Home » Sosial-Budaya » Binar Mata Gadis Kecil Yang Menggigil

Binar Mata Gadis Kecil Yang Menggigil

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu

Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu

Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu

Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal…

(Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran)

Tanpa sadar air mata saya tumpah disebuah sore yang muram dan kuyup dibasuh hujan yang turun sangat deras.

Peristiwa mengesankan itu terjadi kemarin. Selama ini, sejujurnya, saya hampir tak pernah merasa semelankolis itu. Tapi pemandangan pilu yang berada di hadapan saya seketika membuat batin saya tersentak dan terasa begitu ngilu mengiris nurani.

Hari itu , seperti biasa, jika bis yang membawa saya pulang dari kantor ke Bekasi Timur (dari sana saya melanjutkan lagi ke rumah di Cikarang) tidak tersedia, saya akan naik bis alternatif yang menuju ke Terminal Kampung Rambutan lalu kemudian melanjutkan dengan bis lain ke Bekasi Timur. Saya naik bis 610 (ukurannya sebesar Metromini/Kopaja) jurusan Lebak Bulus-Kampung Rambutan, dari sebuah halte di seberang kantor saya.

Sejak pukul empat sore hujan mengguyur deras kawasan Lebak Bulus dan sekitarnya. Untunglah, sejak berangkat dari rumah saya sudah menyiapkan jaket, payung dan topi sebagai antisipasi bila hujan deras terjadi. Kurang lebih 15 menit menunggu di halte tak lama kemudian muncullah bis 610 yang sudah dengan kondisi nyaris miring kekiri saking penuhnya. Setelah melipat payung, saya segera melompat ke dalam bis dan ikut “bergelantungan” serta berdesakan bersama penumpang-penumpang lain yang tidak mendapatkan tempat duduk. Bis langsung melaju kencang memasuki Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta.

Hanya kurang lebih 15 menit kemudian, bis memasuki daerah ex pintu tol Pasar Rebo. Di perempatan Pasar Rebo, saat bis itu kebetulan berhenti karena lampu merah menyala, sebagian besar penumpang turun. Syukurlah, saya berhasil mendapatkan tempat duduk di bangku kedua dari belakang setelah cukup pegal berdiri berhimpitan.

Pada saat tersebutlah kejadian itu berlangsung. Dua orang bocah lelaki dan perempuan, kira-kira berumur sebaya dengan anak saya Rizky (5,5 tahun)dan Alya (3,5 tahun) masuk kedalam bis. Rambut acak-acakan dan baju mereka berdua basah terkena hujan. Sang anak terbesar (laki-laki) dengan sigap mengeluarkan sebuah botol air mineral kosong berisi pasir dari kantongnya lalu bernyanyi dengan suara serak bersama peralatan seadanya itu. Sang adik (perempuan) berkeliling membagikan amplop kecil kepada masing-masing penumpang untuk diisi “ongkos mengamen”.

Saat saya menerima amplop dari si gadis kecil, terlihat tangannya gemetar dan tubuhnya menggigil kedinginan. Postur tubuh anak itu sungguh kurus dibalut oleh kaos kumal yang kedodoran. Wajahnya pucat dan terlihat ia menggigit bibirnya menahan rasa dingin yang mendera. Sorot sendu matanya membuat hati saya seketika luluh. Ia masih begitu kecil, seumur anak bungsu saya, Alya.

“Pak, saya lapar. belum makan dari tadi,” kata bocah itu dengan suara lirih. Ia lalu tertunduk menekuri lantai bis yang kusam.

Tanpa terasa, mata saya basah. Keharuan begitu dalam menyentak dada.

Terbayang dimata saya, Alyalah yang berdiri disana, menjadi anak itu. Kehujanan. Kelaparan. Kedinginan. Lagu Iwan Fals–seperti yang saya kutip di awal posting ini– mendapatkan pembenaran yang nyata didepan saya. Gadis kecil itu tak sempat menikmati waktu indahnya masa kanak-kanak yang ceria kerena mesti “memecahkan karang dengan lemah jari terkepal”.

Saya lalu tersenyum dan sedikit kikuk menghapus titik air yang menetes di kelopak mata dengan punggung tangan. Saya kemudian merogoh saku kantong seraya mengulurkan selembar uang Rp 50,000,- ke gadis kecil tadi. Amplop yang diserahkan kepada saya sebelumnya saya serahkan bersama dengan uang tersebut. Matanya berbinar dan memperlihatkan ‘perolehan’nya yang mungkin menurutnya cukup besar itu pada sang kakak yang masih sibuk mengamen didepan.

“Cepat kamu beli makanan bersama kakakmu ya nak. Kamu bisa gampang sakit karena lapar dan kedinginan,” kata saya dengan suara serak karena tenggorokan tercekat keharuan.

Tangan saya spontan membelai lembut rambutnya yang basah. Gadis kecil itu mengangguk pelan. Senyumnya mengembang. Tak lama kemudian kedua sosok mungil itu turun dari bis, berlari menembus rinai hujan. Saya diam terpaku memandangi keduanya dari balik kaca jendela yang buram. Lampu telah hijau, bis yang saya tumpangi itupun melaju kencang menuju terminal Kampung Rambutan. Dan mata sayapun basah kembali.

