Bekasi, The City of Pluralism
Artikel Sunday, February 14th, 2010 938 views
Mesjid dan mungkin juga tempat ibadah lainnya, menjadi muara pluralism yang memutus sekat-sekat primordialisme
Sehabis sholat maghrib berjamaah, sebagian jamaah Mesjid Baitul Jihad, sering ngobrol ngalor ngidul di pelataran mesjid, sambil menunggu waktu sholat Isya. Diskusi antar warga yang tidak bermoderasi ini betul-betul demokratis. Setiap orang boleh berbicara tentang isu apa saja, mulai isu yang berat-berat, seperti pluralisme agama sampai obrolan ringan tentang anak dan istri di rumah.
Guyub dan akur ! Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi diskusi warga yang penuh dengan kehangatan. Mesjid menjadi muara dari berbagai pandangan ideologi politik, status sosial dan kesukuan. Semuanya melebur menjadi satu, tanpa memandang perbedaan yang hanya membuat kotak-kotak sosiologis di antara warga.
Ini adalah gambaran kecil dari sebuah komunitas yang tidak lagi membedakan asal usul ras, etnis dan status sosial. Miniatur dari sebuah bangsa pluralis yang bernama Indonesia. Mereka hanya menggunakan satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Ini persis syair yang sering dilantunkan oleh Raja Dangdut Oma Irama.
Ada Jawa……. Ada Sumatra……. ada Ambon…..Ada Papua….(karena bukan penggemar berat Bang Hadji, saya tidak hapal seluruh syair lagu ini)
Semuanya duduk bersila dan berdiskusi tentang isu-isu yang sedang hot di negeri ini atau hanya sekedar ngobrol ringan yang diselengi dengan guyonan. Begitu indahnya perwujudan bhineka tunggal ika yang sering saya lihat di pelataran mesjid setiap habis sholat berjamaah. Tidak ada lagi loyalitas semu kedaerahan yang beberapa tahun lalu marak di berbagai daerah. Ini adalah wujud nyata dari sila ketiga Pancasila, persatuan dan kesatuan Indonesia. Beragam asal daerah, dapat hidup berdampingan dengan damai, tanpa muncul konflik yang serius di antara warganya.
Makna Pluralisme
Keberagaman atau pluralitas merupakan gejala sosial yang dapat ditemui di berbagai kehidupan masyarakat, di manapun negaranya. Saya kira, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang hanya dihuni oleh masyarakat yang homogen. Bahkan negara yang memiliki keprcarcayaan yang tunggal juga memiliki perbedaan dalam penafsiran keberagamaannya. Indonesia, sebagai negara kepulauan, sejak awal sudah mendeklarasikan sebagai bangsa yang memiliki keberagaman ras, etnik, agama, dan kebudayaan.
Meskipun paham pluralisme mengandung kontroversi pada saat ini, terutama setelah Majlis Ulama Indonesia mengharamkan paham Pluralisme Agama, namun paham ini terus hidup dalam keseharian masyarakat. Bahkan sejak mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan panggilan Gus Dur meninggal dunia, istilah pluralisme makin merebak dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Diskursus tentang pluralisme, yang dibarengi dengan pengelompokkan yang pro dan kontra, semkin kencang ketika Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Pluralisme. Hal yang wajar dalam negara yang demokratis
Dalam konstruk teoretis Mochtar Pabotinggi (2008), pluralitas adalah kondisi yang niscaya pada tiap masyarakat atau kolektivitas, bagi yang paling homogen sekalipun. Pluralitas, masyarakat dan kolektivitas dengan demikian bisa dipandang searti. Esensi pluralisme dalam masyarakat modern adalah upaya bersama untuk menegakkan keadilan (equality) dan kemerdekaan (freedom) dalam kebersamaan.
Pada masa yang lalu, bahkan sejak sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pluralisme lebih dikenal sebagai kebhinekaan. Bhineka Tunggal Ika diartikan sebagai berbeda-beda tapi tetap satu. Berbeda-beda suku bangsa, agama, bahasa dan adat istiadat yang melingkupi seluruh Nusantara, namun pada hakekatnya satu jua yang terwujud dalam NKRI.
Ketika paham pluralisme diadopsi oleh rezim Orde Baru, maknanya mulai berubah menjadi kesatuan dalam pemaksaan. Rezim Orde Baru menerapkan secara membabi buta konsep negara kesatuan. Dalam pandangan J. Sumardinata (2000), Semangat menjunjung persatuan di atas keragaman (E Pluribus Unum) tergelincir ke dalam budaya penyeragaman. Tak heran bila Orde Baru, sebagaimana Imperium Romawi atau Kekhalifahan Turki Usmani, tak bisa mengelak dari hukum besi sejarah disintegrasi. NKRI di zaman Orde Baru tak beda jauh dengan rezim totaliter Uni Soviet. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika direduksi jadi “Bhinneka Tinggal Ika.”
Negara kesatuan dalam konteks rezim Orde Baru, seperti yang telah diprediksi banyak pakar, terbukti menyimpan bom waktu disintegrasi. Kebijakan ekonomi dan politik Orde Baru tidak hanya menafikan keanekaragaman daerah, juga didesain seragam, militeristik, sentralistik, dan top-down. Meminjam pandangan Sumardinata, pola pembangunan yang diterapkan di daerah bukan menetes ke bawah (trickle down effect) tetapi menggunakan teori pipa kapiler (diserap ke atas).
