kaum Pesantren (santri) dan Jagoan (jawara). Karakter santri dan jawara ini melekat kuat dalam diri orang Bekasi.
SANTRI
Sifat varian dari santri intelektual dan santun. Intelektual bermakna pula orang Bekasi itu memiliki tradisi ilmu yang kuat. Hobi dengan ilmu. Senang menimba ilmu. Senang berwacana dan berdiskusi. Tak alergi dengan kritik, masukan dan perbedaan. Ruang-ruang public diisi dengan forum-forum terbuka untuk berbicara bebas. Apa saja.
Tak mustahil kemudian ada figure semacam KH Noer Alie. Seorang pecinta ilmu dan pendiri Pesantren Attaqwa, Ujung Harapan. Ada lagi KH Muhajirin yang intelektualitasnya menyangkut ilmu falaq mendapat apresiasi yang tinggi di dunia ilmu perfalakan. Selain itu ada juga KH Muchtar Tabrani di Kaliabang Nangka dan KH di CIkarang.
Maka warna santri Bekasi pun unik. Punya kemandirian sikap. Attaqwa misalnya. Tidak bisa dikatakan mereka itu NU atau Muhammadiyah atau apa pun. Attaqwa BEkasi ya… Attaqwa. Punya karakter sendiri beda dari yang ada.
Kaum santri ini yang mewarnai perjalan sejarah Bekasi. Dengan sebutan ‘guru’. Mereka menjadi pemimpin informal yang mengendalikan masyarakat. Apa pun kata Bupati, harus sesuai dengan apa kata Kiai. Orang BEkasi lebih taat ke Kiai dibanding ke aparat. Ketaatan ini merasuk ke dalam sumsum tulang nurani orang BEkasi sehingga menciptakan mitos tersendiri. Pernah ada kejadian, Kiai Noer Alie melarang warga nyetel TV pas malam Ramadhan saat tarawih. Antara jam 19.00 – 20.30 wib. Ternyata ada yang melanggar, eh, TV-nya langsung meleduk.
Sifat santri ini tidak hanya melekat di kalangan guru, murid, orang yang mondok. Apa pun profesi mereka, sebagai kata benda, sifatnya adalah santri. Pedagang rambutan yang santri. Tukang sadoh yang santri. Guru yang santri. Makelar yang santri. Petani yang santri. Anggota dewan yang santri. Birokrat yang santri.
“Biar kata cuman tukang rambutan, kalo lo hina agama gue, gue belek tenggorokan lo,” gitu kata pedagang rambutan yang santri.
“Saya guru yang santri, makanya saya mencoba professional menjadi pendidik,” kata guru yang santri.
“Gue PNS, gaji kecil cuman kalo urusan korupsi, NO WAY Bus way!” tekad birokrat santri. Atau ada Camat yang manggil lurahnya dan berkata, “Lo jangan kurang ajar jadi Lurah, udah dipilih rkayat tapi gak mikirin rakyat. Masa desa lo gelap kagak ada listrik. Padahal Lippo kan deket dari sini.”
JAWARA
Jawara ini sifat gentleman dan jantan orang Bekasi. Berani membela kebenaran. Berani mengakui yang benar. Berani melawan kedzaliman dan kelaliman. Berani menyatakan TIDAK ketika mayoritas orang mengatakan YA untuk kelaliman.
Page 1 of 2 | Next page