Home » Cerita Pendek » The Memorandum

The Memorandum

oleh Ali Reza

Tanggal 10 Nopember lalu beberapa jam sebelum presiden AS meninggalkan Indonesia, ada berapa perjanjian yang ditandatangani oleh presiden AS dan presiden RI. Tidak ada wartawan yang meliput, tidak juga staf kepresidenan dari masing-masing negara.

Sebelumnya, presiden RI sudah membaca dan merevisi draft memorandum tersebut yang berisi tentang kesepakatan bisnis kedua negara. Presiden RI mengenakan dasi merah, presiden AS mengenakan dasi biru.

Presiden AS memang murah senyum terlebih lagi ketika sedang berada di negara yang pernah ditinggalinya sewaktu kecil. “I love this country” begitu beliau berbisik padaku saat aku meletakkan teh untuk mereka. Tapi kurasa beliau tersenyum untuk alasan lain, yaitu untuk usahanya menolong negaranya yang sedang dalam resesi ekonomi. Seperti yang diberitakan di koran bahwa AS sedang defisit keuangan, pengangguran meningkat serta ketergantungan industri-industri mereka pada minyak menjadi masalah besar.

Presiden AS mewakili perusahaan-perusahaan minyak dan eksplorasi tambang milik pengusaha AS. Mereka memegang peranan penting dalam distribusi hasil tambang RI ke negaranya.

Di dalam memorandum yang draftnya ditulis oleh presiden AS sendiri tertulis jangka waktu kontrak perusahaan-perusahaan tadi dan kewenangan lebih untuk mengeksplorasi sumber daya alam milik RI. Sedangkan kompensasi yang diberikan kepada negara RI berupa bagian 15% dari keuntungan, dengan perincian (menurut presiden RI atas rekomendasi orang-orang di partainya) sebagai berikut: 8% adalah untuk rakyat RI dan 7% untuk partai kemenangan presiden RI.

Presiden RI mencoba tenang, aku melihatnya beberapa kali menarik nafas panjang. Beliau sudah berulang-ulang membaca memorandum itu. Sementara di sisi lain presiden AS sudah masih terlihat sabar menunggunya. Presiden AS sering memuji teh buatanku. Aku berseloroh jika teh itu kubeli di pasar seharga tiga ribu rupiah. Aku menyaring teh itu dengan beberapa kali saringan dan membuatnya pekat sebelum kucampur dengan kuning telur kocok. “Good for men” kataku.

Aku menunggu di pojokkan kalau-kalau mereka membutuhkan sesuatu. Baki di pangkuanku, pikiranku berputar-putar mencoba memahami isi memorandum tersebut. Aku berani bertaruh presidenku tidak akan menandatanganinya. Tapi jika beliau melakukannya maka beliau sedang mempertaruhkan rakyatnya.

Menit-menit itu adalah saat yang paling mendebarkan di sepanjang sejarah hidupku. Presiden RI memanggil diriku dan minta dibuatkan kopi Toraja. Beliau menawarkan pada presiden AS, dan presiden AS hanya tersenyum untuk jawaban terima kasih. Maka aku membuat tiga cangkir kopi Toraja. Satu cangkir untukku yang kuminum di dapur.

Ketika kembali dan mempersilahkan kedua presiden untuk minum kopi mereka, aku melihat memorandum yang belum ditandantangani. Ballpoint-nya belum bergerak dari tempatnya, sepertinya presiden RI menunjukkan keengganan untuk menandatanganinya.

Beberapa bagian dari momen-momen tersebut memang tidak kusaksikan. Rupanya mereka tidak ingin seorang pun menyaksikan penandantanganan itu maupun pembicaraan setelah penandatanganan. Presiden RI menyuruhku keluar ruangan dan menunggu di depan lobi.

Presiden RI, seperti beliau menceritakannya padaku, sedih dengan keadaan rakyatnya yang masih miskin. Bencana alam di berbagai daerah mengguncang batinnya, korupsi tidak henti-hentinya menjadi masalah, sebagian besar hutan negara ini lenyap begitu saja. Beliau tidak pernah sempat melihat langsung pengemis-pengemis di pinggir jalan di pojokan Jakarta karena terperangkap di dalam mobil mewahnya. Beliau ingin mengganti mobil itu dengan kendaaraan biasa atau bahkan naik kendaraan umum sehingga bisa melihat langsung penderitaan rakyatnya. Saluran TV yang menyiarkan kesedihan masyarakat dan kebobrokan pemerintah pun dibuat sedemikian rupa supaya tidak bisa disaksikannya. Beliau sangat sedih. Sedangkan yang sampai di mejanya hanya kabar gembira. “Pak Presiden, lihat anak bangsa kita sudah membuat kemajuan dalam membuat film. Ayo pak, kita nonton Ayat-Ayat Cinta” salah seorang stafnya berkata. “Bapak mempunyai potensi dalam seni. Ah, suara bapak sangat bagus. Kenapa tidak buat album saja, pak. Itu menunjukkan kemampuan seni bapak.”

Jakarta, sebagai ibu kota, seharusnya menjadi contoh baik dalam menangani berbagai macam permasalahan. Banjir, macet dan polusi sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Beliau geram terhadap gubernurnya tapi tidak punya nyali untuk mencopot jabatannya. Bukankah rakyat yang memilih gubernurnya, maka rakyat pula yang bisa menurunkannya, demikian beliau berkata.

Beliau pernah menangis di hadapan para petani saat mendengar keluhan mereka. Kondisi mereka memprihatinkan, ucap beliau. Tapi beliau tidak tahu jika kebijakannya selama ini sangat merugikan para petani.

Kemudian beliau menangis di hadapanku. Kemarin beliau dihadapkan pada sebuah catatan hutang-hutang kampanye pemenangan beliau. Jumlahnya triliunan, kata beliau. Beliau tidak bisa menanggung beban hutang itu di hadapan Tuhan kelak. Semua orang yang menghutanginya akan menagihnya di akhirat. Di samping itu, beliau juga masih memiliki harapan dan impian agar partai binaannya mampu menciptakan kader-kader seperti dirinya di pemilu berikutnya. Dana yang dibutuhkan besar, jumlahnya triliunan juga. Namun beliau mengatakan dengan gagah berani bahwa tidak ada dana yang terlalu besar jika kita punya uangnya. Dan dengan hati yang mantap beliau menandatangani memorandum itu. Beliau tersenyum lega, lalu menyodorkan tangannya kepada presiden AS untuk berjabat tangan. Tidak ada foto, tidak ada wartawan yang meliput, dan tidak ada juga staf kepresidenan.

Print Artikel Ini Print Artikel Ini
Posted by on Nov 14 2010. Filed under Cerita Pendek. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

Login

Login Anggota
Lost Password?

Amprokan Blogger | Temu Blogger Nusantara

Banner Komunitas

Komunitas Blogger Bekasi

Copykan Kode dibawah ini ke Blog/Website Anda!

© 2014 Komunitas Blogger Bekasi. All Rights Reserved. Log in - Designed by Gabfire Themes