Jeritan Kaum Bangsawan : Akulah Ayah Paruh Waktu
Artikel Thursday, February 2nd, 2012 145 views
Tulisan ini reposting. Ceritanya dulu masih jadi bangsawan (bangsa karywan). Waktu habis. Duit juga habis. Sekadar nostalgi….
Akulah, Ayah Paruh Waktu
Malam baru saja mengulas senyum. Dingin menyengat menyelimuti. Jemariku masih menari di atas tuts keyboard komputer. Memilih huruf demi huruf menjadi rangkaian kata. Sebaga hasil dari kolaborasi emosi dan rasioku. Sesekali aku menguap. Selembar kantuk menyapa. Menundukkan kelopak mata. Aku terpulas di atas bangku di bawah tatapan screen komputer yang tetap menyala menyedot energi listrik. Kepala terdongak ditopang sandaran kursi. Kedua tanganku terkulai di atas meja, namun pikiranku melayang jauh ke rumah.
”Bang, bangun subuh”. Suaraku pelan mengelus wajah Si Abang, anakku yang sulung.
”Emang udah jam berapa, Bi?” tanyanya sembari melek sebentar, berbalik merem lagi.
”Setengah lima, Bang”. kataku meraih ketiaknya. Tanpa menunggu wajahnya segar sempurna, aku menggendongnya ke kamar mandi.
”Sudah bagun, ayo, nanti Pak Adnan jemput, kamu sudah siap”. Tanganku menurunkannya.
Ketika guyuran air pada sendok pertama membasahi rambutnya, kelopak matanya membesar meneropongku dalam-dalam. ”Lho, Abi kok di rumah?”
”Ini ’kan hari Selasa, Abi bukannya di kantor?”. Tanyanya lagi tanpa menunggu jawaban pertama.
”Bi, udah sana pergi ke kantor, nanti Abi diomelin bos Abi lagi”. Tambahnya nyerocos membuatku terperangah. Ia menolak dan menepis gayung. ”Prakkk…!” gayung jatuh. Dan, aku pun siuman.
”Astaghfirullah…” Aku merunduk. Setangkup oksigen kuhirup, mengisi sepenuh ruang paru-paruku untuk segera mengirim darah ke otak. Aku menggeliat.
Susana kantor sudah senyap. Tinggal Imbang dan Joko yang sedang berjibaku dengan tata letak, lay out mediaku. Kembali, lintasan-lintasan ingatan mimpi singkat barusan coba aku review. Kedua telapak tanganku kuusap ke wajah, merenggangkan sejumlah otot yang semula tegang. Beberapa kali, leherku kurenggut sekadar menyegarkan.
”Lho, Abi kok ada di rumah”. Kalimat si Abang terngiang-ngiang di gendang telingaku. Selanjutnya, setelah itu, perasaan bersalah mendekapku begitu rapat. Ada yang terasa nyeri di dadaku. Entah apa. Membuat kepalaku jatuh tertunduk di atas meja di sebuah keyboard.
Terbayang kemudian wajah si Abang dan si Ade, dua putraku.
”Maafkan Abi, Nak,” aku berdesah. Tenggorokan serasa pepat mengingat mereka berdua yang begitu mengharapkanku. Sementara aku, selalu pergi pagi pulang malam. Bahkan, kalau sudah deadline seperti hari ini, aku harus menginap di kantor dan meninggalkan mereka berdua. Bertiga dengan uminya.
Ada segumpal keprihatinan yang mengganjal pembuluh darahku di otak. Semestinya tidak begini. Akulah yang semestinya mendidik dan menemani mereka tumbuh. Bukan Ibu Ani, pembantuku, seorang istri tukang becak.
Akulah yang semestinya membangunkan mereka untuk shalat subuh berjama’ah. Akulah yang semestinya mengajak mereka ke masjid untuk shalat Jum’at. Akulah yang selayaknya membawa mereka ke sawah, bukannya membiarkan mereka menghabiskan waktunya di depan televisi. Akulah yang semestinya mengajarkan mereka alif ba ta dan a b c d. Akulah orangnya yang harus mengajarkan mereka mengenal Tuhannya. Akulah orangnya yang mestinya menjelaskan segala fenomena dunia ini. Akulah orangya yang harus membawa mereka ke sawah dan ke sungai untuk kukenalkan kepada alam sekitar. Kepada capung, belalang, dan lumpur sawah.
Akulah yang semestinya menjemput dan mengantar si Abang ke sekolah. Bukannya Pak Adnan, tukang ojek yang setiap hari membawa si Abang ke sekolahnya. Akulah orang yang sewajarnya ada di depan rumah ketika ia pulang sekolah dan berteriak, ”Abi…Abi…” Akulah orangnya yang harus menjelaskan kepada si Abang saat ia mengirim surat cinta kepada teman wanitanya. Padahal, ia baru kelas satu SD. Akulah yang semestinya berada di sampingnya ketika ia mengganggu adiknya.
Akulah yang semestinya mengantarnya ke dokter saat ia panas. Tapi, sayang. Aku tidak ada di sana. Waktuku habis dimakan rapat, mengoordinasi anak buah, membuat tulisan, mengedit dan memantau pekerjaan teman-teman redaktur. Aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri dan meninggalkan darah dagingku sendiri tumbuh dan berkembang. Aku selalu berkilah untuk menghibur diri sendiri bahwa apa yang kulakukan demi pengabdianku pada umat. Lalu, apakah kedua anakku juga bukan umat.
Aku bagaikan ayah paruh waktu yang datang dan pergi seharian. Seribu kalimat sayang dan segumpal materi yang kuberikan ternyata tak mampu menggantikan kehadiranku. Dan, waktu yang terhempas, tak mungkin lagi bisa aku ulangi. Tak bisa aku ganti dengan apa pun.
”Abang, Adik, …maafkan Abi, ya Nak. Abi tak mampu memberikan yang kamu harapkan. Abi tak kuasa untuk menghadapi kondisi ini, Nak. Abi punya tanggungjawab yang harus Abi pikul. Abi sayang kamu”.
Tak terasa, tanganku yang kutelungkupkan di bawah wajah basah. Genangan ternyata masih ada di kelopak mataku. Saat kutegakkan badan, beberapa cc air mata menganak sungai.
Tenggorokan kembali sarat oleh penyesalan dan rasa bersalah. ”Rabbana, Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang lalai mengurus amanah yang Engkau berikan. Lindungilah kedua anakku. Jadikanlah mereka penolong agama-Mu seperti Engkau jadikan Musa dan Harun.
Aku menarik nafas. Di sela saratnya tenggorokan, aku teringat kamu Nda, istriku sayang. Di pundak lemahmu semua beban ini kuberatkan. Kamulah satu-satunya yang bisa aku harapkan merawat dan menumbuhkembangkan dua pangeran menjadi manusia.
Seperti kata penyair Kahlil Gibran, anak bagai busur panah yang meluncur deras menuju takdirnya. Anak kita pun akan berlari menuju alunan takdir hidupnya. Dan, di sela ketidakmampuanku, aku masih berharap busur panahku bisa melesat manis dalam aliran Tuhannya. Tentu, ia melangkah dengan panduan tanganmu, istriku.[]
