Dinamika Lembaga Pendidikan Swasta di Indonesia – Bagian 3
Pendidikan Friday, November 27th, 2009 2,101 views
Oleh. Purwalodra / Dr. M. Eko Purwanto, SE, MM
(Wiradarma Education Consultant)
Strategi Mengatasi Fluktuasi Permintaan Jasa Pendidikan
Seperti tahun-tahun sebelumnya, dibulan Nopember dan Desember, lembaga-lembaga pendidikan sudah melakukan ’marketing war’ (perang pemasaran), provokatornya justru datang dari lembaga-lembaga pendidikan swasta yang berbayar mahal. Mungkin saja mereka memiliki dana besar untuk melakukan itu, atau mungkin karena lembaga-lembaga pendidikan berbayar mahal tersebut sudah semakin banyak, sehingga terjadi kelebihan penawaran. Namun, bagi lembaga pendidikan yang memiliki dana publikasi pas-pasan jangan berkecil hati, karena banyak sedikitnya peserta didik yang diperoleh bukan dari publikasi besar-besaran, dengan biaya yang juga besar. Tetapi justru dari komitment yang tinggi dari sivitas akademikanya (asset manusianya secara internal).
Saya merasa prihatin melihat banyaknya penyedia jasa pendidikan, ketika permintaan peserta didik menurun dan mengalami kondisi decline berkelanjutan, justru mereka melakukan promosi besar-besaran. Mereka semestinya melakukan instrospeksi ke dalam, secara internal. Mereka semestinya bertanya kepada dirinya sendiri, seberapa banyak dan berkualitaskah, yang bisa mereka berikan kepada asset manusia-nya secara internal ?; Seberapa tinggi komitment asset manusia-nya sebagai penyedia jasa pendidikan ?; Seberapa besar tanggung-jawab penyedia jasa pendidikan terhadap jaminan kualitas yang diberikan kepada dirinya sendiri dan konsumennya ?.
Fluktuasi permintaan yang sering mengakibatkan kelebihan penawaran jasa pendidikan, tidak akan terjadi apabila penyedia jasa pendidikan memahami kondisi internalnya dengan baik. Mereka bisa mengatasinya dengan melakukan beberapa kegiatan, antara lain : Meningkatkan profesionalitas SDM secara internal melalui pelatihan dan pendidikan yang lebih tinggi; Meningkatkan publikasi informasi tentang citra positip lembaga pendidikannya dari mulut ke mulut; Meningkatkan pelayanan dan merumuskan produk jasa baru kepada konsumen yang sudah bergabung dilembaganya; Menaikkan harga ketika permintaan naik, menurunkan harga ketika permintaan menurun; dan lain-lain yang lebih memfokuskan diri kepada hal-hal yang bersifat internal.
Faktor Yang Mempengaruhi Persaingan Penyedia Jasa Pendidikan
Dalam teori ekonomi dinyatakan bahwa persaingan terjadi apabila produsen produk sejenis, lebih banyak dari kebutuhan yang bisa dikonsumsi oleh konsumennya. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jasa pendidikan, antara lain : Perubahan regulasi pemerintah. Beberapa contoh di antaranya adalah : standar-standar pendidikan yang ditetapkan sebagai wujud kualitas yang dimiliki oleh penyedia jasa pendidikan tersebut; Tumbuhnya berbagai asosiasi profesional seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan lain-lain; Perkembangan teknologi komputer; Tumbuhnya waralaba di bidang pendidikan; Tumbuhnya lembaga pembiayaan pendidikan dan lembaga penyewaan sarana & prasarana pendidikan; dan Globalisasi.
Selanjutnya, berkembangnya penyedia jasa pendidikan menjadi industri pendidikan dipicu oleh Perkembangan wawasan masyarakat terhadap globalisasi dan perkembangan teknologi; Pergantian status universitas negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN); Tumbuhnya waralaba pendidikan asing; Tumbuhnya berbagai sekolah yang mengidentitaskan dirinhya sebagai unggulan; Kerjasama pendidikan asing dengan pendidikan dalam negeri; Tumbuhnya berbagai kursus dan program luar sekolah; dan Tumbuhnya penyedia jasa pendaftaran pendidikan ke luar negeri.
Dengan berkembangnya penyedia jasa pendidikan menjadi industri pendidikan, maka dapat dipastikan bahwa tujuan pendidikan pun akan berubah, dari mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi mencermati pangsa pasar yang terus berubah. Dengan demikian, prinsip pengelolaannyapun akan persis sama dengan perusahaan-perusahaan industri lainnya, yakni : product (produk), price (harga), promotion (promosi) dan place (tempat). Desain organisasinya pun berubah dari sivitas akademika menjadi ’7s frame work’ yang satu sama lain saling berhubungan, yaitu : strategy (strategi), system (system), structure (struktur), styles (gaya), staff (staf), skills (keterampilan) dan shared values (nilai-nilai).
Kondisi inilah yang kemudian menjebak penyedia jasa pendidikan swasta untuk melakukan kegiatan-kegiatan pragmatis yang bersifat jangka pendek. Sebagai contoh, melakukan promosi besar-besaran tanpa melakukan perbaikan dan penguatan secara internal. Efektif dan efisien menjad ‘keyword’ untuk beraktifitas. Tujuan lembaga hanya berorientasi ‘surplus’ dan mengurangi ‘defisit’. Dan pada akhirnya kalimat, “orang miskin dilarang sekolah,” menjadi kenyataan.
Kesimpulannya adalah, bahwa kita perlu mengembalikan visi pendidikan kita kepada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Perkembangan apapun diluar di dunia pendidikan, semestinya tidak merubah orientasi pendidikan kita, sebagai ‘pagar’ sekaligus ‘tanah yang subur’ bagi berkembangnya budaya bangsa. Pengelolaan jasa pendidikan tidak bisa disamakan dengan pengelolaan perusahaan-perusahaan jasa lainnya, karena pendidikan bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Lihat kembali sejarah bangsa ini, ketika pendidikan menjadi suatu gerakan yang sungguh-sungguh di masyarakat, maka Allah Swt menghadiahi kita kemerdekaan. Namun, ketika wajib belajar 9 tahun menjadi gerakan kepura-puraan dari pemerintah, maka satu rezim runtuh. Siapapun yang berani mendzalimi pendidikan, lihat apa yang terjadi !!!.
Bekasi, 24 Oktober 2009.
