Kebangkitan Budaya Bekasi
Artikel Friday, June 14th, 2013 91 views
Kebangkitan Budaya Bekasi
Oleh : Komarudin Ibnu Mikam
Kebangkitan budaya bekasi. Mari menukik pada wilayah Bekasi. Momentum tahun ini bisa disebut sebagai kebangkitan Budaya Bekasi. Khususnya Kabupaten dan Kota Bekasi. Diawali dengan pikuk opini menyala karena obor peradaban masa lalu yang masih sunyi: Situs Buni. Saat gonjang ganjing didirikannya sebuah perusahaan penghasil listrik di kawasan yang berpotensi arkeologis Kampung Buni Pasar Emas dan Kampung Pendayakan desa Muara Bakti, Kecamatan Babelan. Alhamdulillah, sengkarut perkara ini disikapi dengan bijak para pengambil kebijakan : Setuju dengan ikhtiar ditetapkannya Situs Buni dengan menganggarkannya dalam ABT kelak.
Penganggaran dalam APBD untuk para pengabdi budaya bukan dalam perspektif angka. Tapi lebih dari itu. Bahwa paradigma birokrat saat ini sudah lebih ngeh dengan persoalan budaya. Lebih peduli dan memprioritaskan. Menurut saya ini luar biasa. Biasanya mindset pemerintah kabupaten tidak pernah keluar dari belitan orbit materialism dan komisi. Tapi, untuk Situs Buni beda. Pertimbangan budaya dikedepankan sebagai basis dalam mengakselerasi pembangunan. Ini luar biasa. Kebangkitan budaya Bekasi.
Langkah kreatif ini diikuti Legislatif dengan membuat Panitia Khusus yang membahas masalah Benda Cagar Budaya. Tanggal 30 April 2013, para anggota DPRD Kabupaten Bekasi mengetuk palu mengsahkan Perda No 7 tahun 2013 tentang Pelestarian Benda Cagar Budaya. Perda ini menjadi patok besi untuk membangun Bekasi lebih beradab dengan kearifan lokal kita sendiri. Demi terbangunnya identitas budaya Bekasi. Yang selama ini masih kadung asing. Ini luar biasa. Ini Kebangkitan budaya Bekasi.
Ini Peraturan Daerah pertama sejak Kabupaten Bekasi dibentuk tahun 1950-an. Setelah enampuluh tahun lebih, baru kali ini Kabupaten Bekasi menghargai Benda-benda Cagar Budaya dengan menerbitkan payung hukumnya. Padahal, konon kabarnya ada 107 Benda Cagar Budaya yang terserak seantero Bekasi. Dari Tarumanegara, eh, Tarumajaya hingga Cibarusah. Dari Situs Buni, Petilasan Syekh Maulana Mansyurudin di Pondok Dua, Gedung Juang Tambun, Saung Ranggon, Kramat Cijengkol dan lain sebagainya. Ini Luar biasa. Ini Kebangkitan Budaya Bekasi.
Kalau bukan kita yang menghargai budaya sendiri, lalu siapa lagi?
Kebangkitan Budaya ini bukan akhir. Justru malah awalan dari kerja cerdas dan ikhlas.ini tantangan masyarakat Budaya. Demi membangun arsitektur Budaya asli Bekasi. Setelah sekian lama sunyi tergeletak di pendaringan. Setelah capek dengan kurusetra politik. Setelah lena ditipu gemerincing dollar dari minyak dan kawasan industri. Titik ini menjadi dimensi sinergis membangun Bekasi berbasis budaya, kreativitas dan kapasitas lokal. Karena ini saatnya, Momentum Kebangkitan Bekasi.
Mari Belajar dari Solo
Sebuah keberkahan saya ikut ASEAN Blogger Festival di Solo, 9-12 Mei 2013. Dialog kebudayaan melalui interaksi antar blogger dari berbagai daerah dan negara menjadi akselerasi ide dan pemikiran. Peserta juga diajak singgah ke beberapa tempat di Solo. Diawali dengan welcoming dinner di rumah Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo hingga penutupan di Keraton Solo. Satu hal yang amat berkesan bahwa Solo mampu membangun dengan budaya dan kearifan local. Hal itu kentara terlihat dalam pola laku dan aktivitas Kota Surakarta (Solo).
Surakarta, nama lain dari Solo, sungguh memang memberikan pelajaran kita. Daerah ini tidak punya Sumber Daya Alam (SDA) seperti minyak dan gas bumi. Namunn, nampaknya Daerah minus SDA ini lebih baik daripada minus SDM (sumber daya manusia-nya).
