- Komunitas Blogger Bekasi - http://bloggerbekasi.com -

Jembatan

Posted By alireza On December 7, 2010 @ 7:28 PM In Cerita Pendek | No Comments

Tepat di pusat kota Jakarta, di bawah gedung-gedung pencakar langit, di atas lalu lalang mobil-mobil mewah berdiri megah sebuah jembatan. Jembatan ini terbuat dari baja terbaik, dicat coklat klasik sehingga menarik perhatian orang-orang untuk berjalan di atasnya. Ini jembatan percontohan dari jembatan-jembatan lain di Jakarta. Walau tanpa kanopi, jembatan ini sangat teduh karena ada dua pohon besar yang menaungi di ujung satu dan lainnya. Di musim kering daun-daun coklat berjatuhan di sepanjang jembatan. Jatuhnya bukan mengotori melainkan menambah indah suasana jembatan seperti di sebuah taman. Ada enam buah bangku panjang untuk tempat bersantai. Jembatan ini diresmikan oleh Gubernur pada hari Jum’at pagi dengan pemotongan pita sebelumnya. Jembatan yang memakan biaya besar dan melibatkan tiga kontraktor besar, satu diantaranya milik Perancis yang sengaja diikutsertakan tender oleh Duta Besarnya yang kerap mengeluh saat menyeberang sebelumnya karena banyak lubang dan kotor. Karena itulah kaki-kaki jembatan mirip dengan menara Eifel di Paris. Orang-orang menyebutnya jembatan Eifel.

Jembatan ini menginspirasi! Demikian kata Sutono Alto, seorang penulis kenamaan Jawa-Mexico yang mendapat inspirasi untuk novel ketiga belasnya dari jembatan ini. Dia mengatakan seperti yang saya kutip dari sebuah situsnya bahwa dia mencintai jembatan ini seperti dia mencintai tulisan-tulisannya. Seniman lainnya juga mempunyai pengalaman yang sama adalah pelukis abstrak Dadang Sabarna. Dia bilang jembatan ini seperti sebuah lukisan kehidupan. Pengamat psikologis terkenal asal Australia Clark Bennet bahkan menyarankan agar masyarakat kota ini sering-sering berjalan di jembatan ini karena akan memberikan sebuah perubahan yang sesuai dengan sifat alami masing-masing. Pernyataan ini ditegaskan oleh pakar motivasi pak Suherman yang berkata bahwa jembatan ini dapat menambah kepercayaan diri. Beliau mengambil contoh jika seorang pria yang ingin melamar seorang gadis tapi tidak punya keberanian maka dianjurkan untuk berjalan di jembatan ini sambil mengatakan dengan keras dan diucapkan berulang-ulang: “Aku akan melamar …. Aku akan mendapatkannya.” (Titik-titik itu diisi nama si gadis).
# # #

Jakarta punya ribuan kisah untuk diceritakan. Jembatan ini adalah salah satu kisah. Kisahnya disampaikan dengan cara berbeda-beda sehingga membuat kisah-kisah lainnya. Ada kisah yang berakhir bahagia dan adapula yang berakhir dengan kesedihan. Orang-orang mempunyai mimpi masing-masing. Seperti Usep, salah seorang pekerja pembangunan jembatan Eifel kurang bernasib baik di Jakarta. Jembatan itu mungkin membawa keberuntungan pada orang lain kecuali pekerjanya. Mereka yang mengelasnya, mengecatnya dan memberi polesan akhir namun mereka dibayar rendah.

Usep kembali pulang ke desanya di Bandung setelah delapan bulan berada di Jakarta. Tidak ada yang tersisa selain bau keringat dan asap kendaraan Jakarta. Dia berjalan dengan langkah lemas. Lemasnya bukan karena kelelahan fisik melainkan pikirannya yang membayangkan rasa malu pada orang-orang desa. Sebelum berangkat ke Jakarta dia selalu meyakinkan teman-teman di desanya bahwa dia akan mewujudkan impiannya di sana. Dia akan menjadi penyanyi terkenal melalui kontes. Dia menyesal mengambil mengambil uang tabungan ibunya diam-diam untuk biaya hidupnya di Jakarta, lalu meninggalkan ibunya sendiri dan namanya tercoreng di mata para tetangganya. Tapi meskipun demikian, tanpa sepengatuannya, ibunya meridhoinya pergi dan mendo’akannya semoga berhasil karena seorang ibu selalu mema’afkan kesalahan anaknya.

