Home » Buku, Resensi » Kabar Tak Biasa, Tapi Luar Biasa, Ala Orang Biasa

Kabar Tak Biasa, Tapi Luar Biasa, Ala Orang Biasa

BUKUPANYINGKULJudul Buku : Makassar Di Panyingkul (Pilihan Kabar Orang Biasa 2006-2007)

Pengantar : Nirwan Ahmad Arsuka

Penerbit : Panyingkul, Cetakan Pertama, Juli 2007

Penyunting : Lily Yulianti Farid dan Farid Ma’ruf Ibrahim

Halaman : 366 Halaman

Bila anda hanya orang biasa, bukan wartawan atau pekerja media yang kerap berkutat-secara professional– dengan berita serta tetek bengek penayangannya, janganlah sungkan memberi kabar di Panyingkul dot com. Sebuah “sudut tak biasa” di dunia maya yang memberi bentangan ruang begitu luas bagi pewarta warga(Citizen Reporter) untuk berekspresi, berimpresi dengan segenap gairah serta beragam sentuhan emosi untuk mengabarkan banyak hal yang mungkin saja tak tersentuh bahkan malah “diabaikan” oleh Media Mainstream. Kabar yang menjadi sebuah representasi aktual atas praktek demokrasi partisipatif yang melibatkan warga biasa dengan tidak hanya bercerita dan melaporkan namun juga berbagi kesan, sekaligus berdialog secara interaktif dengan para pembaca, memanfaatkan teknologi internet. Lepas dari elitisme dan keangkuhan media mainstream yang kerap kali “terdikte” oleh “otoritas” sang pemilik media , “kecenderungan” orientasi pasar pembaca atau “sponsor” pesanan untuk pihak-pihak tertentu.

Adalah The Private Editors di Tokyo yang dimotori oleh suami isteri Farid Ma’ruf Ibrahin dan Lily Yulianti Farid, Moch.Hasymi Ibrahim serta Nesia Andriana dibantu oleh sejumlah kawan lain menggagas lahirnya situs ini di bulan April 2006. Nama Panyingkul yang dalam bahasa Bugis Makassar berarti perempatan, pertemuan dua atau lebih titik, sebuah penanda persilangan segala arah ini, dipilih sebagai manifestasi persilangan ide dan gagasan yang riuh serta penuh gairah dari para pewarta warga serta jajaran pemerhati yang ikut terlibat didalamnya. Dan demikianlah 8 Mahasiswa dan penulis Makassar diajak bergabung serta bereksperimen pertama kali di Panyingkul.

Sebagaimana dikutip dari kata pengantar para “Tukang Urus Panyingkul” dihalaman awal buku ini, berbekal jurnal khusus mengenai citizen journalism yang diterbitkan oleh Nieman Foundation for Journalism, Harvard University 2005 serta mencermati model yang diterapkan oleh Ohmynews (www.ohmynews.com) media citizen journalism di Seoul Korea Selatan yang dinilai paling berhasil di dunia, maka para perintis awal Panyingkul menggelar satu demi satu kelas online . Delapan peserta yang kemudian disebut citizen reporter, dua orang editor, seorang web designer serta seorang media advisor bersama-sama mereka-reka seperti apa bentuk media yang akan dilahirkan ini. Melalui pengenalan citizen journalism dalam bentuk beasiswa penulisan dan kelas jurnalistik online, kedelapan citizen reporter pertama berhasil menghadirkan karya mereka pada publik tepat pada 1 Juli 2006, sebuah hari yang dipilih untuk meluncurkan situswww.panyingkul.com secara resmi.

Revolusi radikal di dunia teknologi informasi komunikasi saat ini menjadi momentum dashyat. Konsumen media yang selama ini duduk pada posisi obyek yang pasif justru menjelma menjadi kekuatan baru sebagai penyedia berita. Perkembangan media online, blog, user generated contents dan social networking system yang melaju sangat pesat memungkinkan siapapun menjadi pewarta, creator, bahkan produser sekalipun. Proses produksi media berbasis internetpun menjadi kian murah.
“Celah” inilah yang ditangkap oleh Panyingkul, apalagi setelah melihat hasil survey sederhana mengenai ekspektasi konsumen media di Makassar yang menyajikan fenomena surat kabar dan media penyiaran di Makassar lebih banyak menyajikan berita pernyataan pejabat, kegiatan seremonial, berita criminal dan politik, olahraga serta trend belanja masa kini. Nyaris tak ada perhatian mendalam terhadap berita-berita rakyat biasa yang terpinggirkan. Semangat untuk berbagi kabar-kabar “akar rumput” yang disajikan secara cerdas, bernas dan bermanfaat menjadi spirit jajaran pewarta warga di Panyingkul yang antara lain terdiri atas beragam profesi serta latar belakang pendidikan berbeda. Mulai dari siswa SMA, aktifis LSM, peneliti, mahasiswa yang baru lulus, penyair, seniman, pensiunan, manager serta karyawan perusahaan asing, warga di pelosok desa sampai para perantau asal Makassar diluar negeri yang sudah bertahun-tahun tidak mudik ke Makassar. Merekalah berada pada garda paling depan-dengan segenap gairah, empati dan inisiatif-mengabarkan dan menyajikan berbagai kisah yang luar biasa dari perspektif orang biasa.

