Agar Bentrok Sosial Tak Terjadi Lagi
Artikel Monday, July 22nd, 2013 184 views Print Artikel IniNgisi Kultum Budaya (foto:@eshape)Biang dari semua ini berawal dari ide unik seorang uda Irfan (@irfan_zj). Dia menunjuk saya untuk memberikan kultum jelang buka puasa dengan konten yang tidak biasa. Isinya dipesan: bicara budaya Bekasi. Wow…!
Sejujurnya saya seperti bocah kecil dapet maenan. Jejingkrakan sendirian. Memang ini yang gue mao. Yess…!
Uniknya lagi, saya diminta untuk memake kostum yang rada-rada khas. Ondel-ondel gitu….?
Kalau make baju item-item muatan Ramadhannya gak terlalu kentara. Maka, saya pilih pake celana putih dan baju koko plus songko item. Deal..!!
Semangat ketemu temen-temen. Semangat mau teriak tentang sesuatu yang selama ini saya pendam. Budaya oye!!
Sampai di Nics café, di luar dugaan ternyata panitianya nyiapin kaos merah. Metching bangett..ama baju putih koko tidak dikancingin dengan kaos merah tertulis Amprokan Komunitas. Keren…!!
Waktu merambat pelan, saat suasana masih di warna bangku kosong. Ada rasa agak sebel sedikit sebab sebelumnya dapat kabar bahwa yang datang itu overload. Kebanyakan. Ternyata banyak yang gak datang. Faktanya, peserta Amprokan Blogger itu datang pas jam 16.00. Perlahan tapi pasti bangku-bangku kosong terisi penuh. Alhamdulillah..kerja panitia mulai terlihat hasil. Saya kasihan juga seandainya yang daftar banyak tapi yang datang sedikit. Kan mubadzir…Alhamdulillah ya Allah. Lancar bro…
Apalagi dengan datangnya Wakil Walikota, Ustadz Ahmad Syaikhu (@syaikhu_ahmad). Pas dia datang, kan disambut oleh panitia khususnya dedengkot Bloggerbekasi, mas Eko Eshape (@eshape) dan Daeng Amril Gobel (@amriltg). Perasaan suhudzon di saya kuat menyebar di dada. Hmm..politisi, paling-paling Cuma datang formalitas. Datang duduk kasih sambutan terus pulang. Makanya, orang-orang pada nyalamin saya mah gak. Gitu dah prasangka saya.
Habis sambutan doi kembali ke tempat duduk di sebelah pak Eko Eshape. Sambutannya bagus saya kira. Tidak terkesan basa-basi dan punya bobot sebagai pejabat yang tidak gaptek. Cukup intelektual. Wuih keren juga…perasaan negative saya mulain goyang. Bagus juga nih Walkot.
Acara bergulir. Masuk pada presentasi Putra Sampoerna Foundation. Dari filantropi menuju social enterprise. Ide yang menarik. Kalau selama ini hanya sekadar memberikan beasiswa. Kini, PSF melebarkan sayap dengan membangun yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, beasiswa dan Bait al Kamil. Mereka membangun ekosistem yang diarahkan pada suatu yang kondisi dimana semua elemen bisa bergerak secara mandiri. Keuntungan diarahkan sebesar-besarnya pada hal sosial tapi dengan pengelolaan berbasis profesionalisme. Top banget dah!
Sampai detik itu ternyata pak Wawalkot masih nongkrong nungguin acara dan menyimak pemateri. Aiih…bagus juga nih pejabat satu ini. Saya mulain mandangin pak Wawalkot dengan agak malu-malu dikit. Malu ama diri sendiri…makanya jadi orang jangan kebanyakan suhudzon. Eit ntar dulu. Lihat ntar kalau gue ngomong, dia ikut jadi peserta biasa atau jaim……
Abis mbak Trias dari PSF terus berlanjut pemaparan dari mbak Oli Salsabila (@salsabeela). Mbak Oli pinter dengan waktu yang sesempit itu, peserta Amprokan diajak bermimpi dan berkhayal. Tentang sebuah pencapaian dari passion. Ternyata bisa jalan-jalan ke ujung dunia. Tanpa harus keluar uang. Bujug dah….
Tibalah giliran saya. Dengan hati dag dig dug, saya masuk ke gelanggang.
Setelah basa basi. Saya awali dengan pertanyaan, “siapakah diantara anda yang orang Bekasi?”
Peserta ngangkat tangan. Dan orang pertama yang saya lihat itu adalah Pak Walkot. Angkat tangan apa gak dia? Surprise dia ikut angkat tangan. Dengan mata yang berbinar dan antusias gitu lho….perasaan simpati mengganti perasaan sebel tadi. Beneran seumur hidup, baru kali ini saya bicara di depan pak Walkot. Soal budaya lagi…..Yesss!!
