Pemuda Sebagai Agen Perubahan Bekasi
Sosial-Budaya Saturday, March 26th, 2011 2,147 views Print Artikel IniA. Keberadaan Pemuda dalam Lingkungan Masyarakat; Sebagai Pembatasan Atas “Golongan” Tua.
Pemuda sebagai penerus para pemimpin suatu daerah pada masa yang selanjutnya, karena roda kehidupan yang berputar akan menjadikan pemuda pemimpin dimasa yang akan bergiliran pada waktunya. Sehingga mau tidak mau pemuda harus membenah dan mempersiapkan diri untuk membekali “diri” baik dari segi wawasan (knowledge), keilmuan (science) keahlian (skill) maupun kepribadian (ethic). Karena kemajuan atau kemunduran suatu daerah, dalam tatanan sempit, maupun negara, dalam tatanan yang lebih luas, ditentukan oleh “tangan” pemuda.
Pemuda memang diakui se-sosok yang berfisik kuat, berkeinginan tinggi, yang diidam-idamkan bahkan menjadi harapan bahkan menjadi harapan bagi masyarakatnya. Kehadiran pemuda merupakan janin dari embrio suatu generasi baru (the new generation), yang ada dalam tatanan sosio-budaya dalam lingkungan masyarakat.
Berbicara generasi, tentunya adanya pembagian antara generasi “lama” (masyarakat tua) dan generasi “baru” (masyarakat muda). Pengertian generasi pada hakikatnya dapat dibedakan atas empat aspek: biologis-psikologis, historis-kultural, social serta psikologi (N. Daldjoni “Sosiologi Pemuda Indonesia; Masalah dan Pemecahannya”, dalam Taufik Abdullah; Jakarta, 1974). Aspek biologis-psikologis pemuda (selanjutnya penulis istilahkan dengan masyarakat muda) berbeda dengan orang tua (yang selanjutnya penulis istilahkan dengan masyarakat tua) dan anak-anak, kebanyakan masyarakat muda lebih agresif dalam suatu tindakkan, berjiwqa besar, berfisik kuat, berwawasan luas, hanya untuk menampilkan sebagian sisi positifnya. Namun disisi lain juga memprihatinkan, bahkan ada yang meresahkan masyarakat tua, sering dikenal “pemberontak”, emosional dan terkadang terjadi konflik dengan masyarakat muda lainnya hanya karena hal sepele, hanya untuk menampilkan sebagian sisi negatifnya. Sehingga, apabila dipandang dari pendekatan optimism biologis, pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang terbuang dari kawanan manusia yang “normal” dengan suatu sub-kultural tersendiri. Akhirnya muncullah istilah-istilah seram mengenai masyarakat muda sebagai sautu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri, yang dianggap, sebagai suatu yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat tua.
Pemuda memang belum mempunyai wawasan ataupun pengalaman yang cukup matang secara historis-kultural, sebagaimana masyarakat tua, tetapi masyarakat muda sedang berlayar dalam ombak kehidupan yang mempengaruhinya. Sehingga tidaklah menjadi hal yang naïf, jika sebagian, untuk tidak mengatakan semuanya, masyarakat muda mempunyai kebiasaan yang “aneh” bagi masyarakat tua, yakni dengan kehidupan glamor, bersenang-senang dengan “minum” bersama, bahkan dilema free sex yang menjamur dikalangan masyarakat muda. Untuk tidak memandang sebelah mata, tidak sedikit juga masyarakat muda yang berprestasi baik dalam bidang akademik, organisasi, maupun sosial yang berkecimpung dengan masyrakat.
Secara sosial masyarakat muda, diakui memang, jarang dan sedikit yang mau berkecimpung dan berbaur dengan masyarakat tua dalam bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena masyarkat tua kurang mengikutsertakan maysarakat muda dalam event-event tertentu. Hubungan yang dijalin mestinya bersifat fungsional; masyarakat tua sebagai “angkatan yang lebih dahulu” (passing generation). Masyarakat tua berkewajiban membimbing masyarakat muda, sebagai generasi penerus untuk mempersiapkan tanggung jawabnya yang semakin “meninggi”. Dan dari pihak lain, masyarakat muda sebagai yang penuh dinamika hidup berkewajiban mengisi akumulator masyarakat tua yang makin melemah di samping memetik buah-buah kebijaksanaannya yang telah terkumpul oleh pengalaman-pengalaman yang dialaminya.
Namun apabila hubungan itu terjalin secara struktural, maka yang terjadi adalah adanya perasaan “superioritas” masyarakat tua terhadap masyarakat muda dalam kebersamaan. Dengan kata lain, masyarakat tua menuntut bahwa merekalah satu-satunya penyelamat masyarakat dan dunia dan melihat masyarakat muda, sebelah mata, sebagai pelanggar-pelanggar pagar suci rumah tradisi. Dengan hal tersebut, imbasnya masyarakat muda pun bersifat egois dengan bertingkah masabodo (tidak peduli) (Ibid, 26). Sehingga tidak terjadi keharmonisan dan akan mengganggu masa depan wilayah tersebut.