Usep berhenti di tengah jembatan desa, di atas sungai yang mengalir deras. Dia punya banyak kenangan di jembatan ini. Dia pernah mancing di atasnya atau mengencinginya saat kecil. Dia pernah pula membuat janji dengan seorang gadis teman sekolahnya bahwa dia akan menikahi si gadis kelak. Dia termenung sambil meletakkan dua tangannya di palang jembatan, memandang jauh ke arah barisan rumah, memikirkan apa yang harus dia lakukan setibanya di rumah nanti.

Jembatan desa ini mempunyai sejarah yang panjang. Umurnya hampir dua ratus tahun, dibangun dengan kayu-kayu terbaik dengan harapan bisa bertahan hingga ratusan tahun lagi. Tangan-tangan para pejuang yang membangunnya. Mereka membangunnya dengan semangat. Semangat yang masih mengalir kepada orang-orang yang berjalan di jembatan ini. Begitulah yang biasanya guru-guru ceritakan di sekolah dengan bangga.

Usep memandang ke arah kebun pisang yang penuh dengan semak belukar. Kebun pisang itu adalah milik keluarganya. Ayahnya yang menanamnya hingga menghasilkan pisang-pisang terbaik. Dia teringat ketika masih kecil sering membantu ayahnya membawakan pisang mereka dengan gerobak. Ibunya membuatkan panganan nikmat dari pisang dan menjualnya. Orang-orang menyukai kue pisang buatan ibunya dan menjuluki ayahnya sebagai juragan pisang, sesuatu yang membuat sang anak bangga kala itu. Tapi kisah itu hanya sebuah kenangan manis. Ayahnya meninggal dua tahun lalu dan dia terlalu sedih untuk meneruskan usahanya. Lama kelamaan kebun pisangnya tenggelam bersama semak-semak.

Tiba-tiba dia tersentak dari lamunannya. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa dia harus tetap bekerja keras untuk sukses. Bukankah saya masih bisa memulainya lagi? Bukankah tidak ada kue pisang seenak buatan ibu. Dia dapat melihat peluang bisnisnya dari jembatan. Kebun pisang itu cukup luas. Dia akan menjadikan kebun pisangnya menjadi taman kebun pisang. Sungguh, taman rekreasi kebun pisang adalah sebuah ide yang cemerlang!
Gerimis mulai turun, matahari mulai tenggelam. Dia berlari pulang sambil melompat-lompat kegirangan. Dia datang menemui ibunya, meminta ma’af dan berjanji tidak akan meninggalkannya lagi. Anak dan ibu itu saling melepas kerinduan. Ibunya membuatkan teh manis dan pisang goreng. Usep memakannya dan larut dalam kenikmatan pisang goreng. Keesokan harinya dia mengatakan maksudnya pada ibunya. Dia menggambar taman dengan aneka permainan anak-anak dan tempat rerkreasi yang dikelilingi pohon-pohon pisang. Lalu dia membuat sebuah warung sederhana tempat ibunya akan menjual kue pisangnya. Ibunya mengerti maksud anaknya dan dia hanya mengatakan agar anaknya mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.

“Apa nama tamannya nak?” tanya ibunya

“Ini namanya Taman Pisang” Usep tersenyum

Tiga bulan kemudian mereka menyelesaikannya. Taman Pisang, sebuah pemandangan yang menakjubkan. Para orang tua duduk santai sambil menyaksikan anak-anak mereka bermain. Pelajar membaca buku. Para tetua desa mengadakan rapat. Orang-orang bersenang-senang di tempat itu. Semua orang melakukannya sambil menikmati kue pisang buatan ibunya Usep. Usep dan ibunya mendapat keuntungan yang lumayan dari penjualan kue pisangnya. Bahkan beberapa toko swalayan di Jakarta memesannya dalam jumlah banyak.

