AGAR BEKASI LEBIH DICINTAI WARGANYA
Artikel Wednesday, February 3rd, 2010 662 views
Pagi masih gelap, namun Pak Beni (nama samaran) dan isterinya, warga sebuah perumahan di sekitar kota Bekasi sudah meluncur di jalanan untuk berangkat kerja. Dengan menumpang kereta KRL dari stasiun Bekasi, mereka berangkat menuju kantornya di kawasan Kuningan Jakarta. Sore menjelang malam, Pak Beni dan isterinya pulang ke rumah juga dengan menumpang KRL. Karena tenaganya sudah habis terkuras di kantor dan di perjalanan tidak banyak aktivitas yang dilakukan di lingkungan rumahnya. Mereka paling-paling nonton TV sebentar kemudian tidur untuk menyiapkan tenaga buat esok hari.
Akhir pekan atau libur tanggal merah adalah waktu luang bagi Pak Beni sekeluarga untuk bersantai. Kalau tidak menghabiskan waktunya di rumah, biasanya mereka pergi berekreasi atau belanja. Namun, untuk urusan ini mereka ternyata lebih suka pergi ke luar Bekasi. Kalau tidak ke Jakarta, biasanya pilihannya adalah ke kawasan Puncak atau Bandung. Jadi, meskipun secara administrasi mereka tercatat sebagai warga Bekasi, kedekatan batin mereka dengan tempat domisilinya itu relatif minim.
Kehidupan Pak Beni sekeluarga, sebagaimana ilustrasi di atas, mungkin dapat mewakili tipologi sebagian besar warga Bekasi saat ini. Mereka, meski tercatat sebagai warga Bekasi, tapi aktivitasnya hidupnya banyak dilakukan di luar Bekasi mulai dari urusan bekerja, berbelanja sampai berlibur. Karenanya, bagi tipologi warga seperti Pak Beni, Bekasi tak ubahnya hanya sekadar tempat untuk numpang tidur.
Dalam konteks lebih luas, kurangnya ikatan batin antara warga dengan kotanya sendiri jelas kurang menguntungkan bagi perkembangan kota Bekasi itu sendiri. Sekadar bahan renungan, mari kita simak pertanyaan-pertanyaan berikut:
• Bagaimana mall dan pusat-pusat pembelanjaan lainnya di Kota Bekasi dan sekitarnya bisa hidup kalau sebagian besar warganya ternyata lebih suka berbelanja di luar Bekasi khususnya di Jakarta? Saat ini, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan di Bekasi memang marak, tetapi tidak sedikit diantaranya yang hidupnya merana akibat sepinya pembeli.
• Bagaimana industri pariwisata di Bekasi bisa berkembang jika warganya lebih suka berlibur ke luar Bekasi? Katakanlah, untuk menikmati kuliner, belanja fesyen atau sekadar menikmati keindahan alam warga Bekasi lebih memilih pergi ke Jakarta, Bandung, Puncak atau tempat-tempat lainnya.
• Bagaimana Bekasi bisa meraih penghargaan Adipura kalau warganya sendiri kurang peduli dengan permasalahan lingkungan kotanya? Bukankah masih banyak warga yang”cuek” saja melihat tumpukan sampah dimana-mana karena itu merasa bukan tanggungjawabnya? Bukankah masih banyak pengemudi angkutan umum yang seenaknya ”menyulap” perempatan jalan lampu merah menjadi terminal bayangan begitu petugas tidak ada di tempat?
• Bagaimana Kota Bekasi dapat berkembang menjadi pusat bisnis jika banyak pengusaha yang sebenarnya warga Bekasi dengan alasan-alasan tertentu lebih suka membuka kantornya di wilayah Jakarta ketimbang di Bekasi sendiri? Pokoknya, biar daerah pinggiran yang penting masih masuk wilayah Jakarta.
Lalu, apa arti itu semua? Artinya, maju-mundurnya Bekasi jelas sangat tergantung kepada sejauhmana kepedulian warganya sendiri. Bagaimana pun bagusnya program-program pembangunan yang disusun oleh pemerintah daerah, semuanya menjadi tidak berarti jika warganya sendiri kurang peduli. Karena itu, kepedulian warga menjadi modal sosial (social capital) yang vital bagi pembangunan Bekasi saat ini dan mendatang.
Tentu, rasa kepedulian ini tentu tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Yang jelas, kepedulian ini akan tumbuh jika terjalin ikatan batin yang kuat antara warga dengan kotanya. Tapi, dengan karakteristik warga Bekasi yang sebagian besar diantaranya adalah warga pendatang menyebabkan ikatan batin berdasarkan ikatan primordial (misalnya sebagai tanah kelahiran atau kampung halaman) tidaklah cukup.