Ketika gerakan reformasi muncul pada tahun 1998, berbagai elemen masyarakat seakan-akan memperoleh band width kebebasan yang tidak diperoleh sebelumnya. Ruang pembelajaran yang sangat minim, membuat kebebasan menjadi kebablasan. Pada era ini keberagaman (pluralisme) mengahadpi tantang yang sangat berat. Di berbagai daerah muncul sentimen primordial sebagai bentuk perlawanan terhadap pluralisme, baik di bidang politik, ekonomi maupun agama.
Isu tentang penduduk asli atau pribumi sangat kental mewarnai perjalanan di era reformasi. Setiap hajatan politik nasional maupun Pilkada, isu ini menjadi bahan kampanye yang popular di kalangan para politisi. Berbagai kelompok kepentingan yang mengusung isu lokal tumbuh subur di berbagai daerah. Namun lebih banyak isu primordial dimanfaatkan untuk menempatkan pada kursi kekuasaan ketimbang untuk mengakselerasi pembangunan di daerah. Karena itu, tidak berlebihan kalau di tengah perjalanan transisi demokrasi era reformasi, pluralisme menghadapi tantangan yang sangat kuat dari kelompok-kelompok yang kontra dengan mengkombinasikan bersama isu primordial.
City of Pluralism
Pemerintahan Kota Bekasi relative masih seumuran jagung. Dibentuk pada tahun 1996, hingga saat ini telah berkembang pesat menjadi kota bernuansa metropolitan. Berbagai mal dan perumahan banyak dibangun di berbagai pelosok kota. Bahkan sebentar lagi Kota Bekasi akan memiliki hunian berkelas apartement.
Diferensiasi profesi penduduk sudah semakin lebar. Berbagai profesi dapat ditemukan dengan mudah di kota ini. Begitu pula keragaman penduduknya, baik dari sisi sosiologis, budaya maupun agama, hidup berdampingan sejak lama. Penduduk asli atau lebih dikenal dengan sebutan Bekasi Asli pun menerima berbagai perbedaan dengan tangan terbuka. Walaupun di sebagian wilayah muncul konflik bernuansa SARA, sampai saat ini belum terdengar konflik yang berkepanjangan dan mengancam ide pluralisme.
Penduduk Kota Bekasi cukup dewasa menerima berbagai perbedaan pandangan ideologi, agama dan kultur masing-masing warganya. Kesenian Barongsay dapat bebas ditampilkan bersanding dengan Tari Topeng. Begitu pula anak-anak sekolah bisa bebas belajar di berbagai sekolah tanpa ada pembatasan sekat-sekat sosiologis. Hampir semua suku atau ras ada dan tinggal di Bekasi. Kita dengan mudah menemukan rumah orang Korea berdampingan dengan warga yang berasal dari Sumberejo Malang. Begitu indahnya keberagaman yang ditampilkan oleh warga Bekasi.
Karena itu sangat layak kalau Bekasi juga disebut sebagai Kota Pluralisme, selain sebutan Kota Patriot. Pluralisme di sini tidak diartikan terbatas pada pemahaman ajaran suatu agama. Tapi pluralisme dalam arti yang luas. Pluralisme juga tergambar dalam sosok birokrasi yang tidak lagi mengandalkan sekat-sekat daerah asal maupun agama. Ini lah yang mungkin digambarkan oleh Weber sebagai birokrasi rasional., sebagai ciri birokrasi modern.
Di usia yang menginjak 14 tahun, Kota Bekasi terus berbenah diri menampilkan sosoknya sebagai Kota bervisi modern. Modern tidak hanya ditampilkan dalam arsitektur gedung, tapi yang paing penting adalah perilaku masyarakatnya yang semakin terbuka menerima berbagai pandangan.
Selamat Ulang Tahun bekasi.
Salam Beblog, Kemang Pratama
Tulisan ini juga diposting di sini


setuju kang Harun…..
mungkin kita harus membedakan antara pluralitas dan pluralisme…
pluralitas: mengakui adanya perbedaan. Bahwa kita berbeda gitu lhooo…
pluralisme, paham yang menganggap keyakinan orang lain juga benar. Ini kan gak mungkin. Penganut Hindu harus meyakini Hindu sebagai yang paling benar. Tentu kemudian tidak represif.
saya setuju kalao dikatakan Bekasi Kota Plural. Tapi bukan pluralisme. Kita meyakini keyakinan kita. Dengan toleransi da penghargaan terhadap keyakinan orag lain…..
[Reply]
eshape Reply:
February 14th, 2010 at 7:34 PM
@komarudin ibnu mikam,
kalau para ahli sudah bicara, maka yang tidak ahli sebaiknya ndengerin saja
jangan sampai komentar malah salah
kalau tidak bisa memberikan kata-kata yang manfaat lebih baik diem saja
salam
[Reply]
mharunalrasyid Reply:
February 14th, 2010 at 9:03 PM
@komarudin ibnu mikam, setuju bang komar……..karena itu saya mencoba berhati-hati tidak masuk dalam pluralisme agama…dalam konteks ini saya tidak sepakat kalau semua ajaran itu sama menyembah yang maha tunggal, walau pun dalam konteks toleransi. toleransi lebih bermakna dalam konteks urusan duniawi.
[Reply]
karena perbedaan membuat hidup lebih berwarna… *komen terpendek dari komen2 diatas
*
[Reply]