Lenyapnya Kampung kami…
Muara Gembong, Ironi Daerah Pinggiran
Menulis tentang Muara Gembong, saya seperti menguliti satu per satu luka yang saya alami. Memaparkan derita saudara-saudara saya di sana bak memutilasi diri saya sendiri. Sekaligus kemarahan menggelegak kepada petinggi negeri dan daerah Bekasi.
Apa lacur,
Ketika Jakarta Utara mereklamasi pantai laut Utara untuk dijadikan Pantai indah kapuk, Ancol dan semua bangunan di sekitar pantai, airnya menggulung tanah di Muara Mati. Lebih dari 20 ha kampung di sana habis dilahap abrasi.
Ketika di selatan Bekasi dibangun kawasan industri, limbah pun mengalir ke Utara Bekasi. Ke Muara Gembong. Menghancurkan infrastruktur tanah dan air. Tambak-tambak udang pun mati. Anehnya mati dengan bau menyengat.
Ketika Bandung selatan hujan. Penataan kota bandung amburadul. Cuman mengikuti syahwat kerakusan semata. Dengan dalih pembangunan. Tidak ada damai untuk air hujan. Maka air pun mengganas membanjir di Bale Endah.Dan, ketika saatnya selesai bercengkrama di Bandung, bandang pun mengucur deras ke bawah ke Citarum dan berujung ke Muara gembong. Muara Gembong pun sekali lagi ketiba lara: banjirrrrr!
“Derita kami memang tidak selesai-selesai pak….” ujar Darman, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Komaswas) Muara Gembong.
“Dulu daerah ini adalah kampung pak. Sekarang habis dilanda abrasi laut.” Katanya seperti orang dendam. Ia terdiam sejenak. Nampak, ia menelan ludah. Mungkin pahit rasanya. Tak berdaya melihat kampung halaman kakek neneknya punah tak karuan.
Sekilas hamparan di kampung Muara Mati, desa Pantai Mekar, Kec. Muara Gembong itu hanya hamparan air, pinggir laut. Tapi di beberapa sisi masih terlihat bongkahan-bongkahan rumah yang habis disikat air. Dan, tanda yang masih jelas adalah adanya tiang listrik yang terendam sepertiganya. Pertanda yang jelas bahwa daerah ini bekas kampung.
Itulah Muara Gembong. Ironi daerah pinggiran. Tumbal dari kejayaan NKRI. Limbah yang mengucur dari selatan, yang menggasak ikan dan cokong hidup adalah resiko dari pembangunan kawasan industri di 8 Zone kawasan yang menyumbang Rp. 44 trilyun pajak kawasan ke pusat. Itu belum pajak PPH 21 dan PPh 23 dari karyawan dari 4000 perusahaan di sana. Demi NKRI, haruskah kali CBL rusak. Hitam legam dengan kotoran dan limbah. Najiiiiiisssss!!!!
Muara Gembong memang outlet kedunguan pemda kab. Bekasi. Sejak zaman dulu konflik tanah di wilayah itu kagak beres-beres. Kementrian kehutana mengklaim itu sebagai hutan lindung. Tapi, lihattlahhh….! mana yang dimaksud hutan lindung????
Yang ada di sana sisa-sisa hutan mangrove yang kagak keurus. Kementrian cuman bisa mengklaim. Cuman kagak ngurusin. Cuma sibuk megangin akta dan legalitas kalau tanah 10.000 ha di sana milik kehutanan. Sementara de facto, di sana ada tambak-tambak yang digarap oleh pribumi secara turun temurun. Jadi ada orang di sana yang menghuni! Bukan sekadar monyet……
Sementara, pemerintah daerah bingung. Mau dibangun takut kesalahan. Karena de jure milik kehutanan. Tidak dibangun di situ ada warga. Tanpa ada kejelasan! Tanpa ada ikhtiar untuk menegaskan statusnya……
Akhirnya, seperti kata pepatah ketika gajah dan harimau berkelahi maka yang jadi korban adalah capung, belalang dan semua binatang kecil. Ketika pemda Bekasi tak menemukan titik temu dengan kementrian kehutanan, maka rakyat Muara Gembong-lah yang jadi korban!
Pemberdayaan nelayan jauh di awang-awanag. Penjagaan terhadap hutan mangrove sebagai green belt yang berfungsi secara ekologis menahan abrasi dan tsunami masih di atas mimpi. Huhh..ironi daerah pinggiran…[kim]
Share With Irfan:
June 10th, 2011 at 12:16 PM
Memang kasian sekali saudara-saudara kita yang bermukim diwilayah pinggiran. Mereka selalu menjadi tumbal ekspansi industri tanpa henti. Pejabat pemerintah pun turut andil membuat hak mereka dikebiri. Sudahkah perusahaan2 besar yang membuang limbah sembarangan itu melakukan studi amdal ? Jawabnya sudah, hasilnya oke-oke saja karena si pejabat sudah menerima amplop tebal warna coklat.
[Reply]