Tentang Sahabat (Mengenang karibku, Dr. Syarifuddin, wafat 21 Maret 2013) Oleh Nusa Putra
Artikel Friday, March 22nd, 2013 658 views Print Artikel IniTENTANG SAHABAT oleh Nusa Putra
Seorang sahabat datang ke kantor dalam keadaan sehat walafiat. Di kantor ia terpeleset dan jatuh. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia wafat. Tentu semua orang di kantor kaget dan juga sangat sedih, sebab ia orang yang sangat baik.
Kematian bisa datang kapan dan di mana pun. Merenggut siapa pun yang sudah tiba waktunya. Namun, kita tak pernah tahu kapan waktu kematian itu datang dan dengan cara apa. Karena itu kematian menjadi sangat misterius dan terasa datang sangat mendadak, mengagetkan dan menghentak kita yang masih hidup. Apalagi jika yang direnggut kematian adalah orang yang masih sehat. Kebiasaan membentuk fikiran kita bahwa kematian biasanya merenggut mereka yang sakit. Meskipun kita memahami bahwa tidak ada syarat bagi kematian. Siap pun, di mana pun, dalam keadaan apapun, bisa dan pasti mati.
Sering kita bertanya, mengapa orang-orang yang baik seringkali lebih dulu wafat. Sedangkan yang kelihatannya jahat dan jahat sekali seperti dibiarkan hidup lama. Bahkan dalam cerita silat karya Kho Ping Ho, tokoh yang paling jahat mati pada jilid terakhir, halaman terakhir, satu paragraf sebelum paragraf terakhir. Betapa sulitnya orang jahat mati.
Tentu saja ini tidak dapat ditafsirkan orang harus menjadi jahat agar kematian menghindarinya. Bisa jadi Tuhan sebenarnya memberi kesempatan pada orang jahat itu untuk berhenti menjadi orang jahat, bertobat lebih dulu sebelum mati. Apapun penjelasannya, ini hanyalah sebuah tafsir. Yang pasti, semua yang bernyawa pasti mati. Hidup untuk mati, kata filsuf Jerman Heidegger.
Konsekuensi yang niscaya atas pastinya kematian adalah hidup kita terbatas, pasti berakhir. Pertanyaan fundamental menghadapi fakta ini ialah, bagaimana memaknai hidup yang terbatas ini, yang tak pernah kita ketahui kapan berakhir?
Pastilah kita berkehendak melakukan yang terbaik, menjalani hidup dengan penuh kebaikan. Namun, kita juga sepenuhnya sadar tidak gampang menjalani dan memaknai hidup dengan melulu kebaikan dan kemuliaan. Sebab dorongan-dorongan liar dari dalam diri, dan tarikan-tarikan godaan dari luar diri, lebih banyak bahkan dibandingkan dengan lubang pori-pori di seluruh tubuh kita. Ini yang membuat hidup tak pernah dijalani dengan lurus lempang, ada banyak kelokan dan lubang yang seringkali membuat kita kehilangan kendali atas diri dan hidup.
Acap kali kita merasa sangat kaget, mendadak sontak sadar telah berada dalam situasi, tempat, dan kondisi yang tidak kita kenali dan ingini. Namun, untuk kembali lagi ke posisi yang seharusnya, bukan saja sangat sulit, kita bahkan tak tahu cara dan arahnya. Akhirnya, kita seperti menjadi orang asing dalam rumah sendiri, sampai tak lagi kenal pada diri sendiri.
Padahal seiring perjalanan waktu, sang maut terus tumbuh dan membesar dalam tubuh kehidupan kita. Sebab kematian memang ditanam dalam kehidupan seperti biji mangga yang ditanam dalam tanah. Semakin lama kematian semakin tumbuh kembang menggerogoti kehidupan segigit-segigit sampai tak ada lagi yang bersisa.
Menjadikan hidup bermakna secara positif merupakan cara terbaik saat kematian terus saja dengan lahap menggerogoti kita. Sebab tidak seperti kebanyakan sahabat kita yang bisa jadi tak hadir saat kita butuhkan,
KEMATIAN ADALAH SAHABAT KARIB YANG PASTI DATANG DALAM KEADAAN APAPUN!
TENTANG SAHABAT (2) oleh Nusa Putra
(Mengenang karibku, Dr. Syarifuddin, wafat 21 Maret 2013)
Makan di kantin mahasiswa, memesan makanan yang sederhana, makan dalam suasana saling dempet dan senggol dengan udara panas bagai dalam sauna, sebagian besar mahasiswa tah tahu bahwa mereka sedang makan dengan PR 2. Ia sering berjalan kaki mengelilingi kampus sendiri. Menyambangi gedung demi gedung, mendatangi tempat sampah, dan ngobrol dengan petugas kebersihan sambil ngopi tepat di sebelah gerobak sampah di pinggiran jalanan kampus. Para pegawai kebersihan tampak seperti berbincang dengan sesama teman, sesekali terdengar suara ngakak PR 2. Ia tak pernah canggung bercengkrama dengan pegawai yang berada pada strata paling bawah dalam struktur kepegawaian kampus. Ia sering makan bareng dengan orang-orang kecil, menraktir mereka, bukan sebagai pencitraan, tetapi karena begitulah karakternya, sederhana, peduli, dan suka berbagi.