“Ini Sebuah Taman Fenomenal” tulis sebuah koran lokal. Mereka mewawancari Usep tentang rahasia sukses keberhasilannya.
Usep menceritakannya dari awal ketika dia akan berangkat ke Jakarta, lalu bercerita tentang beberapa kali menjadi kuli bangungan disana, kemudian ikut membangun jembatan Eifel sampai memutuskan untuk kembali pulang ke desa. Dia mengatakannya pula tentang renungannya di atas jembatan desa, tempat dia mendapat inspirasi dari ketinggian.

“Jembatan!” kata itulah yang menjadi tekanan di koran tersebut. Orang-orang di desa yang membacanya berpikir tentang jembatan. Mereka tahu tentang jembatan di kota Jakarta yang terkenal itu. Tapi tidak menyangka desa mereka juga memiliki jembatan istimewa.

Jembatan! Itulah kuncinya dan orang-orang pun berbondong-bondong pergi ke jembatan desa. Mereka berdiri, merenung, memandang jauh, berpikir, melakukan apa yang Usep lakukan. Kisah-kisah sukses lain datang kemudian, seperti: Salon Teh Nining, Mie Pedas Mang Karta, Pelayanan Kurir Kang Asep dan lain-lain. Yang belum mendapat ide tidak menyerah, setidaknya selama jembatan itu masih utuh. Semakin hari semakin bertambahlah orang yang berlama-lama berada di jembatan itu. Mereka terus memenuhi jembatan itu hingga jembatan itu terasa padat dan sesak.

Hingga kisah jembatan desa pun berakhir di sini. Ketika kaki-kaki jembatan mulai runtuh yang diawali dengan bunyi patahan yang keras. Air sungai yang mengalir deras menghantamnya hingga tiga kaki jembatan di sebelah timur terbawa arus. Jembatannya miring sebelah, menjatuhkan puluhan orang dan belasan orang lainnya menggantung di pagar jembatan. Kepanikan membuat keadaan menjadi lebih parah. Jembatan itu runtuh seluruhnya dan hilang bersama air sungai. Ratusan orang jatuh ke dalam sungai, timbul-tenggelam dengan tangan-tangan menggapai-gapai sesuatu dan aku tidak harus mengatakan berapa orang yang mati atau berapa yang selamat.

Sejak saat itu mereka tidak pernah membangun kembali jembatan di sungai itu. Mereka takut kejadiannya akan terulang disamping keadaan yang sangat sulit membangun jembatan seperti semula. Beberapa minggu kemudian mereka mengganti jembatan desa dengan rakit sebagai penghubung. Namun meski tanpa jembatan, mereka masih yakin jika mereka berada di tempat tinggi maka selama itu pula mereka akan mendapat keberuntungan. Lalu mereka mulai menanam pohon-pohon kelapa yang kelak akan menjadi tempat untuk merenung.

Antara jembatan desa dan jembatan kota yang baru saya ceritakan sama-sama menghubungkan dua tempat, sama-sama tempat yang ideal untuk merenung dan mencari inspirasi. Jembatan desa sudah runtuh sedangkan jembatan kota masih tetap berdiri kokoh. Tapi beberapa bulan kemudian keindahan jembatan kota menjadi masalah baru ibu kota. Sampah-sampah bertebaran, orang-orang melakukan hal-hal aneh seperti berteriak-teriak sendiri, melompat-lompat tak karuan dan menari-nari tanpa tujuan.

Sebelumnya tidak ada yang mengadu mengenai masalah ini sampai suatu hari pak Dubes Perancis datang kepada pak Gubernur Jakarta. Dia menceritakan pengalamannya diikuti seorang pria di belakangnya. Pria itu melakukan apa yang pak Dubes lakukan sehingga beliau merasa marah diperlakukan seperti itu. Mendengar pengaduan itu pak Gubernur segera turun tangan menyelesaikan permasalahannya. Jembatan itu dibersihkan dan dicat dengan cat yang tidak menarik, bangku-bangkunya dicabut, dan segera diberlakukan larangan berdiri lebih dari sepuluh menit di atas jembatan. Karena Jembatan ini hanya untuk penyeberangan! Begitu papan peringatan tertulis di depannya.


Article printed from Komunitas Blogger Bekasi: http://bloggerbekasi.com

URL to article: http://bloggerbekasi.com/2010/12/07/jembatan.html

Copyright © 2009 Komunitas Blogger Bekasi : http://www.bloggerbekasi.com. All rights reserved.