Sebuah Kisah Di Kereta
Cerita Pendek Sunday, May 15th, 2011 950 views
Ali Reza
Orang-orang datang dan pergi, kerja dan pulang, setiap hari, hidup dalam kegilaan dunia kapitalis. Jika kau hidup di Jakarta maka kau harus bertahan karena orang-orang tidak peduli padamu. Hanya dirimu yang peduli.
“Namaku Ali .. mahasiswa tingkat akhir” kataku, memperkenalkan diri pada seorang pria berpakaian rapih, berdasi merah dengan wangi parfum yang menebar kesejukan di tengah hiruk pikuk kereta. Kupikir orang ini lebih cocok berada di dalam BMW dari pada berdiri dan berdesakan di dalam kereta.
“Aku Roy, kerja di Microsoft” ucap Roy dengan membuat irama pada kata Microsoft
“Microsoft? Kau bercanda?” kataku membuat orang-orang yang mendengarnya melihat ke arah kami. Mana ada pekerja Microsoft naik angkutan umum kalau bukan karyawan baru.
Roy mengangguk dan dia tidak bercanda. Ini hari ketiga dia bekerja untuk Microsoft. Yang sedang dia lakukan di kereta adalah menjajaki angkutan umum menuju kantornya. Dua hari terjebak macet rupanya membuat dia mencoba kereta, namun sialnya sekarang dia harus berhadapan dengan bau keringat dan bau pasar.
“Aku seharusnya mengambil jurusan komputer, politik selalu membuat pusing siapa saja” kataku yang sebenarnya pusingku bukan karena urusan politik melainkan masalah keuangan.
“Tapi semua orang perlu politik .. kan?” Roy mengucapkannya dengan sedikit ragu. Kurasa dia bukan tipe orang yang suka bicara politik. Kacamatanya hanya lensa biasa, mungkin hanya buat gaya ketimbang pelindung debu.
“Ya, semua orang perlu politik” aku juga mengucapkannya dengan ragu seperti keraguanku pada politik di negeri ini.
Kami terdiam beberapa saat, memandang gedung-gedung berlarian, melirik kemacetan di jalan dan berpikir betapa beruntungnya naik kereta. Seluler Roy bernyanyi, dia bergegas mengambil dan mengeluarkan Nokia model usang keluaran empat tahun lalu dari saku celananya.
Aku tidak punya telepon seluler, tetapi aku selalu mengikuti perkembangannya. Kau tahu, dalam setahun Nokia bisa mengeluarkan sepuluh seri terbaru dan tiap harinya mereka merancang model canggih dengan harga lebih murah lima persen dari keluaran terakhir. Aku mencuri dengar pembicaraannya dan aku dapat mengira-ngira dia adalah seorang marketing di Microsoft atau posisi yang berhubungan dengan klien. Tapi Nokia yang dipakainya tidak pantas untuk ditunjukkan di depan klien. Atau mungkin dia punya telepon ekstra yang tidak dipakai di tempat-tempat seperti ini.
Roy mengakhiri percakapan dan kelihatan puas
“Klien” kata Roy, mengarahkan tangannya padaku.
Hei bung, aku sama sekali tidak tertarik dengan model Nokia usangnya yang hanya akan dicari oleh penggemar Nokia miskin dan menjadikannya sebagai koleksi. Tapi aku kenal beberapa orang pengoleksi seluler semua merek dan darinya aku bisa menjual padamu dengan harga lima persen lebih rendah dari toko biasa.
“Kau bisa jadi ahli komputer tanpa belajar di universitas” kata Roy
“O ya? Katakan” kataku antusias
“Yang perlu kaulakukan hanya mempelajari perkembangan komputer terakhir. Kau cari tempat belajar yang terbaik atau kau bisa memulainya dengan belajar sendiri”
Aku mengangguk paham. Sebenarnya pura-pura paham karena kalau yang seperti ini sih aku sudah tahu. Yang kumaksud apakah ada lowongan kerja di Microsoft. Aku tidak tahu banyak tentang komputer, yang kutahu perkembangannya sangat cepat. Google, Microsoft, Apple, IBM, orang-orang yang beruntung dapat kerja di sana. Mungkin hanya mimpi bagi orang sepertiku. Tetapi jika aku boleh bermimpi lebih besar lagi, aku tidak perlu memimpikan kerja di sana. Ya, mengapa tidak memilikinya saja?