Kota-Kota berbicara tentang kemiskinan dengan cara paling menikam. Bukan karena, sejumlah orang hidup serba kurang dan pas-pasan melainkan karena kontras disana menganga tajam. “Kemelaratan yang paling nyata adalah yang terdapat di kota-kota, karena disinilah ekses-ekses saling bertetangga”, kata Andre Gilde, seperti saya kutip dari salah satu tulisan Goenawan Moehammad di buku Catatan Pinggir 4.

Jakarta adalah satu contoh nyata dimana “ekses-ekses itu saling berdekatan”. Saking jelasnya, sudah mirip menjadi sebuah pemandangan klise. Lihat saja,rumah-rumah mewah bertype real estate berkolam renang luas dan listrik ribuan watt tampil kontras dengan gubuk-gubuk kumuh yang berada ditepi kali yang tercemar. Seseorang bisa dengan mudah bertaruh dan melepaskan uang Rp 5 juta hanya untuk sebuah hal yang remeh kerapkali berpapasan dengan orang yang hanya bisa hidup dengan Rp 10.000/hari. Mengenaskan.

Dan yang kian memilukan, anak-anak, seperti gadis kecil yang saya temui itu menjadi salah satu korban atas ekses-ekses di dunia yang riuh ini…

Sumber Gambar



Print Artikel Ini Print Artikel Ini
Posted by on Apr 18 2010. Filed under Sosial-Budaya. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

7 Comments for “Binar Mata Gadis Kecil Yang Menggigil”

  1. Tweets that mention Binar Mata Gadis Kecil Yang Menggigil | Komunitas Blogger Bekasi -- Topsy.com

    [...] This post was mentioned on Twitter by bloggerbekasi, bloggerbekasi. bloggerbekasi said: [Bloggerbekasi.Com] Binar Mata Gadis Kecil Yang Menggigil: Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu Demi satu impia… http://bit.ly/c2SlcT [...]

  2. kemarin pagi dalam diskusi di mastermind Cikarang, kita bahas juga fenomena para peminta-minta yang makin marak di Cikarang dan juga di daerah lain

    satu pihak menganggap pemberian pada para peminta-minta itu adalah hal yang harus kita lakukan, karena alasan kemanusiaan dan karena semua sedekah yang kita berikan tidak melihat siapa yang kita beri tetapi lebih melihat dari ketulusan kita dalam memberi

    di pihak yang lain, pemberian pada para peminta-minta itu sangat tidak mendidik, mereka akan menjadi makin malas melakukan usaha karena tanpa usaha saja mereka sudah mendapatkan hasil yang luar biasa

    silahkan mencari pihak yang sesuai dengan hati nurani kita

    salam

  3. ladang amal di muka bumi ini sangat luas. Allah swt memberikan ruang yang begitu lapang untuk berbuat bajik amaliyah.
    sepakat dengan mas eko. hanya nurani kita yang tahu apa yang kita lakukan.
    terima kasih mas amril dengan cerita yang menyentuhnya

  4. Allah mengingatkan kita pada bagian fakir miskin!

  5. Banyak sekarang pemuda yang peduli terhadap mereka dan memberi tempat dan ilmu pada mereka, yang seharusnya ini tugas dari pemerintah!
    Pemerintah Jangan hanya menertibkan dengan menangkap mereka dan ditahan, tapi berilah mereka keterampilan untuk mandiri!

  6. Mas Eko,
    Iya Mas, memang kembali lagi kepada hati nurani kita. Bagi saya, bisikan nurani dan kemanusiaan itulah yang menggerakkan tangan saya untuk memberikan uang kepada gadis kecil itu. Soal itu mendidik atau tidak, bagi saya apa yg terpampang nyata didepan saya sejatinya merupakan situasi yg memprihatinkan dan membuat batin saya teriris yg secara spontan membuat saya tergugah. Tanpa harus memikirkan lebih panjang apakah anak itu suruhan sang ayah atau preman jalanan.

  7. Mas Eko,
    Iya Mas, memang kembali lagi kepada hati nurani kita. Bagi saya, bisikan nurani dan kemanusiaan itulah yang menggerakkan tangan saya untuk memberikan uang kepada gadis kecil itu. Soal itu mendidik atau tidak, bagi saya apa yg terpampang nyata didepan saya sejatinya merupakan situasi yg memprihatinkan dan membuat batin saya teriris yg secara spontan membuat saya tergugah. Tanpa harus memikirkan lebih panjang apakah anak itu suruhan sang ayah atau preman jalanan.

Leave a Reply

Login

Login Anggota
Lost Password?

Amprokan Blogger | Temu Blogger Nusantara

Banner Komunitas

Komunitas Blogger Bekasi

Copykan Kode dibawah ini ke Blog/Website Anda!

© 2014 Komunitas Blogger Bekasi. All Rights Reserved. Log in - Designed by Gabfire Themes