Calon Perseorangan Bagian 2
Geliat Calon Perseorangan Di tengah Budaya Transaksional, Bagian 2
Oleh. Purwalodra
Ketika sebuah demokrasi yang sarat dengan kompetisi, partisipasi dan kebebasan sipil untuk memenuhi hak-haknya sebagai warga negara, dibungkus dalam framing “materialisme”, maka demokrasi tersebut akan cacat dengan sendirinya. Budaya politik transaksional ini jelas akan meruntuhkan sendi-sendi nurani/kejujuran personal dan menggeser substansi politik atas dasar kebajikan, menjadi politik atas dasar uang.
Budaya politik transaksional akan menjadi suatu keharusan, apabila perilaku politiknya mentransaksikan aspirasi, kepentingan dan ekspektasi publik tentang kesejahteraan yang diaksentuasikan ke dalam produk politik yang populis (memihak kepada masyarakat) dan bukan transaksi yg dipenuhi propaganda politik saja. Tentu kita menghendaki bahwa calon Pemimpin publik mampu berperilaku jujur, dekat dan perhatian dengan rakyat serta kapabel, sehingga akan menjadi jembatan dalam membangun transaksi politik yang positip selama 5 tahun.
Kita sudah bisa menebak bahwa pejabat publik yg dihasilkan dari proses transaksi yang sarat modal, pasti akan berdampak pada logika dagang untuk pengembalian modal yang telah digunakan sebagai alat trasaksi politik tersebut. Perilaku yang paling mungkin dilakukan adalah korupsi atau penyalahgunaan jabatan publik, dan akibatnya kita menyaksikan ratusan pejabat publik mendekam dalam penjara.
Kondisi semacam ini pun belum bisa memberi kesadaran kepada kita, bahwa budaya politik transaksional akan berakibat pada pengingkaran hak-hak rakyat. Dengan demikian wajar saja jika yang tampil menjadi pejabat publik selalu berawal dari kekuatan modal finansial yang besar.
Proses Politik Transaksional
Dalam suasana budaya politik transaksional ini, seorang calon yang diusung oleh salah satu atau lebih parpol selalu dihantui persoalan finansial. Pimpinan dan pengurus Parpol tidak segan-segan memanfaatkannya untuk menggalang dana. Parpol akan memilih calon pejabat publik yang mampu memberikan tawaran tertinggi. Ketika seorang kandidat ingin memenangkan suatu pemilukada, maka ia harus menyumbang tidak hanya pada Parpol pada tingkat itu, tetapi juga parpol di tingkat DPD, bahkan DPP. Sehingga prosesnya menjadi sangat elitis, dan hanya calon yang memiliki kemampuan finansiallah yang mempunyai peluang untuk ikut serta.
Mahalnya biaya untuk menjadi pejabat publik di suatu daerah ini merupakan bukti nyata bahwa budaya politik transaksional ini sudah sedemikian parahnya, sehingga mampu menutup kemungkinan bagi calon-calon perseorangan untuk tampil menjadi pemimpin masyarakat. Sebagai contoh saja bahwa biaya untuk menjadi bupati di Jawa Timur mulai dari Rp. 5M sampai dengan Rp.25M. Dana sebesar itu digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan, antara lain untuk parpol dan pimpinannya, kampanye, arak-arakan, humas, kaos-oblong, seragam pendukung dan atribut-atribut kampanye lainnya.
Geliat Calon Perseorangan
Di berbagai daerah di Indonesia, dimana parpol tidak mampu mengimplementasikan hak-hak rakyatnya, maka wacana calon perseorangan menjadi alternatif untuk merekrut kepemimpinan politik melalui Pemilukada. Meskipun kita sadar bahwa political cost-nya tidak lebih murah daripada melalui prosedur parpol. Biasanya figur yang dianggap memiliki akseptabilitas tinggi antara lain : calon dari komunitas-komunitas independen, birokrat, militer, pengusaha, tokoh parpol, akdemisi dan tokoh agama.
Page 1 of 2 | Next page