Pulau Rambut : Yuk tanam Pohon Bakau disini
Sosial-Budaya Friday, June 8th, 2012 48 views
Pagi ini aku menerima “tag” fotoku saat latihan menanam pohon bakau di Pulau Rambut. Poto ini menjadi istimewa karena diambil oleh seorang potographer yang tinggal di Singapore dan bukan dari grupku. Bahkan kita tidak sempat bnerkenalan secara akrab waktu di Pulau Rambut. Hanya “say hello” saja, tidak lebih.
Saat mendapat kesempatan untuk mengikuti acara di Pulau Rambut, aku memang sudah membayangkan suasana pulau yang tidak ada air tawarnya (pasti mandi pakai air asin atau air payau), tidak ada listrik PLN (bagaimana cara mengisi ulang batere beberapa gadgetku yang boros), tidak ada warung makanan (harus beli ke pulau lainnya atau beli dari pantai Teluk Naga di Pulau Jawa) dan juga tidak bisa sembarang waktu kembali ke Pulau Jawa jika tidak kerasan di Pulau Rambut.
Kalau kita mau nyaman, maka harus membawa sleeping bag sendiri, bila tidak membawa sleeping bag, maka kita harus rela tidur di tenda (seadanya) atau tidur melingkar di sudut rumah yang berkarpet plastik (tambah dingin jadinya pada saat angin malam makin kencang).
Tidak ada sesuatupun yang menarik di Pulau Rambut, bahkan ketika akhirnya sampai di Pulau Rambut, suasana menjadi makin tidak menarik. Sepanjang pantai, di sekeliling pulau, sampah terlihat memenuhi bibir pantai bahkan sampai menjorok ke daratan sesuai batas air pasang.
Cuaca panas di hari itu patut disyukuri, karena jika hujan turun, maka tempat berteduh pasti tidak memadai untuk menerima puluhan peserta gathering di Pulau Rambut ini. Idealnya memang tidak ada hujan cukup udara sejuk, boleh hujan kalau rombongan sudah sampai rumah masing-masing.
Yang terjadi adalah udara panas dan badan jadi basah oleh keringat. Ketika badan makin basah, akupun menyempatkan diri ke kamar mandi dan aku harus tersenyum kecut. Tidak ada air di kamar mandi, pintu kamar mandi tidak ada kunci dan semerbak kamar mandi yang khas.
Wajah-wajah capek kulihat di beberapa orang yang kutemui, tapi Indri, panitia seksi acara tidak peduli. Semua peserta langsung dikumpulkan dan ada beberapa pidato singkat dari panitia gathering dan mas Haris mewakili penjaga pulau. Beberapa saat kemudian aku baru sadar bahwa mas Haris ini ternyata penggemar berat potografi dengan berbagai macam gaya pengambilan poto.
Selesai pidato semi resmi, acara dilanjutkan dengan perkenalan. Sambil saling memijat sambil berlari-lari kecil, ternyata semua peserta menikmatinya. Padahal cuaca kurang bersahabat, tapi mereka tetap semangat untuk memperkenalkan diri. Akhirnya acara perkenalan dan games harus berakhir karena makan siang dari pulau lain sudah datang.
Selesai ISHOMA acara dilanjutkan dengan berburu binatang melata dan burung di hutan. Senjata yang dipakai adalah sebuah camera dan asesorinya. Ada yang puas dengan camera hand phone dan ada yang puas dengan buku gambar saja, maklum dia adalah pelukis yang bisa lebih keluar enerjinya saat menuangkan apa yang dilihatnya melalui lukisan dibanding melalui camera.
Beberapa meter ke dalam hutan, jalan yang dilalui adalah jalan yang sudah diperkeras dengan semen, tetapi rombongan akhirnya harus masuk ke dalam hutan yang tidak ada lagi jalan setapaknya. Ranting kecil ataupun duri-duri kecil mulai harus dihindari agar kulit tetap mulus, tetapi rasanya tidak ada kulit yang tidak tersentuh oleh ranting atau duri, biarpun sudah memakai baju lengan panjang atau (kemulan) sarung.
Beberapa tukang foto amatir terlihat mulai menurun semangatnya untuk menembak burung. Mereka hanya bersemangat saat menembak kadal besar, tapi begitu menembak ular yang melingkar di pohon atau burung yang jauh terbang di atas, maka lensa mereka sudah tidak sanggup lagi mengambil obyek potonya.