Ia terobos gulita dini hari, menyetir sendiri mobil di bawah siraman hujan deras menuju rumah sakit Persahabatan untuk memastikan bahwa seorang satpam yang telah bolong paru-parunya mendapat perawatan yang baik. Dengan bahasa yang lembut ia juga menyemangati keluarga satpam itu. Jelas kulihat, air mata istri satpam itu mengalir deras saat karibku itu merangkulnya dan memastikan satpam itu akan diberi perhatian khusus. Aku sungguh melihat keletihan di wajahnya, namun ia tetap tersenyum dan bersemangat.
Ia memberi pada banyak anak yatim dan orang miskin, meski untuk dirinya sendiri, ia sering berhutang. Tatkala musim kenaikan kelas, tidak sedikit orang kecil yang datang padanya untuk meminta bantuan bagi anak-anak mereka yang naik kelas atau lulus sekolah. Ia tak pernah membiarkan mereka pulang dengan tangan kosong. Meski ia sering menjual beberapa barangnya untuk itu.
Ia memang bukan orang suci. Tapi aku haqqul yaqqin ia sungguh orang baik, baik dari dalam hatinya. Sebagai manusia, keturunan Adam yang pernah jatuh dalam dosa, seperti kita semua, pastilah ia pernah berbuat salah. Namun, kebaikannya pada banyak orang jauh melebihi kesalahan yang pernah ia perbuat.
Perilakunya yang bebas, spontan dan apa adanya terkadang tampak kurang pantas di mata sebagian teman, karena ia berada dalam jabatan, pada struktur atas birokrasi kampus. Tapi, tampaknya ia tidak peduli, karena baginya hidup apa adanya dengan kejujuran pastilah lebih baik daripada basa-basi birokrasi yang artifisial dan seringkali memuakkan.
Tak mengherankan bila ia lebih menonjol sebagai kontroversi di antara para pejabat yang selalu kelihatan normatif dan suka berpura-pura. Ia memang tampak sesukanya, tidur di sofa atau di atas sajadah di kantornya, berbagi makanan dari bungkus nasi yang sama dengan mahasiswa, dan berbagi uang dari dompetnya dengan siapa pun yang datang dan meminta bantuan. Terasa tidak formal, tidak terstruktur dan tidak normatif. Ia lakukan itu karena ia tak mau mengorbankan sisi manusiawinya hanya karena jabatan yang sebenarnya tak lebih seperti sandal jepit, yang bisa dilepas kapan pun ia mau.
Dengan segala perilakunya itu, banyak orang yang pernah merasakan kebaikan, suara tawa yang keras, dan senyum manisnya. Tetapi hidup, dan terutama birokrasi tak selalu berisi cerita tentang kebaikan, dan memberi apresiasi pada semua yang baik. Dalam konteks seperti itu, ia tampak sendirian, dan dibiarkan sendiri. Jadi, ia kelihatan aneh, tak biasa, dan ada di luar keumuman. Rupanya balada orang-orang baik memang selalu seperti itu. Nuh diabaikan, Yunus dicuekin, Musa harus dihanyutkan ke sungai, Isa dikejar-kejar, dan Muhammad SAW diejek sebagai orang gila. Ini semua terjadi karena mereka semua orang baik, dan mau setia pada kebaikan itu. Memang tak mudah menjadi orang baik, apalagi jika berkehendak tetap konsisten dalam dan dengan kebaikan.
Dua tahun terakhir ini, saudaraku ini seperti berlombapacu dengan maut. Penyakit seperti arisan dalam tubuhnya. Maut mulai menancapkan akar tunggang di jantungnya, dan akar serabut di ginjal dan levernya. Semakin lama semakin besar dan menguasai serta meluluhlantakkan tubuh dan kekuatannya. Namun, dalam semua keterbatasn dan kelemahan itu ia tidak mau berhenti untuk terus berbuat baik dengan apa pun yang ia bisa. Ia mengembangkan kalkulasi kebaikan yang tidak biasa. Lebih baik terus berbuat baik daripada hanya mengalah pada maut yang terus mengoyak-oyak tubuh. Bukankah pada akhirnya maut pasti mengalahkan kita, karena itu mengapa harus berhenti berbuat baik!
Aku bangga padanya, karena dengan konsisten berbuat baik, ia menghadapi maut dan kematian layaknya anak-anak menghadapi game online, semangat dan gembira. Saudaraku, kini maut merenggutmu dari kehidupan dunia fana, istirahatlah dengan damai, sebab
MAUT PASTI KALAHKAN DAN RENGGUT KITA DARI KEHIDUPAN, NAMUN MAUT TAK DAPAT KALAHKAN DAN RENGGUT KEBAIKAN KITA!
Print Artikel Ini