Pilih bensin murah atau beras murah?
Artikel Sunday, April 1st, 2012 48 views
Urusan harga murah memang selalu menarik perhatian. Tua-muda, kaya-miskin, laki-perempuan, semua memburu barang dengan harga murah. Celakanya pada dasarnya tidak ada pedagang yang mau menjual barang dengan harga murah. Jadi kalau kita mendapatkan harga murah, pasti ada kompensasi yang harus kita tanggung, misalnya kualitas yang lebih rendah, jumlah yang tidak sesuai, dan lain-lain.
Berkaitan dengan hiruk pikuk subsidi BBM akhir-akhir ini, yang notabene berkait erat dengan harga bensin. Reaksi kita sebagai rakyat sangat beragam, dalam arti berbagai ragam cara untuk mengaktualisasi ketidaksetujuan atas keinginan pemerintah tersebut. Sebenarnya jika kita berpikir lebih jernih, saat ini harga 1 liter bensin lebih murah dari harga 1 liter beras. Jika pemerintah memang ingin menyejahterakan rakyat yang belum sejahtera mengapa pemerintah tidak memasukkan opsi BBM naik tapi harga beras turun?
Subsidi saya pahami sebagai : pemerintah membeli mahal dijual murah untuk rakyat. Jadi bensin dibeli mahal dan dijual “murah” oleh pemerintah. Untuk rakyat yang belum sejahtera (”miskin”) sebenarnya harga bensin tidak sangat berpengaruh atas kehidupannya.
Fakta pertama : Mereka “mengkonsumsi” bensin paling banter 2-3 liter perminggu (asumsi menggunakan transportasi motor). Untuk para pemulung, pedangang asongan, pedagang keliling “konsumsi” bensin tidak akan jauh berbeda. Jadi sebenarnya harga bensin naik Rp. 1000,- atau Rp.1.500,- relatif tidak akan banyak berpengaruh atas kehidupan mereka. Lain halnya untuk kelas menengah dan kelas atas, konsumsi bensin mungkin bisa mencapai 5 atau 10 kali lipat dari konsumsi “rakyat jelata” tersebut.
Fakta Kedua : “rakyat miskin” lebih mementingkan kebutuhan primer (pangan, sandang dan papan). Seandainya pemerintah membeli beras dari petani dengan harga tinggi, kemudian menjual kepada rakyat dengan harga murah (seperti halnya bensin) ini tentu akan sangat berpengaruh positif terhadap “rakyat miskin” tersebut. Saya ambil contoh seorang tukang becak, dalam sebulan mungkin tak pernah melakukan perjalanan yang menggunakan bensin (baik motor, maupun angkutan umum) memiliki pendapatan Rp. 20.000,- perhari. Dari pendapatan itu alokasi untuk beras 1 liter (asumsi Rp. 7.000,-) untuk sayur dan lauk pauk (Rp. 10.000,-) terdapat sisa Rp. 3.000,- yang dialokasikan untuk listrik, kontrakan dll. Seandainya pemerintah bisa membeli beras petani dengan harga Rp. 6.000,- per liter dan menjual beras dengan harga Rp. 3.000,- perliter buat mereka tentu kehidupan akan terasa lebih ringan. Untuk petani harga yang pasti dan cukup tinggi tentu sangat membantu produksi beras tersebut. Jadi Petani sejahtera, rakyat yang lain juga sejahtera (bisa membeli beras dengan harga murah). Disini tantangan buat pemerintah : kalau harga BBM (dalam negeri tentunya) dapat dikontrol/diatur masa harga beras tidak dapat diatur??
Kesimpulan : Untuk rakyat menengah ke bawah, harga sembilan bahan pokok yang murah (”terjakau” oleh pendapatannya) jauh lebih penting dari pada harga bensin yang “murah”. Biarkan kenaikan harga bensin ditanggung oleh kelompok menengah keatas.
Saran :
- Untuk urusan BBM pemerintah punya PERTAMINA, seharusnya untuk urusan perut rakyat pemerintah punya PERBERNA (Perusahan Beras Nasional).
- Untuk distribusi BBM Pertamina punya SPBU, untuk urusan beras Perberna boleh juga mencontek menjadi SPBB (Stasiun Penjualan Beras Bersubsidi)
- Pemerintah selalu menetapkan harga minyak dalam APBN, dapat juga dipertimbangkan untuk menetapkan pula harga beras dalam APBN.
- Jika pemeritah tidak dapat menjamin harga beras yang murah, tentu juga saya menyarankan pula harga bensin yang murah.