Menjelang sore perburuan burung dan hewan melata dinyatakan selesai dan kitapun siap-siap berburu sunset. Kembali kita berjalan menuju lokasi pemotretan sunset. Kalau tadi masuk hutan, sekarang menyusuri pantai. Di sepanjang pantai inilah terpampang lautan sampah yang memenuhi bibir pantai sejarak sekitar 20 meteran.
Acara pemotretan ini “agak” gagal, karena sesaat matahari muali menuju peraduan, muncul awan yang menghalanginya. Rombonganpun bubar dan berjalan cepat menuju tenda. Rupanya tidak semua ingat untuk membawa lampu senter, sehingga jika terlambat sampai di tenda, maka terpaksa harus berjalan di kegelapan pantai.
Malam hari, sebagian kecil peserta nonton sepak bola dan sebagian besar peserta tetap ikut acara games malam. Selesai main games baru dilanjutkan dengan acara nonton sepak bola. Sebenarnya pemandu permainan masih mempunyai banyak games, tapi peserta sudah mulai was-was, karena para pemenang games justru harus tahan mental memakai hadiah dari permainan itu.
Pagi, sehabis subuh, rombongan kembali bergerak menuju lokasi sun rise. Semua camera sudah duduk di atas tripod masing-masing. Sebagian besar memakai modus “slow speed”, sehingga perlu tripod untuk mengabadikan peristiwa beberapa menit ini. Rupanya sun rise di Pulau Rambut ini ketika difoto hasilnya banyak yang mengira sunset.
Selesai berfoto ria di pinggir pantai, acara dilanjutkan makan pagi dan kemudian mulai menuju hutan bakau untuk belajar menanam pohon bakau. Masing-masing membawa dua buah pohon bakau kecil menuju ke lokasi. Kalau peserta ini sekitar 60 orang, maka setidaknya ada seratus lebih yang dibawa oleh peserta gathering ini.
Ternyata di lokasi masih disediakan ratusan pohon bakau lagi bila masih ada yang ingin menanam lebih dari dua buah pohon. Beberapa peserta terlihat terdiam di pinggir rawa bakau. Tanah lumpur yang hitam dan bau khas bakau membuat langkah mereka tertahan. Akhirnya merekapun merelakan pohon bakau bawaannya ditanam oleh mereka yang sudah langsung masuk ke rawa bakau.
Ini hanya pekerjaan yang sangat ringan untuk membantu melestarikan hutan bakau di pulau-pulau yang ada di kepulauan seribu. Sungguh sangat kecil artinya dibanding perusakan lingkunagn yang dilakukan oelh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Pulau Rambut yang tidak menghasilkan sampah ternyata begitu penuh dengan sampah kiriman dari sungai-sungai yang bermuara di laut Jawa. Sungai-sungai itu pasti membawa sampah hasil buangan dari orang-orang yang kurang peduli dengan lingkungan yang lebih luas. Mereka hanya ingin tidak ada sampah di lingkungan rumah mereka dan mereka buang sampah itu ke sungai.
Di Pulau Rambut hutan bakau terus kita tanam, sampah terus kita bersihkan, burung terus kita lestarikan, demikian juga binatang-binatang yang ada di pulau itu. Bahkan pulau inipun ramah terhadap burung yang bermigrasi dari luar negeri yang melintasi kepulauan Indonesia.
Saatnya kita juga ramah terhadap lingkungan kita. Mari kita gemakan pesan lingkungan hidup tanggal 5 juni lalu. Silahkan bergabung dengan WALHI atau apaun namanya, yang penting tujuannya untuk membuat Bumi menjadi lebih ceria.
Salam sehati
+++
Foto di atas diambil dari FB https://www.facebook.com/hbundrawan
+++Penulis adalah Wakil Ketua BeBlog yang aktif juga di Komunitas Blogger Cikarang, blog pribadinya ada di "Dari Kaca Mataku".
Selain itu aktif juga menulis tentang Gadget Ipad, Blackberry, Android, Samsung maupun menulis tentang bisnis kuliner Mie Ayam SEHATI
Nick namenya Eko Eshape