Kereta bergerak perlahan, desakan penumpang yang baru masuk memaksa kami menahan diri berpegangan pada bagasi. Kakiku terinjak, dadaku terbentur tangan seorang pria besar hingga membuatku sesak nafas. Roy hampir kehilangan pegangan. Untungnya, kereta berhenti dan membuat kami terdorong ke depan. Hari ini lebih baik dari hari senin, masih ada celah untuk kaki dan aku masih bertahan. Aku kasihan pada Roy, dia seharusnya tidak memakai baju warna putih.
Posisi kami sedikit lebih baik. Roy merapihkan pakaiannya, memeriksa tiap kantong celana dan memastikan tidak ada yang hilang. Aku tersenyum padanya dan kukatakan sebentar lagi akan ada desakan yang lebih buruk dari luar. Dan lihatlah, di stasiun berikutnya orang-orang lebih ramai naik ke dalam kereta, sebagian besar membawa barang dagangan. Aku melihat ketidaknyamanan para wanita tua dan mereka yang membawa bayi. Tidak ada yang memberi mereka tempat duduk atau sedikit memberi ruang yang lebih nyaman. Beberapa penumpang merokok, menambah panas gerbong, membuat penumpang lain terbatuk.
Kereta kembali bergerak, kami sedikit terdorong ke belakang disusul guncangan-guncangan kecil. Orang di belakangku mendorong dan membuat posisi badanku melengkung. Aku menahan beban dengan berpegangan dua tangan pada bagasi. Roy pun mengalami hal yang sama, namun dia belum terbiasa hingga membuat tubuhnya limbung. Dia benar-benar bertahan, keringatnya banyak sekali dan mungkin sedang bersumpah tidak akan naik kereta lagi. Aku salut padanya karena tidak mengeluh. Sayang sekali, orang setampan dia seharusnya bisa lebih menikmati hidup.
Kereta berjalan tenang. Posisi kami berubah berlawanan dengan gaya kereta sehingga ruang menjadi agak lebih lega dan kami mendapat sedikit pasokan udara. Roy melihatku, menggeleng kepala sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya.
“Nanti kau terbiasa” kataku “otot-ototmu akan jadi lebih kuat”
“Sudah berapa lama naik kereta?” tanya Roy
“Lima tahun” jawabku. Lima tahun adalah waktu sejak pertama kali aku kuliah
“Bulan depan aku akan beli mobil”
“O ya?”
“COP, Car Ownership Program. Kantor yang akan membayarnya dan aku disubsidi lima puluh persen”
Andai aku kerja di Microsoft
Aku tidak suka bicara sesuatu yang tidak kukuasai, dan aku juga tidak suka terlalu banyak ditekan pembicaraan orang lain. Aku ingat saat pamanku bilang tentang kuasai pembicaraan maka kau menguasai keadaan.
“Ekonomi kacau. Banyak PHK … demonstrasi” kataku
“Ya”
“Tidak ada pengaruhnya buat kita. Aku hanya sedang melihat reaksi pemimpinnya. Itulah yang kupelajari … karakter dan sikap si pengambil keputusan.”
“Ya”
“Kau pernah perhatikan pemimpin barat mengambil keputusan? Maksudku bukan keputusannya, tapi orangnya. Pernah kauperhatikan?”
“Ya”
“Apa yang kau lihat?”
“Mereka orang-orang hebat, tenang dan sudah direncanakan” Roy berkata dengan percaya diri
“Ya” kataku pelan. Sebenarnya aku bermaksud menjawab tidak. Orang ini terlalu memuja barat
“Ya?”
“Kau benar. Aku tidak membicarakan detail psikologis mereka, tapi semua orang dapat melihatnya”
“Ya”
Lagi-lagi dia berkata ya. “Boleh kutanya sesuatu lagi?” tanyaku
“Ya”
“Apa yang kau lihat dari orang-orang ini?”
Roy memandang berkeliling, kemudian melihat ke arahku
“Maksudmu?”
“Apakah orang-orang di sini jahat?”
“Maksudmu?”
“Kebanyakan orang di sini tidak saling kenal. Aku tidak kenal kau jika tidak ada yang memulai percakapan. Bagaimana kau melihatku andai kau tidak kenal aku?”
“Menurutku kau baik”
“Menurutmu aku baik?”
