Seandainya Jokowi Bupati Bekasi

Joko Widodo

Saya termasuk orang yang terlambat mengenal sosok Joko Widodo atau biasa dipanggil Jokowi yang sejak lama diperbincangkan masyarakat. Walikota Solo berperawakan kurus ini bukan walikota sembarangan pada pemilukada tahun 2010 beliau terpilih untuk kedua kalinya mempin Surakarta dengan perolehan suara lebih dari 90%. Hal ini tentu angka yang luar biasa dalam pemilihan umum, Jokowi menang mutlak. Angka ini tentu menggambarkan kecintaan warga Solo yang bersar terhadap Pemimpin yang satu ini.

Majalah Tempo menjuluki pria lulusan ilmu kehutanan UGM ini sebagai Wali kaki lima. Semua berawal dari upaya penertiban PKL yang menjadi masalah klise di daerah perkotaan, selain penertiban PKL merupakan hasil dari survei yang dilakukan tim kecil pemkot surakarta tentang keinginan-keinginan warga kota tepian Sungai Bengawan. Hasilnya: kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.

Jokowi tidak mau melakukan penertiban dengan cara-cara yang biasa dilakukan oleh pemkot di daerah lainnya, dengan cara panggil tentara, polisi atau Satpol PP lalu mengusir mereka dengan paksa. Jokowi memiliki pandangan bahwa “Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma perut sendiri, tapi juga keluarga, anak-anak”. Jokowi ingin melakukan relokasi mereka tetapi 3 periode kepemimpinan sebelumnya gagal melakukan upaya tersebut hal ini terkait ancaman PKL akan membakar kantor walikota jika direlokasi. Ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor wali kota sudah dua kali-1998 dan 1999-dihanguskan massa.

Jokowi lalu bermaksud melakukan “lobi meja makan” seperti yang ia lakukan ketika memasarkan usaha mebelnya. Lobi meja makan dilakukan dengan cara mengundang koordinator paguyuban Pedagang Kaki Lima makan siang di rumah dinas walikota. Melihat gelagat ingin dipindahkan mereka datang membawa petugas LSM untuk melakukan upaya perlawanan, sampai makan siang selesai para pedagang kaki lima kecele karena nyatanya Jokowi hanya mengundang makan siang saja “Enggak ada dialog, Pak?” tanya mereka. “Enggak. Cuma makan siang, kok,” jawab Joko.

tiga hari setelah itu mereka diundang kembali dalam acara makan siang, hingga tujuh bulan upaya Jokowi mendekatkan diri pada PKL dengan tujuan merelokasi mereka, baru pada pertemuan ke-54 Jokowi mengutarakan maksudnya pada mereka “Bapak-bapak hendak saya pindahkan” dan tak satupun dari mereka membantah

Jokowi tidak berani menjamin bahwa tempat relokasi akan membuat mereka sejahtera, tetapi hanya menjanjikan bahwa tempat PKL yang baru akan diiklankan di media cetak dan televisi selama empat bulan. Selain itu pedagang kaki lima minta diberikan kios yang baru dengan cuma-cuma, menurut Jokowi “Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan,”. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jokowi memang benar tidak menarik uang untuk relokasi tetapi para pedagang kaki lima diminta memberikan retribusi harian sebesar 6.500 sehingga dalam waktu beberapa tahun investasi pemerintah Solo sudah bisa kembali.

Kalau di Bekasi biasanya pengusiran Pedagang Kaki Lima cenderung tidak manusiawi dengan diusir, disita, dikejar-kerjar bahkan tidak sedikit yang kena pentung petugas. Tetapi Jokowi justru melakukan hal sebaliknya, Jokowi tahu bagaimana cara memanusiakan manusia yang merupakan rakyat yang memandatkan amanah kepadanya. Acara relokasi dibuat dengan meriah. Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan dihiasi dengan senyum dan rasa bangga pedagang kaki lima yang dipindahkan, Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng-simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap. Dengan rendah hati Jokowi berujar bahwa “Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan,” kata menurut Joko, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. “Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah,” katanya. Jujur saya sangat terharu mendengar ketulusan pemimpin yang satu ini

Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman. Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata tinggal sisanya masih dicarikan dana oleh pemkot.

Ekonomi Kerakyatan

Page 1 of 4 | Next page