Nirwan Ahmad Arsuka menggambarkan secara gamblang dan ekspresif “gairah berbagi kabar ala pewarta warga” pada prolog buku ini. “Lewat warta yang ditulis oleh orang-orang biasa ini, tulis Nirwan, “akan terdengar denyut nadi sebuah kota yang sanggup melihat dirinya apa adanya sambil terus membuka mata pada dunia luar, yang tak gentar meneliti koreng lukanya”.

Simaklah rangkaian cerita-cerita pilihan yang disajikan dalam 5 segmen berbeda di buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan satu tahun Panyingkul ini. Begitu terasa “denyut” dan daya gugah untuk para pembacanya. Nilam Indahsari menyajikan tulisan investigasinya mengenai mitos tujuh kuburan keramat yang konon berada di lapangan Karebosi Makassar secara renyah dan menarik. Pada tulisan yang lain, Nilam menyoroti secara kritis kawasan Pecinan (China Town) di Makassar yang dulu dikenal begitu sarat dengan tradisi dan upacara seni budaya yang unik serta bangunan arsitektural yang “beda” kini semakin pudar ciri khasnya karena bermunculannya bangunan-bangunan baru disekelilingnya.
Tulisan nyaris senada juga dipaparkan oleh Winarni. Mahasiswi arsitektur Unhas ini menuturkan kisah mengenai kawasan “Panakukkang” (berarti “yang dirindukan”) di Makassar yang dulunya dikenal sebagai sawah tadah hujan dan sumber pangan masyarakat kota kini sudah menjelma menjadi hutan-hutan beton, hunian real-estate serta mal/pusat perbelanjaan. Winarni mengkritik kesalahan perencanaan tatakota pada kawasan ini akan berdampak pada kesemrawutan tataruang di Panakukkang.
Ada pula tulisan Fajar Hermanto yang menyajikan sosok Nani, penjual minuman ringan di pantai losari Makassar yang dulu bercita-cita ingin menjadi suster. Dwiagustriani -salah satu pewarta warga Panyingkul-menulis tentang profil Kuasang sang tukang sapu di gedung rektorat Universitas Hasanuddin yang bekerja rangkap disore hari sebagai Tukang Becak untuk menambah penghasilan. Akbar Abu Thalib juga secara sentimentil mengupas sosok Daeng Mandong sang penjaga gunung Bawakaraeng yang penuh dedikasi meski hanya menerima upah Rp 150,000 per bulan. Luna Vidya menceritakan kisah para “Panyikko Bibi’” atau para perempuan pengikat rumput laut di desa-desa nelayan di Sulawesi Selatan.

Jangan lupa pula simak tulisan Fikri sang pewarta warga dan saat ini masih duduk di bangku SMA menulis dengan bagus mengenai suasana lingkungan rumahnya disekitar pasar Terong, Makassar yang diramaikan oleh para perempuan pedagang sayur yang gigih berjuang untuk bertahan di kehidupan yang kian kejam ini sebagai tulang punggung keluarga.
Keharuan terasa menyesak dada saat membaca kisah Abanda yang dituliskan secara memikat oleh M.Aan Mansyur. Abanda, anak pengemis dan penderita kusta ini , berkat ketekunannya berlatih sepakbola, berhasil mewakili Indonesia di Kejuaraan Danone di Lyon Perancis bersama tim MFS (Makassar Football School). “Saya sangat percaya nasib itu bisa berubah,sepanjang kita mau berusaha,” demikian nasehat bijak nenek Abanda, Daeng Halimah kepada cucu tercintanya itu.