Saya makin semangat dan bergairah. Saya awali dengan bicara yang terjadi di perumahan Tytian Indah. Kompleks perumahannya mbak Irma (@irmasenja). Konflik antara orang kampung dan kompleks. Orang asli dan pendatang. Saya mengurai fenomena itu dengan semangat pembelajaran bahwa selama ini sudah terjadi upaya memecah belah orang Bekasi. Kita dipisahkan dengan lokasi geografi antara kompleks perumahan yang teratur, rapih, mewah dan jalan-jalan yang mulus. Diseberangnya ada perumahan dengan indicator yang kumuh, tidak teratur, becek dan kampungan. Seakan penghuni komplek perumahan itu warga kelas menengah ke atas. Orang di luar komplek perumahan itu kelas bawah. Ormis (orang miskinya). Saya langsung teriak, “Ini merupakan akibat dari kebijakan pemerintah daerah yang membangun tanpa memperhatikan aspek psikologis dan sosiologis…!!”
Sesaat saya merasa gak enak juga sama pak Walkot. Ini memang kerjaan pejabat. Tapi bukan pak Walkot yang ini. Hadirin langsung geeer….”Atuuttt….???”
Ya iyalah bukan kerjaan pak Syaiku. Dia kan baru naik di periode tahun ini. Sementara kebijakan sawah-sawah menjadi perumahan itu sudah berlangsung dari bertahun-tahun yang lalu.
“Kita seakan terpisahkan oleh sekat-sekat. Lihat saja disetiap perumahan pasti ada pagar pelindung yang memisahkan antara perumahan dan komplek perumahan.” Kata saya dengan berapi-api. Gelang dari kayu khoka yang saya pake terdengar beradu dengan gelas tasbih yang dari besi. Bunyinya menyelinap dan membisikan sejumlah kalimat untuk disampaikan kesempatan itu.
“Berkembangnya sosial media menjadi berkah teknologi membuat jalan keluar sebagai solusi atas ‘disintegrasi’ bahwa selama ini kita seakan tidak disatukan sebagai orang Bekasi….”
Bermunculannya komunitas-komunitas memperkuat potret pluralitas dan akulturatif wajah konstruksi budaya orang Bekasi. Membuka komunikasi. Ada upaya mengenal satu sama lain. Ketika @cibarusahcenter berinteraksi dengan @bekasiurbancity. Ketika komunitas @muaragembongku berpadu gerak langkah dengan komunitas Bekasi Green Attack (@BGAttack). Menjadi jembatan dari silaturahmi yang selama ini terputus. Yang kemudian melahirkan program-progran ramah lingkungan dan penyelamatan atas tumbuhan mangrove. Di sinilah saya kira makna kehadiran komunitas-komunitas itu yang menguat menjadi The Power of community.
Bhinekatunggal ika. Pilar kebangsaan kita betul-betul dipraktekan di komunitas. Contoh bagusnya adalah di Blogger Bekasi (www.bloggerbekasi.com). Dibesut oleh orang-orang yang tinggalnya di perumahan. Ada mas Aris Heru Utomo (@arisheruutomo) dari jawa, Daeng Amril Taufik Gobel (@amriltg) dari Makasar, mas Eko Eshape (@eshape) dari Yogya, mbak Ajeng (@ajengkol) putrid ayu dari Solo, uda Irfan (@Irfan_zj) dari Padang. Ada om Jay (@wijayakusumah), ada juga mbak Indah Juli Sibarani (dari Sibarani-nya kita tahu dari mana…), ada mbak Mira Syahid (@ayyankmira), mbak Irma (@irmasenja), pasangan Bene dan ceu Anggikusumah.
Walau mereka berasal dari berbagai daerah tapi semangat mengangkat kearifan lokal dan potensi budaya lokalnya amat kuat. Dengan membuat agenda mercusuar yang diberikan nama AMPROKAN BLOGGER. Sungguh ini merupakan terobosan budaya dari sebuah komunitas. Saya sebagai orang Bekasi yang berasal dari subkultur Betawi bangga dan terharu dengan sikap dan visi dari bloggerbekasi. Saya jadi inget sebuah teori bahwa perubahan sosial itu hanya bisa digerakan dengan pendekatan budaya. Lebih permanen ajeg dan alamiah.
Inilah inti dari apa yang ingin saya sampaikan. Walau kita terpisahkan secara adminitratif. Kota dan Kabupaten Bekasi. Tapi sesungguhnya secara budaya kita adalah satu : orang Bekasi. Mendedikasikan diri sebagai warga sederhana yang mengamalkan falsafah dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Karena pluralitas dan akulturatif memang menjadi corak budaya Bekasi yang sudah diwariskan secara turun temurun. Karena secara geografis saja, Bekasi punya semua. Mulai dari pesisir, persawahan hingga perbukitan. Semua suku di Indonesia di Bekasi. Bahkan ada 30 negara di kawasan industry yang saat ini menanamkan modalnya.
Nah, mari bersatulah orang Bekasi. Berbanggalah dengan kebekasian kita dan berprestasilah harumkan nama Bekasi. Hidup Bekasi!!!! (kim. Foto minjem ama Daeng dan mas Eshape)
Print Artikel Ini
wah memang cetar membahana ya
sayangnya di daerahku sekarang sepertinya bentrok sudah menjadi budaya. tiap malam sudah tarawe pasti ada saja yang bentro. makassar oh makassar. pusing saya lihatnya