JANJI PARA PEMIMPIN
Artikel Monday, April 23rd, 2012 29 views
Sebentar lagi perhelatan pemilihan Gurbernur DKI akan dilaksanakan
2 Tahun lagi pemilihan orang nomor 1 di indonesia akan di gelar.
Sebentar lagi akan kita saksikan para calon pemimpin kita mengumbar janji, Janji yang di umbar keberpihakan kepada rakyat, ingin mensejahterakan rakyat.
Ingin rasanya menyelami kedalam hati dari masing-masing calon itu
Apakah niat itu tulus??
Atau karena Harta??
Atau kekuasaan??
Apakah mereka sadar kalau sebagi pemimpin kelak akan di minta pertanggung jawaban ?
coba kita renungkan dengan kisah sahabat nabi ketika ditunjuk sebagai gubernur syam
Sumber: Tarbawi
Khalifah Umar bin Khattab berniat menggantikan gubernur Syam yang semula
dipercayakan kepada Muawiyah. Penggantinya yang diinginkan Khalifah adalah Said
bin Amir Al-Jumahi. “Aku ingin memberimu amanah menjadi gubernur,” kata Umar
kepada Said. Said berkata, “Jangan kau jerumuskan aku ke dalam fitnah, wahai
Amirul Mukminin. Kalian mengalungkan amanah ini di leherku kemudian kalian
tinggal aku.” Umar mengira bahwa Said menginginkan gaji, “Kalau begitu, kita
berikan untukmu gaji.” Said menjawab, “Allah telah memberiku rizki yang cukup
bahkan lebih dari yang kuinginkan.”
Begitulah kursi gubernuran yang ditolak oleh Said dengan halus. Walau akhirnya
dia harus menunjukkan ketaatannya kepada Khalifah dengan menaati keinginan Umar
yang tetap bersiteguh untuk mengangkatnya sebagai gubernur Syam.
Akhirnya hari yang ditentukan untuk keberangkatannya ke Syam tiba. Dari Madinah
dia berangkat beserta istrinya menuju tempat tugasnya yang baru.
Sesampainya di Syam, Said memulai hari-harinya dengan amanah baru, menjadi
gubernur Syam. Hingga suatu saat Said terlilit kebutuhan yang memerlukan uang.
Sementara tidak ada uang pribadinya yang bisa dia pakai. Sementara itu di
Madinah Umar mendapatkan tamu utusan dari Syam. Mereka datang untuk melaporkan
beberapa kebutuhan dan urusan mereka sebagai rakyat yang hidup di bawah
kekhilafahan Umar bin Khattab.
Umar berkata, “Tuliskan nama-nama orang miskin di tempat kalian.”
Mereka pun menuliskan nama-nama orang yang membutuhkan bantuan dari negara.
Tulisan itu diserahkan kepada Umar. Dengan agak terkejut, Umar menemui sebuah
nama. Said.
“Apakah ini Said gubernur kalian?”
“Ya, itu Said gubernur kami.” “Dia termasuk daftar orang-orang miskin?” tanya
Umar lagi mempertegas.
“Ya,” jawab mereka meyakinkan.
Umar kemudian mengambil sebuah kantong dari kain yang terikat ujungnya. “Berikan
ini kepada gubernur kalian,” kata Umar sambil memberikan kantong itu kepada
mereka.
Rombongan itu akhirnya kembali ke Syam. Setelah sampai, mereka menyampaikan
amanah dari Umar itu kepada Said gubernur mereka.
Sore harinya Said pulang ke rumah. Dia membuka kantong tersebut tanpa
sepengetahuan istrinya. Dan ternyata kantong tersebut berisi uang seribu dinar.
Jumlah yang tidak sedikit. “Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” katanya lirih.
Ternyata istrinya mendengar perkataan tersebut. “Apakah amirul mukminin
meninggal?” tanya istrinya. “Tidak, tetapi musibah yang lebih besar dari itu,”
kata Said. “Maukah engkau membantuku?” sambung Said. “Tentu,” jawab istrinya.
“Dunia telah memasuki diriku untuk merusak akhiratku,” kata Said.
Esok paginya, Said memanggil orang kepercayaannya untuk membagikan uang itu
kepada para janda, anak yatim dan orang miskin yang membutuhkan. Tanpa tersisa
sedikit pun. Barulah istrinya memahami kata-kata Said, “Dunia telah memasuki
diriku untuk merusak akhiratku.”
Begitulah. Dan memang Said selalu berusaha untuk menjadikan dunia yang
dimilikinya untuk membeli akhirat. Agar mendapatkan bidadari surga.
Ketika suatu hari istrinya menuntut uang yang diberikan dari kakhilafahan,
sementara uang itu telah habis disumbangkan kepada orang lain. Hingga
tuntutannya itu membuat Said tersiksa. Said berusaha menghindari istrinya
beberapa hari dengan selalu pulang malam. Agar dia tidak mendengar lagi tuntutan
istrinya.
Sampai istrinya akhirnya tahu bahwa hartanya telah habis dibagikan cuma-cuma.
