Miskinkah ???
Sosial-Budaya Sunday, November 29th, 2009 3,084 views Print Artikel IniTidak biasanya, anak saya yang baru berumur 5 tahun, bangun pagi-pagi sekali. Hari itu dia dan teman-temannya sudah janjian untuk shalat Idhul Adha bersama-sama. Seakan tidak mau ketinggalan kereta, anakku bergegas mandi. Biasanya sulit sekali kalau disuruh mandi. Tidak lebih 10 menit dia sudah siap di depan pintu, lengkap dengan sejadah, baju koko dan kopiah.
Kegembiraan jelas terpancar dari raut wajahnya. Karena pada tahun ini panitia qurban mengajak anak-anak kecil di komplek untuk ikut serta dalam pembagian hewan qurban. Bahkan sebelum hari qurban, anak-anak sudah dilibatkan mengurus hewan qurban. Sebuah pengalaman yang menyenangkan bagi anak-anak yang tumbuh di kota besar bisa bermain-main dengan hewan yang hanya ada dalam buku-buku dongeng. Bagi kita, orang tua yang berasal dari desa, mungkin hal yang biasa memberikan makan bahkan memandikan hewan piaraan seperti kambing dan kerbau. Lain halnya dengan anak-anak kota, untuk bermain kotor-kotoran di sawah saja orang tua harus keluar uang yang cukup banyak.
Dalam perjalanan ke mesjid, saya ceritakan mengapa muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idhul Adha. Muslim yang mampu diwajibkan memotong hewan untuk dibagikan kepada fakir miskin (mudah-mudahan penjelasannya benar, maklum bukan orang pesantrenan). Kemudian saya bertanya:
“de’ tahu gak ciri-ciri orang miskin itu seperti apa ?“…setelah berpikir lama, anakku mulai menjawab, bahwa: “orang miskin itu adalah orang yang tidak punya rumah, tinggalnya di gubuk atau kolong jembatan. Badanya kurus, kulitnya hitam legam dan bajunya compang-camping.” Gambaran itu tidak lah salah, karena memang buku-buku yang ada mengajarkannya demikian.
Setekah sholat Id, anakku dan teman-temannya bergegas masuk aula untuk membantu para ibu majlis taklim mempersiapkan pembagian daging qurban. Karena hari raya berbarengan dengan pelaksanaan sholat Jumat, pembagian daging qurban akan dilaksanakan setelah shalat Ashar.
Menjelang detik-detik pembagian, jalanan menuju mesjid sudah dipenuhi olah orang-orang yang akan menerima daging qurban. Jalanan semakin sesak dengan kendaraan motor yang diparkir kanan kiri, sebagian besar adalah milik para mustahik. Beberapa motor kelihatan masih gres alias baru keluar dari pabrik, bahkan plat nomornya saja belum ada.
Sambil menunggu pembagian, sebagian para mustahik sibuk membeli jajanan, mulai dari Ice Walls yang harga termurahnya sekitar Rp. 5.000 sampai tukang baso yang banyak dikerubuti oleh ibu-ibu dan remaja putri. Sebagian lagi sibuk berkerumun sambil pencet-pencet tombol HP. Saya kaget juga, ternyata HP mereka lebih up to date dan tentunya jauh lebih canggih dibandingkan punya saya. Seingat saya, bukankah yang berhak menerima daging qurban itu adalah orang miskin ? dan ciri orang miskin itu setidaknya adalah seperti yang digambarkan oleh anak saya.
Saya mulai mengingat-ingat indikator kemiskinan yang disusun oleh World Bank, UNPD sampai BKKBN dan Departemen Sosial. Tampaknya indikator yang disusun melalui serangkaian seminar tersebut tidak lagi sesuai dengan gambaran yang saya lihat. Coba lah tengok orang-orang yang antri BLT, sebagian dari mereka mengenakan dandanan model terbaru bahkan ada yang dilengkapi perhiasan yang mencolok mata. Sedangkan orang tua jompo, cacat dan orang miskin yang sebenarnya sangat berhak justeru hanya menjadi penonton, karena mereka tidak kebagian kartu BLT.
Ketika pembagian daging qurban dimulai, orang yang tadi berkerumun tadi mulai berebut tempat agar mendapat posisi yang strategis. Semua orang mengerahkan tenaganya, bahkan sambil sikut dan injak pun menjadi hal yang lumrah dan sah-sah saja. Dalam waktu 1,5 jam, 3000 kantong daging habis terbagi. Panitia pun bersyukur, pembagian daging qurban berjalan dengan sukses. Kericuhan yang dikuatirkan terjadi seperti di Lapangan Bhayangkara dan Mesjid Istiqlal serta beberapa daerah lainnya tidak terjadi. Setidaknya panitia dapat tidur dengan nyenyak.
Menjelang sholat magrib saya pun siap-siap untuk pulang bersih-bersih. Maklum bau daging kambing mengalahkan bau parfume yang mahal sekalipun. Namun betapa kagetnya, ketika baru menginjakkan kaki di luar halaman, ternyata masih banyak para mustahik yang belum kebagian. Mereka menunggu dan berharap-harap cemas, mudah-mudahan masih ada daging qurban yang belum dibagikan. Sebagian dari mereka persis seperti apa yang digambarkan oleh anak saya, bahkan di antaranya adalah orang tua renta yang tentunya kalah tenaga berebut dengan yang muda. Untungnya, panitia menyisakan beberapa kantong untuk kondisi emergency. Tidak sia-sia mereka menunggu lama, setidaknya mereka bisa pulang dengan senyum mengembang dan nanti malam sudah terbayang dapat makan daging.
Adakah yang salah dalam pembagian daging qurban kali ini ? Yang pasti, tahun depan perlu ada perbaikan sistem yang lebih baik. Saya melihat bahwa ada orang-orang yang sebenanya berhak, namun karena tidak memiliki akses kekuasaan dan kedekatan dengan Pak RT/RW atau orang yang diberi amanah, justeru tidak tercantum dalam daftar penerima daging qurban. Ironisnya, yang mendapatkan daging qurban, justeru adalah orang-orang yang mungkin saja setiap hari mampu membeli daging.
Jadi, siapa sebenarnya yang miskin itu ? Mengapa setiap tahun makin banyak orang yang antre daging qurban ? Siapa orang di negeri ini yang bisa diminta pertanggungjawabannya ? Jangan-jangan kita salah menginterpretasi UUD yang menyatakan bahwa orang miskin dipelihara oleh negara. Karena dipelihara, tentu saja yang miskin semakin bertambah. Mestinya, UUD diamandemen yang menyatakan negara berkewajiban bin kudu mengurangi kemiskinan setap tahun. Jika gagal, maka Presiden harus mengundur diri. Adakah pemimpin yang berani berikrar seperti itu ? Wallahuallam……..
Print Artikel Ini
negara berkewajiban bin kudu mengurangi kemiskinan setap tahun. Jika gagal, maka Presiden harus mengundur diri.
Setujuuuuuuuuuuuuuu