Dalam pandangan psikologis, pemud merupakan tahap “pematangan” dalam pola piker maupun dalam faktor hormon kedewasaannya. Perihal ini membentuk “makhluk bergairah” yang mempunyai semangat yang tinggi dalam memperjuangkan keinginannya. Namun psikologis-mental pemuda mudah terbawa “sesuatu” yang telah masuk dalam chip pikirannya. Sehingga factor endogen, yang dirasakan, dilihat, dan dihadapi, dan eksogen dirinya sangat mempengaruhi pembentukkan sebagai sesosok pembawa pembaharu positif (agen’s positive of change) atau menjadi sesosok pembawa pembaharu negative (agen’s negative of change).
Dengan demikian, perlu adanya pengarahan dan bimbingan terhadap aspek endagogis, emosional, serta spiritual, sehingga terjadi adanya keseimbangan, dalam pembentukkan suatu karakter yang diharapkan oleh masyarakat tua. Karena mereka (baca: masyarakat muda) sebagai the new generation yang harus membawa pembahruan kearah yang lebih baik dan dinamis.
B. Pemuda Sebagai “Penentu” Perubahan Masa Depan Bekasi; Suatu Tinjauan dalam Konteks Kedaerahan.
Bekasi secara geografsi berbatasan langsung dengan wilayah ibu kota, yang berdampak pada pergeseran bentuk karakter (character building) masyarakat Bekasi. Bahkan ada suatu proyek untuk menjadikan, salah satunya, Bekasi dalam proyek sebagai wilayah megapolitan. Imbasnya, tentu pada originality masyarakat Bekasi juga, bahkan, budaya Bekasi akan luntur dan terlupakan, apabila tidak ada regenerasi cinta terhadap budaya local. Dengan kata lain, perlu ditumbuhkan atau bahkan ditanam rasa cinta terhadap budaya lokal pada diri maysarkat muda. Karena selain masyarakat muda yang memeliharanya siapa lagi yang akan melanjutkan perjuangan para “pencipta budaya” yang sudah lama.
Secara struktural wilayah pemerintahan Bekasi dibagi dua wilayah, yakni kabupaten dan kotamadya. Namun bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan sederhana ini. Dalam tulisan sederhana ini tidak dibedakan anatara wilayah kabupaten maupun kotamadya. Perbedaan bukanlah suatu hal yang mesti dipermasalahkan. Namun mestinya dianalisis lebih lanjut hakikat perbedaan itu, untuk dapat menjalin kerjasama yang harmo9nis dan dinamis. Dan yang lebih penting kemajuan dengan pencapaian atas visi dan misi yang dicanangkan oleh pihak kabupaten maupun kotamadya Bekasi.
Secara ekonomi Bekasi bukanlah daerah yang terbilang terbelakang. Namun, justru banyak perusahaan, industry, maupun pasar “modern” yang berdiri tegak di tanah Bekasi.
Akan tetapi, apakah itu dapat menjadi problem solving dalam problematika sosial di Bekasi, contoh saja pengangguran, justru orang-orang Bekasi “mati di atas tangkai-tangkai padi”. Jumlah pengangguran yang dialami orang-orang pribumi di Bekasi dapat dibilang tidak sedikit. Permasalahnnya orientasi utama yang ada dalam benak orang-orang pribumi, terutama masyarakat muda, adalah bekerja dengan gaji yang gede. Dengan mengabaikan suatu ketrampilan yang menopangnya, misalnya saja keahlian dalam berbahasa asing aktif maupun pasif.
Tinjauan kedepan yang semakin kompleks dan persiangan yang cukup ketat, perlu adanya “rekonstruksi” pola piker masyarakat muda Bekasi, bahwa hanya dengan ijazah dari lembaga pendidikan formal tidaklah cukup memuaskan, tanpa adanya ketrampilan lebih yang dimilki. Sekarang dapat dikatakan semuanya serba muda, informasi pun juga online. Masalahnya kemauan masyarakat muda untuk mengembangkan dan menumbuhkan keahlian yang tersimpan dalam dirinya untuk diimplikasikan secara empiris. Dalam tinjauan kedepan tersebut, perlu adanya peran aktif dan produktif dari masyarakat muda untuk mencapai “harapan” yang terukir dalam visi dan misi kabupaten maupun kotamadya Bekasi.
Masyarakat muda mestinya tidak hanya ingin diberi “subsidi” dari pihak pemerintah. Melainkan harus punya “hadiah” untuk dipersembahkan kepada Bekasi. Artinya masyarakat muda harus punya harus punya keinginan berupa kemampuan apa, baik berupa keahlian bahasa, penemuan hasli penelitian, dan sebagainya, yang dipersembahkan demi “masa depan” Bekasi yang lebih dinamis dan berpendidikan.
Betul sekali mas.. Pemuda adalah tunas bangsa.. Penerus.. Masa depan.. Harapan..
alhamdulillah, untung saya masih muda ya mas ya…./
sob di bekasi ada kopdar untuk para blogger gag pengen ikutan nih he…
saya,,mendukung,. yang sifatnya mbangun…