“Ya”
“Terima kasih”
Kami semakin akrab. Di sisa perjalanan kami membicarakan masalah keluarga dan masa depan. Aku menceritakan mimpiku mempunyai sebuah penerbitan besar dan keinginanku kembali ke kampung. Tetapi Roy bukan pendengar yang baik. Dia lebih banyak mendominasi percakapan, menonjolkan prestasi akademiknya, kampus dan gadis-gadis kampus, perusahaan tekstil pamannya, keponakannya yang menjadi VJ di MTV dan pernah main di filmnya Garin Nugroho. Roy berkata dengan gaya yang menarik hingga membuatku seperti terhipnotis. Aku mengikuti ceritanya seperti melihat sebuah film. Sayangnya pembicaraan kami beberapa kali terpotong panggilan telpon Roy. Aku memerhatikan sejak panggilan pertama dan panggilan-panggilan berikutnya. Kurasa orang yang sama yang menghubunginya.
Di luar, angin kering menerbangkan debu dan daun-daun. Ini musim panas, beberapa jam lagi matahari akan semakin terik, panasnya bisa membakar emosi siapa saja. Orang menjadi mudah tersinggung, kesalahan kecil saja bisa memicu perkelahian. Aku selalu berusaha belajar untuk tenang dan sabar. Paman bilang dua kata itu adalah kunci sukses. Ya, pamanku selalu berkata benar dan dia memang menjadi orang sukses dengan ketenangan dan kesabarannya.
Orang-orang yang turun di pasar memenuhi seperempat gerbong, dan pada saat tiba di stasiun tujuan terasa sekali perbedaannya. Mereka turun bersama kambing-kambing, ayam-ayam dan anak-anak kecil mereka. Kereta jadi lebih lengang dan kami merasa lebih bebas bernafas.
Roy dengan mata coklatnya, dua lengan kokoh, tubuh yang tegap melengkapi ketampanan wajahnya. Kurasa hanya dengan matanya dia bisa menundukkan dunia hiburan. Tetapi dengan memilih Microsoft, Roy dua kali lipat mendapat kesempatan yang baik. Bahasa Jermannya seburuk bahasa Inggrisku, dan dia hanya pamer dengan mengucapkan beberapa kata sedangkan aku hanya tahu sedikit bahasa Jerman.
“Kau berhenti di stasiun berikutnya. Perhatikan papan nama, kau akan tahu kemana arahmu” kataku
“OK. Danke”
Aku menunjuk ke arah stasiun tujuannya sesaat sebelum kereta berhenti. Kutunjukkan jalan mana yang harus dia lalui. Roy seorang yang baik, namun aku butuh lebih dari sekedar pria baik, dan lagipula aku tidak berharap akan berjumpa dengannya lagi. Cukup sekali ini dan ucapkan selamat tinggal.
Roy berjalan diantara tangan-tangan yang menggantung, melewati parade pedagang dan orang-orang tua. Aku melihatnya turun melompat dari kereta bersamaan dengan dua orang wanita tua gemuk. Wajahku kusembunyikan di balik tubuh pria di sebelahku.
Aku masih melihatnya ketika kereta mulai bergerak. Semakin kereta menjauh tidak lagi kulihat Roy. Dan ketika kereta meninggalkan stasiun, kukeluarkan dompet coklat lusuh berisi lima lembar lima ribu rupiah kusam milik Roy. Tidak begitu banyak, namun sangat berharga untukku. Di dalamnya kutemukan sebuah kartu nama seseorang yang bekerja di agensi pencari pemain sinetron dan iklan. Beruntung yang kucopet hanya seorang pembual. Aku tidak tega melihat orang kesusahan terutama diriku sendiri.
Di depan sana sepertinya banyak orang berpakaian necis yang baru pertama kali naik kereta. Mungkin sedikit bantuanku akan menolong mereka menemukan stasiun. Sial! paman menasihatiku agar jangan terlalu banyak bermain di dunia kapitalis.
Aku merasakan getaran dari saku kiri celanaku, kukeluarkan telepon seluler Roy. Terdengar bunyi speaker pecah dan rington kuno, kutekan tombol menjawab, kudekatkan speaker ke telinga. Kudengar seorang wanita bicara, suaranya kasar dan panjang, tetapi aku tidak berkata sepatah kata pun.
“Halo? .. Halo? .. Jono .. jawablah brengsek .. Jawab!”
***

wah mas bagus, bagus. jarang ada penulis kayak mas. akhir yang tidak diduga-duga
[Reply]
wah bgus bner tulisannya,,
sngad2 erbakat,,,
[Reply]
mantap gan….keretanya jurusan mana gan
[Reply]