Kekayaan budaya tradisi dan kreatifitas menjadi unggulan dan modal penting perekonomian Kota Surakarta. khususnya bagi tumbuh kembangnya kegiatan pariwisata, budaya, olah raga perdagangan dan jasa. Hal ini terlihat saat acara Pagelaran Sendratari di Pura Mangkunegara. Sejumlah seniman cilik mementaskan tari. Adit (11) mengaku berlatih dua kali dalam sepekan. Setiap rabu dan Jumat. Cukup dengan merogoh kocek Rp. 20.000 per bulan, mereka bisa mengasah kehalusan budi dengan mempelajari tari-tarian. Karena tari-sastra adalah nafas peradaban. Dengan pipa ini, segala mumet dan pekak kontaminasi polusi peradaban bisa dihembuskan.
Surakarta atau lebih dikenal dengan panggilan Solo (Sala) bukan hanya salah satu kota Besar di Jawa Tengah, tapi juga salah satu kota yang besar karena kekayaan budaya dan adat istiadatnya. sebuah kota yang bisa hidup dengan mengandalkan industri kreatifnya. Batik, salah satunya. Batik kini menjadi trend dunia. Dan, hebatnya dengan kebijakan yang lebih mengedepankan pasar tradisional, yang menikmati boomin batik ini adalah rakyat banyak.
Kalau kita ingin menauladani langkah ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah merekonstruksi arsitektur budaya wilayah kita. Dalam konteks ini Bekasi. Bekasi Kabupaten khususnya. Baru kemudian hal-hal implementatif kita lakukan sebagai sub kultur dari desain besar Budaya Bekasi.
Menindaklanjuti gulana pemikiran, saya memprovokasi H. Sunaryo, salah seorang tokoh masyarakat Buni. Mengundang sejumlah kalangan untuk sharing soal Budaya Bekasi. Sejumlah kalangan hadir dalam acara kongkow-kongkow informal. Ternyata, peserta kongkow sepakat bahwa Bekasi sejauh ini kehilangan elan semangat untuk mendefinisikan Budaya Bekasi. Kehilangan identitas. Kita masih kekurangan definisi menyangkut apa yang dimaksud dengan Konstruksi Budaya Bekasi. Kagak danta. Karena itu kemudian menjadi PR bagi semua pemerhati budaya untuk melakukan re-inventing the cultural heritage of Bekasi. Menemukan kembali warisan budaya Bekasi.
Pun demikian, penerbitan Perda no. 7 tahun 2013 tentang Pelestarian Benda Cagar Budaya menjadi tonggak dari ikhtiar mendefinisikan Budaya Bekasi. Tinggal tugas kita selanjutnya menggiring pemerintah kabupaten untuk terus memprioritaskan perhatian terhadap Konstruksi Budaya Bekasi. Bagaimana pun intervensi dari pemerintah daerah menjadi faktor penting sebagai pijakan pembangunan teori budaya Bekasi.
Sebagai contoh Kota Solo, peran pemerintah daerah sangat penting dalam mengawal dinamika pembangunan budaya ini untuk terus bergerak dalam rel kerakyatan. Yang berpihak. Yang mensejahterakan dan mengangkat marwah daerah dan penduduknya.
Longok saja di Pasar Klewer, Solo. Dari ujung ke ujung batik dijajakan dalam rupa ragam yang variatif. Mulai dari lurik, daster, blankon, tas batik, wulung, sendal sepatu. Batik mampu menjadi roh dari kedigdayaan budaya lokal yang mampu mensejahterakan masyarakat. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, semuanya bisa bernuansa batik. Sampai-sampai pesanpolitik pun nongol di sela-sela baju bocah seharga 20-35 ribuan. “Enak zaman ku to?” dengan gambar mantan presiden Soeharto. Sebuah dagelan nyinyir, nyindir.
Ini pelajaran penting. Mendorong budaya lokal menjadi trend harus diparaleli dengan kebijakan politik yang berpihak. Sebagai contoh, sayur pucung gabus merupakan kuliner asli Bekasi. Tapi ikan gabusnya sendiri harus diimpor dari Lampung. Mencontoh ironisme kedele. Tempe makanan sehari-hari kita. Tapi, kedelenya masih impor. Setiap hari kita makan mie instant, tapi gandumnya impor. Di Kebangkitan Budaya Bekasi, hal ini tidak boleh terjadi lagi kelak.
Artinya, gerakan horizontal dari masyarakat budaya dengan mengikhtiarkan budaya lokal masuk harus diiringi dengan perlindungan secara vertikal dari pemerintah. Butuh banyak akselerasi yang harus dilakukan. Butuh banyak intervensi untuk menstimulasi budaya lokal lebih sakti melawan mandraguna modern dan asing.
Pada poin ini, dalam saat gada peradaban Kebangkitan Nasional, kita mendeklarasikan Kebangkitan Budaya Bekasi. Selamat hari Kebangkitan Nasional ! Hidup Budaya Bekasi. Majulah Bekasi! (twitter : @bangkomarbekasi]

Ko bisa ya?