Lakon Fragmentaris: Catatan Kontemplatif Sang Bunda Blogger
Sastra, Buku & artikel Monday, July 2nd, 2012 47 views Print Artikel IniSaya sangat gembira ketika mendapatkan email dari penulis buku ini, Mugniar Marakarma, untuk membuatkan testimoni atas sejumlah tulisan-tulisannya di blog yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Lakon Fragmentaris”. Saya sebenarnya sudah lama mengenal Mugniar karena menjadi adik angkatan saya di Fakultas Teknik UNHAS Makassar. Setelah lama tak bersua, akhirnya tahun silam saya bertemu lagi dengannya yang ketika itu diantar oleh sang suami tercinta, Solihin (dan juga kawan seangkatan di Fakultas Teknik UNHAS)untuk mengikuti acara Blogilicious Makassar 2011.
Setelah mengikuti even tersebut, Niar ternyata tidak berhenti darisekedar mengungkapkan rasa takjub. Tekadnya untuk konsisten menulis dan mencatat hal-hal menarik dalam kehidupannya melalui blog dibuktikan secara nyata. Lewat blognya, Niar tidak hanya menuangkan opini dan aspirasinya, namun juga berbagi banyak hal seputar aktifitas kesehariannya sebagai ibu dari 3 orang anak. Dan hasilnya, selain buku ini, tulisan Niar juga berhasil masuk dalam 3 buku antologi yaitu “Wanita Era Digital”, Bunga Rampai Selingkuh-Seringkuh”, dan “Catatan Heroik Perempuan”-Girls Power.
Di Buku “Lakon Fragmentaris” ini saya melihat eksplorasi kontemplatif Niar begitu dalam tidak hanya dalam hal-hal seputar pendidikan anak, namun juga pada persoalan-persoalan kehidupan yang lebih luas. Dengan gaya bahasa yang “lincah”, mudah dicerna dan jenaka, Niar–yang menjadi salah satu pemenang kontes Srikandi Keluarga yang diselenggarakan oleh Indosat–menyajikan tulisannya secara gurih dan bermakna. Para pembaca seakan dibawa dalam perasaan galau atau ekspresi senang sang penulis. Lihat saja misalnya, pada tulisannya “Masih Tujuh Tahun Lagi” :
Saking maunya punya akun fesbuk, Affiq masih selalu bertanya kepada mama dan memohon agar secepat mungkin bisa punya akun fesbuk. Entah apa yang menarik baginya memiliki akun ini, teman sekolahnya saja baru seorang yang memiliki akun fesbuk, yang lainnya tak ada.
Saat seorang pembaca blog berkomentar bahwa pada usia 17 tahun orang baru bisa memiliki akun fesbuk (bukannya 13 tahun seperti yang papanya bilang), mama mengetes dengan mencoba mendaftarkan sebuah nama fiktif yang berusia 13 tahun untuk menjadi anggota. Ternyata eh ternyata ‘tidak bisa’.
Maka mama pun mengabari kepada Affiq tentang ‘kabar buruk’ ini, bahwa ia baru bisa memiliki akun fesbuk 7 tahun lagi. Kelihatannya Affiq cukup shock mendengar berita ini. Ia berkata, “Kenapa lama sekali. Bosan!” Bosan menunggu selama itu maksudnya. Lalu ia pun ngambek.
Nuansa tulisan bermakna renungan juga disajikan Niar dengan olah kata yang apik, misalnya pada artikel Ketika Maaf Harus Terucap, Maka Runtuhlah Dinding Superioritas Itu
Pembaca yang budiman, menundukkan kemarahan, mengakui kesalahan, dan meminta maaf kepada anak adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Tetapi jika saya menginginkan anak-anak saya mampu melakukan hal-hal ini maka sayalah orang yang pertama kali harus mereka saksikan mampu melakukannya. Dan tahukah Anda, hal ini adalah momentum yang sangat berharga dalam pembentukan jalinan hati – ikatan batin antara saya dan Affiq. Momentum yang hanya datang pada saat itu saja, bukan pada saat-saat lain. Terimakasih Allah, saya ada di dekatnya saat momentum itu datang. Terimakasih, Engkau gerakkan hati saya untuk bersikap seperti ini saat ia butuh menyaksikan saya berbesar hati mengakui kesalahan dan meminta maaf padanya.
Terus terang, saat membaca tulisan ini saya sempat tercenung. Betapa sebagai orang tua saya kadang melupakan hal ini dan terbelenggu dalam “tahta superioritas”. Makna kebesaran jiwa dalam meminta maaf kepada anak kelak menjadi teladan buatnya kelak dalam berbuat serupa. Niar telah memberikan contoh yang baik dengan tulisan yang bernas tanpa terkesan menggurui.
Coba lihat di tulisan Niar yang lain “Ibu Tradisional vs Ibu Modern” yang merupakan akumulasi pengamatan kritisnya tentang sosok ibu atau tulisan tentang Duhai, Belajar IPA Sekarang Seperti Inikah? yang menguraikan kegelisahannya ketika melihat buku pelajaran anaknya di SD yang kian sulit bahkan nyaris sama dengan mata pelajaran SMP yang pernah dipelajarinya dulu. ”Kelihatannya, orangtua yang harus mengusahakannya sebisa mungkin karena guru belum tentu mampu memahamkan mereka”, demikian tulis Niar yang pernah menjadi juara 2 pada lomba Catatan Harian Ibu yang diadakan Tabloid “Ibu dan Anak” tahun 2004 ini dalam bukunya.
Saya sangat terkesan bagaimana dengan lugas Niar menuliskan celoteh-celoteh lucu sang anak dalam rangkaian tulisannya. Saya sempat tertawa terpingkal-pingkal membaca beberapa artikelnya yang menyuguhkan ungkapan-ungkapan spontan sang anak — terutama si Athifah– menanggapi sesuatu dengan lugu dan kocak . Buku ini seakan menjadi refleksi keseharian pergaulan penuh cinta seorang ibu bersama anak-anak yang dicintainya.
Akhirnya, membaca buku setebal 127 halaman ini benar-benar menyajikan pengalaman berbeda. Pembaca larut dalam romantika keluarga dan kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Salut buat Niar, semoga tetap konsisten dalam berkarya lewat tulisan dan mengabarkan kisah-kisah kontemplatif, baik lewat blog maupun buku.
Catatan:
Dibawah ini adalah kutipan endorsment/testimoni saya yang dimuat pada halaman 3 buku Lakon Fragmentaris:
kalau berita di sini oke….beritanya….wah bagus ya…blog bisa jadi buku
[Reply]
Kunjungan lagi mas..link http://rawiwahyudiono.wordpress.com saya masukin ke blog saya krn artikel2nya cukup bagus.
NUMPANG PROMOSI MAS , bagi teman2 Bekasi yg cari rumah di daerah JATIASIH klik blog saya ya….
[Reply]