Sang istri menangisi kepergian harta itu. Dan inilah yang dikatakan Said kepada
istri tercintanya, “Sebenarnya istriku, dulu aku mempunyai teman-teman yang kini
telah lebih dulu meninggalkanku. Aku tidak rela setelah mereka pergi aku
bergelimang harta. Dan kemudian bidadari surga itu jika muncul di langit dunia
akan menerangi seluruh penduduk bumi dan sinarnya itu akan memadamkan sinar
matahari dan rembulan. Pakaian yang dia pakai lebih baik daripada dunia
seisinya. Maka aku lebih memilih dirimu untuk menjadi bidadariku di surga
nanti.” Kata-kata ini membuat istrinya Said ridho.
Kehidupan seorang gubernur Said bin Amir tidak hanya terhenti sampai tingkat
kesenangannya membagikan harta. Kalau kita menengok dalam rumahnya lebih ke
dalam lagi, kita akan menjumpai kehidupan seorang gunernur yang tak kita jumpai
hari ini. Gubernur yang sangat zuhud kepada dunia, tidak merasa begitu perlu
dengan harta, maka mustahil kalau dia rela memakan harta rakyatnya.
Inspeksi mendadak yang dilakukan Umar ke Syam akan mengantarkan kita kepada
kisah-kisah dalam rumah tangga Said. Begitu sampai Himsa, Umar mengumpulkan
penduduk kota tersebut dan bertanya, “Wahai penduduk Himsa, bagaimana kalian
mendapati gubernur kalian?” Jawaban mereka cukup mengejutkan, “Kami mengeluhkan
empat hal. Pertama, dia selalu keluar kepada kami setelah siang datang.” “Ini
berat,” kata Umar. “Kemudian apa?” tanya Umar kembali.
“Kedua, dia tidak melayani siapa pun yang datang malam hari.”
“Ini juga masalah serius, kemudian apa lagi?”
“Ketiga, ada satu hari dalam satu bulan dimana dia tidak keluar sama sekali
untuk menemui kami.”
“Ini tidak boleh dianggap enteng, kemudian yang keempat?”
“Dia terkadang pingsan ketika bersama kami.”
Mendengar aduan ini, Umar tidak bisa tinggal diam. Dia merasa perlu untuk cepat
menyelesaikan permasalahan yang timbul antara pejabatnya itu dengan rakyatnya.
Itulah pemimpin mulia yang langsung mendengar masalah rakyatnya dan langsung
memberikan solusi konkrit dan bukan pepesan kosong serta janji memuakkan. Umar
membuat pertemuan akbar antara Said sebagai gubernur dan rakyatnya yang siap
mengadili gubernur mereka.
“Ya Allah, jangan Engkau kecewakan prasangka baikku selama ini kepadanya.”
Kata Umar membuka pertemuan, “Baiklah, apa yang kalian keluhkan?”
“Pertama, Said tidak keluar menemui kami kecuali setelah siang datang
menjelang.”
Said angkat bicara, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak suka menjawabnya. Aku
tidak mempunyai pembantu, maka aku harus mengadoni roti sendiri, kemudian aku
tunggu sampai adonan itu mengambang dan kemudian aku panggang hingga menjadi
roti, kemudian aku wudhu dan baru keluar.’
“Terus apa lagi?”
“Kedua, Said tidak mau melayani yang datang kepadanya di malam hari.”
“Apa jawabmu, wahai Said?”
“Sesungguhnya aku tidak suka menjawabnya. Aku menjadikan siang hariku untuk
mereka dan aku menjadikan malamku untuk Allah Azza Wajalla saja.”
“Kemudian apa lagi?”
“Ada satu hari tertentu dimana dia tidak keluar sama sekali dari rumahnya.”
“Apa komentarmu?”
“Aku tidak mempunyai pembantu yang mencucikan pakaianku. Sementara aku tidak
memiliki pakaian yang lain. Maka aku mencucinya sendiri dan aku tunggu sampai
kering, selanjutnya aku keluar kepada mereka saat sudah sore.”
“Selanjutnya apa lagi?”
“Said suka pingsan.”
“Aku menyaksikan meninggalnya Khubaib Al-Anshari di Mekah. Kematiannya sangat
tragis di tangan orang-orang kafir Quraisy. Mereka menyayat-nyayat dagingnya
kemudian menyalibnya di pohon kurma. Orang Quraisy itu meledek, “Khubaib, apakah
kamu rela jika Muhammad sekarang yang menggantikanmu untuk disiksa?” Khubaib
menjawab, “Demi Allah, kalau saya berada tenang dengan keluarga dan anakku,
kemudian Muhammad tertusuk duri sungguh aku tidak rela.” Ketika itu aku masih
dalam keadaan kafir dan menyaksikan Khubaib disiksa sedemikian rupa. Dan aku
tidak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, aku sangat khawatir bahwa Allah tidak
mengampuniku untuk selamanya. Jika ingat itu, aku pingsan.”
Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan prasangka baikku
kepadanya.”
Ada gak ya calon pemimpin kita seperti ini, walaupun kadarnya 10% saja dari sahabat nabi ini??

