Tentang Pahlawan

Ali reza

Pak Udin meninggalkan rumahnya pukul setengah enam pagi. Dia hanya makan sedikit sarapan karena khawatir akan terlambat mengejar bis. Ketika meninggalkan rumahnya, istrinya sedang mencuci pakaian. Dua anaknya sudah bangun, satu lainnya masih tidur. Dia naik angkot menuju terminal dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke kantor dengan bis.

Ini hari senin. Orang-orang tergesa-gesa, semua orang terburu-buru. Matahari mulai tampak, seiring penaampakan bayangan kesengsaraan di pikiran para pekerja. Orang-orang bilang I don’t like Monday. Mereka bekerja tanpa semangat. Mereka menunggu jam istirahat. Mereka menanti jam pulang. Dan tentunya mereka mengharapkan akhir pekan. Dan selalu demikian.

Pak Udin tiba di terminal jam enam lima belas. Dia seharusnya sampai lebih cepat jika jalanan tidak terhambat karena kecelakaan kecil pengendara sepeda motor yang jatuh terjungkal akibat jalanan berlubang. Dia tidak ada pilihan, mengomel sendiri pun percuma. Begitu pula ketika dia menemukan bisnya yang penuh sesak sedang bergerak meninggalkan terminal. Dia tidak punya pilihan menunggu bis yang lebih kosong. Bulan ini sudah dua kali dia terlambat masuk kerja. Jadi, dia harus berlari mengejarnya.

Dia melompat ke dalam bis, mencari pegangan, terjepit bau keringat dari bawah tangan-tangan menggantung. Dia kesal karena harus berdiri, dia kecewa bis terlalu banyak mengambil penumpang. Lebih-lebih mereka menaikkan tarif belakangan ini, membuatnya berpikir hampir seperti kebanyakan orang, yaitu mengurangi biaya yang perlu dikurangi. Lagipula siapa yang menginginkan hidup seperti ini?

***

Jakarta menghentak. Putaran radio berputar-putar di jalan. Tersibuk macet, lengking klakson, sumpah serapah manusia jalanan, sama-sama menghirup bau knalpot, asap putih, asap hitam dari kaleng rombeng beroda. Manusia berkumis sangar meniup peluit, seragam coklatnya baru disetrika, garis celananya tajam setajam matanya. Anak-anak penjual aksesoris rambut perempuan berteriak dua ribu dapat tiga, sedangkan yang lain tersedu-sedu mengamen. Pengamen dewasa memanggul gitar, berbaur bersama penumpang bis, mengocok gitar sekeras-kerasnya, bernyanyi dengan suara senyaring-nyaringnya. Tidak ada yang ingin mendengar nyanyiaannya jika tidak terpaksa. Sebagian memberi recehan, sebagian mengangkat tangan ketika disodorkan sebuah kantong plastik.

Gedung-gedung pencakar langit menatap angkuh para pekerja yang sedang bergelut di jalan. Di dalam gedung itu para korporatlah yang berkuasa. Mereka membeli waktu orang lain agar bisa menambah tinggi gedung mereka hingga menembus langit. Yang dibeli waktunya hanya bisa pasrah karena terpaksa. Mereka adalah yang datang memenuhi bis-bis, kereta-kereta dan di jalan-jalan berhimpit di jalur yang sempit dan terpotong pula dengan segala macam proyek yang tidak pernah habis, menyerbu Jakarta dari segala penjuru, memenuhi langit-langitnya dari subuh hingga malam hari sedangkan rumah mereka hanya ibarat tempat singgah. Pemerintah kota terus melakukan pembangunan agar mereka mudah menjelajah Jakarta, mulai dari busway, subway dan way-way yang lain hingga monorail dan rail-rail yang lain.

Bis yang ditumpangi pak Udin menyerempet sebuah sedan merah.

Meski pak Udin tahu cara bersabar, tapi dia belum pandai menggunakannya. Urat dahinya menegang dan dia tidak pernah bisa santai karena tidak pernah terbiasa. Dia tahu orang-orang yang harus disalahkan: supir bis yang bodoh atau supir sedan yang tolol atau polisi yang ngawur. Tapi, tidak. Dia berpikir bukan mereka akar permasalahannya, melainkan pemerintah-lah jelas yang salah. Karena semua salah pemerintah.

Dia melihat keluar jendela. Sebuah sedan merah berhenti menghalangi jalan bis. Seorang pria berkepala botak dengan kacamata hitam keluar dari dalam sedan merah memasang muka galak. Sebuah tampang yang cukup untuk membuat orang-orang muak melihatnya. Dia berjalan mendekati supir bis dan menyuruhnya turun. Dia marah-marah. Antrian kendaraan di belakang bis ikut marah-marah, membunyikan klakson keras-keras supaya menyelesaikannya di tempat lain. Penumpang bis kesal melihat kelakuan pria botak karena membentak supir bis seenaknya. Tapi supir bis tidak ikut naik darah karena tidak tahu mau bicara apa atau apa bisa bicara. Kernetnya mencoba cari damai, nego harga, minta ma’af meski akhirnya ikut memaki membela kawannya. Sebagian besar penumpang bis turun satu per satu, satu per satu meludah dan sisanya menonton dari jendela. Manusia berkumis sangar berseragam coklat ikut nimbrung. Pentungan hitam terselip di pinggang baru disemir. Kalau ada kejadian macam ini pentungannya yang mengkilap bisa dikeluarkan sekedar menakut-nakuti atau memang mau menguji kuat ototnya.

“Si botak sialan yang salah!” teriak penumpang pria berambut gondrong awut-awutan. Penumpang lain mengepal tangan, bersorak menyetujui. Kata mereka yang melihat kejadiannya, supir sedan-lah yang memotong jalur bis.

“Betul! Salah sendiri kena serempet!” kata salah seorang pria lain

Page 1 of 10 | Next page