Berhutang Pada Diri Sendiri - Bagian 1
Oleh. M. Eko Purwanto
Setelah Tarawih, halaman Masjid masih dipenuhi hujan yang turun cukup lebat. Di depan pintu keluar Masjid, saya memandangi butiran hujan yang berhamburan diatas genangan. Udara dingin yang berbisik halus, menyelimuti kerinduan saya pada seorang teman, dan mengantar langkah kaki ini pergi ke rumah seseorang yang kebetulan dekat dengan tempat dimana saya menyelesaikan rekaat demi rekaat tarawih malam ini.
Dengan agak tergopoh-gopoh, sampai juga saya di depan warung milik teman dan mengucap salam, “Assalaamu’alaikuuuum.” Namun, tidak spontan saya dengar yang punya rumah menjawab salam saya, meski menurut saya suara salam tadi pun terdengar oleh beberapa tetangga di kiri-kanannya. Sebelum ucapan salam sekali lagi terucap, suara langkah yang mengayun cepat menghampiri saya dengan sedikit terkejut. Dari dalam warung Istri teman saya menyapa, “oh… dik Eko !, masuk masuk !. Hujan-hujan begini sempet-sempetnya bisa mampir kesini ?,” sambil membuka pintu rumah di sebelah warungnya.
Belum sempat saya menjawab pertanyaan ini, istri teman saya menimpalinya lagi, “maaf lho dik tadi saya ada di belakang, jadi nggak tahu siapa yang mengucap salam.”
”Nggak apa-apa bu, Pak Sapar ada ?.”
”Ada, silahkan duduk dulu. Bapak nggak Tarawih hari ini alasannya hujan katanya.”
Perlahan sambil meletakkan pantat di kursi tamu, saya sedikit basa-basi, ”iya, tadi sudah mendung sebelum magrib bu, pas menjelang Isya’ hujan cepat sekali turun.”
“Tadi waktu ke Masjid apa nggak kehujanan ?”
“Alhamdulillah sebelum Adzan Isya’, saya sudah ada di Masjid, jadi nggak ketemu hujan.”
“Iya,” jawab istri temanku dan memanggil-manggil suaminya. “Paaak… ditunggu dik Eko nih di depan !.”
Nggak lama, suaminya datang dan menyambut saya dengan gayanya yang khas, “he..he..he..he .., kebetulan sekali Dik Eko datang nih. Dari sore tadi saya kok terus keingetan Dik Eko aja. Ada apaaa ya ?, maklum sudah dua minggu ini saya belum sempet maen ke rumah, eeeh .. kok ndilalah sampean malah kerumah saya ?”.
”Iya Pak, karena masih hujan saya pikir daripada langsung pulang, mampir dulu ah ke rumah Pak Sapar,” saya beralasan.
”Gimana, keluarga sehat semua khan ?”
”Alhamdulillah.”
”Dari kemaren saya mau ke rumah Dik Eko, tapi nggak sempet-sempet. Ada yang mau saya omongin. Anak saya yang di Wasior, Irian, sudah mulai bekerja setelah pra jabatan selama dua minggu di Manokwari…..bla…. bla …. bla …. bla”.
Seperti biasanya, Pak Sapar kalo sudah bicara nggak pernah putus-putusnya. Nyambung terus. Kalo sudah begini, saya hanya akan menjadi pendengar yang baik saja. Bahkan sering saya sambil ngantukpun, Dia tetap saja nggak bisa diam menceritakan anaknya yang merantau di Pulau Irian Jaya sana.
Seperti malam-malam sebelumnya, kalo sudah ngobrol begini kita tidak pernah kenal waktu. Pak Sapar pun, Nggak peduli kalau besok paginya saya harus bekerja atau tidak, yang penting apa yang menjadi uneg-unegnya terpuaskan. Saking asyiknya, kadang-kadang baru sadar kalo sudah jam 2 dini hari. Biasanya, apa yang kita bicarakan adalah persoalan hidup sehari-hari yang hampir ada kemiripan antara saya dengan Pak Sapar. Persoalan anak, hutang, hubungan dengan tetangga, istri dan lain-lain, lumat sudah kita kunyah-kunyah hanya sekedar menemukan hakekat di balik peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Biasanya, ketika hakekat-hakekat itu bisa kita temukan maka kita berdua sama-sama akan menemukan pencerahan, pemahaman, dan besoknya hidup akan lebih bersemangat lagi.
Page 1 of 2 | Next page