Karena itu, ikatan batin yang perlu dibangun antara warga Bekasi dengan daerahnya harus bisa melampaui batas-batas ikatan primordial tadi, yaitu sebuah ikatan yang dapat mencerminkan bahwa: ”Aku adalah warga Bekasi tak peduli darimana asal kampung halamankul”. Karena itu pula, saya sebenarnya kurang sreg ketika sedang ramai-ramainya kampanye pemilihan anggota legislatif dan pilkada lalu ada calon mengusung dirinya sebagai putra Bekasi asli. Tema ini terkesan menjaga jarak antara warga asli dan warga pendatang. Padahal yang dibutuhkan untuk membangun Bekasi sekarang justru semangat kebersamaan masyarakatnya tanpa membeda-bedakan warga asli atau warga pendatang.
Namun, kesadaran seperti tentu tidak bisa tumbuh dengan sendirinya. Kesadaran itu merupakan suatu proses dialektis antara warga dengan kotanya. Seperti kata pepatah, ”Tak Kenal Maka Tak Sayang”, rasa sayang warga Bekasi terhadap kotanya akan tumbuh jika warga lebih mengenal secara intens keadaan kotanya sendiri.
Dalam konteks itu, ke depan, Pemkot Bekasi seharusnya tidak hanya sibuk membangun mall dan pusat-pusat perbelanjaan tetapi juga tidak kalah pentingnya adalah mendorong proses yang dapat meningkatkan ikatan batin antara warga dengan kotanya. Terkait itu, ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, antara lain:
• Memperkenalkan sejarah Bekasi secara lebih komprehensif kepada warganya khususnya kalangan generasi muda. Hal ini penting mengingat perjalanan sejarah Bekasi khususnya di era revolusi kemerdekaan yang penuh dengan nilai-nilai patriotisme sebagaimana diabadikan dalam sajak ”Antara Karawang Bekasi” karya penyair Khairil Anwar yang terkenal itu. Sayangnya, tidak banyak warga yang mendapatkan informasi lengkap tentang kisah-kisah kepahlawanan rakyat Bekasi tersebut. Hal yang mungkin diketahui oleh warga adalah sebatas slogan ”Bekasi Kota Patriot” tanpa memahami makna lebih jauh. Padahal, untuk kondisi sekarang, nilai-nilai patriotisme ini dapat diberi makna baru dalam bentuk spirit untuk membangun daerah ini.
• Mengkomunikasikan denyut kehidupan dan pembangunan Bekasi kepada warganya secara lebih intens. Bekasi dalam arti kota dan kabupatennya merupakan wilayah yang luas dengan segala keunikannya. Sebagai daerah industri, daerah ini juga berkembang sangat dinamis. Sayangnya, berbagai informasi yang sebenarnya penting untuk diketahui warga tidak terliput. Karena itu, banyak warga Bekasi yang buta informasi tentang daerahnya sendiri. Bagaimana warga Bekasi bisa mencintai daerahnya jika mereka sendiri tidak mengenalnya? Nah, untuk menjembatani kesenjangan informasi ini, mengapa Bekasi tidak membangun stasiun televisi lokal yang khusus banyak meliput segala aspek tentang daerah ini?
• Mendorong terbentuknya komunitas-komunitas guyub yang mengusung tema kepedulian terhadap Bekasi. Komunitas-komunitas ini dapat bergerak di berbagai bidang mulai dari sosial, seni budaya, olahraga, lingkungan hidup dan sebagainya. Intinya, komunitas-komunitas guyub ini diharapkan dapat menjadi wahana bagi warga Bekasi untuk mengekspresikan kepeduliannya terhadap daerahnya. Komunitas-komunitas guyub ini dapat pula menjadi motor bagi terselenggaranya event-event seni budaya yang dapat menggairahkan aktivitas seni budaya di Bekasi yang selama ini terasa kering.
Dalam jangka panjang, munculnya komunitas-komunitas guyub dapat menjadi modal sosial bagi tumbuhnya kembangnya kota Bekasi sebagai pusat ekonomi kreatif seperti telah dibuktikan di berbagai kota.
Sinergi dari berbagai pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatnya kebanggaan dan kepedulian warga Bekasi akan daerahnya dimana hal ini tentunya akan berdampak positif bagi pembangunan daerah Bekasi itu sendiri. Tidak mustahil pula dari kebanggaan tersebut akan melahirkan prestasi-prestasi yang dapat mengharumkan Bekasi itu sendiri di kancah nasional bahkan internasional. Prestasi yang selama ini memang jarang terdengar. Semoga!
ooOOoo
Bekasi, 3 Februari 2010
Oleh:
Gani Gaos Saputra

Sebuah gagasan yang bagus. Bekasi memang punya banyak mall megah tapi kehidupan seni budayanya memang terasa kering
[Reply]
Custom Made Mahogany Buffet | Custom Made Teak Buffet | Custom Made Bamboo Buffet | Custom Made Rattan Buffet | Custom Made Wicker Buffet
[Reply]