Salah satu bagian menarik dari buku ini adalah nostalgia masa lalu di Makassar yang disajikan secara “menggetarkan” oleh dua opa di Panyingkul, yaitu Sammy Lee dan A.Hafied Gany. Sammy, warga Makassar yang kini bermukim di Sydney Australia mengajak kita ke suasana Makassar tahun 1940-an. Secara detail beliau menggambarkan kenakalan masa kecil bermain “bundu patte”, kenangan mengenai es putar di pelabuhan Makassar serta penjual Lek Tou Sa atau bubur kacang hijau. Dalam tulisannya yang lain, Om Sammy-demikian panggilan mesra para pewarta warga lebih muda di komunitas Panyingkul -secara jenaka menceritakan kisahnya merajai jalan-jalan Makassar tahun 1950-an dengan sepeda. Kenangannya itu tiba-tiba terlecut saat bertemu kembali dengan kawan sekolahnya dulu di SMP, Tommy Rifaei disebuah restorant di Sydney setelah terpisah selama 51 tahun. Om Sammy mengajak kita “bertamasya” naik sepeda menyusuri jalan-jalan di kota Makassar yang masih lengang ketika itu juga romantisme kota Makassar tempo doeloe.

Lain lagi cerita A.Hafied Gany, seorang Doktor Teknik Bidang Pengairan. Beliau menceritakan pengalaman hidupnya yang inspiratif dari seorang anak desa menjadi “tukang insinyur”. Yang paling mengesankan adalah Om Hafied menceritakan bagaimana sebuah kartu pos dari London kiriman sang paman bergambar “Big Ben” yang kemudian memberinya spirit untuk bersekolah lebih giat untuk mewujudkan mimpi menyaksikan langsung bentuk asli gambar di kartu pos tersebut. 24 tahun kemudian, berkat kerja keras dan aktifitas belajar yang tekun, Om Hafied akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya tersebut.

Rasa empati begitu kental pada sesama yang ditunjukkan secara dominan dari tulisan-tulisan para pewarta warga di Panyingkul menunjukkan potret kepedulian dan keberpihakan mereka pada kehidupan orang biasa. Sebentuk gugatan yang menyentak dan mencubit nurani. Teknologi Internet menyebabkan laporan kehidupan di “akar rumput” ini terpublikasikan secara cepat, real time serta melampaui batas-batas ruang dan waktu. Dan kelebihan inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan di Panyingkul memiliki nilai lebih. Informasi yang disajikan menembus berbagai strata sosial kemasyarakatan secara kritis, dialogis dan independen.

Keberhasilan Panyingkul merayakan jurnalisme orang biasa berbasis Makassar patut memperoleh apresiasi tinggi. Panyingkul telah menjelma menjadi media bacaan alternatif yang dapat dijadikan salah satu acuan pembaca untuk mencermati kehidupan orang biasa-secara luar biasa-dari perspektif orang biasa sendiri.

Saya berharap, agar bisa merangkum spectrum pembaca yang lebih luas, untuk masa yang akan datang, Panyingkul bisa memperluas jangkauan jajaran pewarta warga dan pemerhatinya dengan membahas dan menampilkan kehidupan orang biasa di seluruh Indonesia. Persimpangan itu menjadi kian riuh dan kian menarik untuk disimak. Ini sejalan dengan komentar Maria Hartiningsih, wartawati Kompas dibagian belakang buku yang menyatakan,”Jurnalisme seharusnya memudahkan warga Negara membuat keputusan-keputusan yang cerdas atas berbagai persoalan public yang mereka hadapi”

Print Artikel Ini Print Artikel Ini
Posted by amriltg on Apr 5 2010. Filed under Buku, Resensi. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

2 Comments for “Kabar Tak Biasa, Tapi Luar Biasa, Ala Orang Biasa”

  1. Tweets that mention Kabar Tak Biasa, Tapi Luar Biasa, Ala Orang Biasa | Komunitas Blogger Bekasi -- Topsy.com

    [...] This post was mentioned on Twitter by bloggerbekasi. bloggerbekasi said: [Bloggerbekasi.Com] Kabar Tak Biasa, Tapi Luar Biasa, Ala Orang Biasa: Judul Buku : Makassar Di Panyingkul (Piliha… http://bit.ly/cZz8kF [...]

  2. Belum pernah tau buku ini, tapi boleh juga dicoba

    [Reply]

Leave a Reply

Amprokan Blogger | Temu Blogger Nusantara


Amprokan Blogger

Sponsor

images-1

---

Member Be-Blog

Sudahkah Anda menjadi bagian dari Be-Blog?

Siapa saja yang sudah terdaftar?

Login

Login Anggota
Lost Password?

Shoutbox


Loading

WP Shoutbox
Name
Website
Message
Smile
:mrgreen::neutral::twisted::arrow::shock::smile::???::cool::evil::grin::idea::oops::razz::roll::wink::cry::eek::lol::mad::sad:8-)8-O:-(:-):-?:-D:-P:-o:-x:-|;-)8)8O:(:):?:D:P:o:x:|;):!::?:



Gabung di Milis Blogger Bekasi

Powered by Yahoo Groups

© 2010 Komunitas Blogger Bekasi. All Rights Reserved. Log in

Switch to our mobile site

- Designed by Gabfire Themes