Bako
Cerita Pendek Tuesday, October 19th, 2010 489 views
“Ikut ya?”
Pertanyaan Mama itu seperti sebuah perintah di telingaku.
“Nggak ah!” jawabku enggan.
“Des, Mama sudah tua. Kamu anak perempuan pertama di keluarga besar kita. Sudah saatnya kamu ikut Mama ke kampung dan belajar tentang adat istiadat kita di kampung,” kata Mama berusaha menjelaskan kepadaku.
Entah sudah ke berapa kalinya Mama mengucapkan kalimat itu kepadaku. Sudah hampir setahun belakangan ini Mama sering sekali mengajakku untuk pulang kampung. Dan tiap itu pula selalu kutampik. Bukan aku tidak suka pulang ke kampungku. Masalahnya waktunya tidak pernah cocok dengan kesibukanku.
Aku ini wanita kantoran. Sekretaris seorang direktur yang jadwalnya harus mengikuti jadwal atasan. Kemana atasanku pergi, aku harus mengikutinya. Untuk mengambil cuti saja aku harus sabar-sabar menunggu waktu yang tepat. Syukur-syukur Pak Astaman, atasanku itu, mau pergi berlibur. Maka saat itulah aku bisa mengambil cuti.
Lagipula, pulang kampung…Ah, kampung siapa? Itu kan kampungnya Mama, bukan kampungku. Aku tidak terlahir di sana. Mamaku yang lahir dan besar di sana. Aku lahir di Medan. Empat tahun kemudian kami pindah ke Jakarta. Sampai saat ini kami sekeluarga masih menetap di Jakarta. Walaupun sudah beberapa tahun terakhir ini domisili kami agak bergeser sedikit ke pinggiran, di daerah Bekasi.
“Des!” suara Mamaku terdengar agak kesal sekarang.
Aku menghela nafas perlahan, berusaha mengumpulkan kata-kata yang bisa terdengar masuk akal dan penuh penyesalan untuk kukatakan pada Mama. Enggan sekali rasanya menuruti keinginan Mama yang satu ini. Aku tahu sekali apa alasan utama Mama mengajakku pulang kampung. Dan aku kurang suka dengan niat terselubung Mama dan Papa itu. Uuuh…mengapa perjodohan masih saja ada di dunia internet seperti sekarang ini?
***
Kota Padang. Kuikuti langkah bergegas Mama dan Papa di depanku. Kuseret koper kecilku dengan malas. Mama tampak sangat bersemangat. Papa santai saja seperti biasa.
Bagaimana akhirnya aku bisa sampai di sini? Hanya Mama yang tahu bagaimana caranya memaksaku untuk akhirnya ikut dengannya pulang ke kampungnya tercinta ini.
Kulihat Mama melambaikan tangannya pada seseorang di area para penjemput berdiri berkerumun.
Seorang lelaki seusia Papa sudah menanti di sana dengan tersenyum lebar. Mak Dang, kakak laki-laki Mama, yang kukenal baik sejak dari aku masih berkuncir dua dan mengompol. Mak Dang sering datang ke Jakarta, bertandang ke rumah kami. Kadang dia lama menginap, sampai seminggu. Kadang hanya sehari dua dia menginap, lalu kembali ke kampung. Mak Dang adalah seorang pedagang. Pedagang kain, kata Mama dulu. Kenyataannya Mak Dang adalah seorang pedagang baju. Entah mengapa orang Minang selalu menyebut baju dengan kain.
Aku memberi salam padanya. Mak Dang kemudian membantu mengangkat koper besar di tangan Papa.
***
“Desti, masih ingat Uda Jefri kan?” kata Mamaku dengan wajah sumringah.
Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil menatap sepupuku itu. Uda Jefri hanya dua tahun lebih tua dariku. Dia adalah anak dari adik perempuan Papaku. Sejak kecil dia tinggal bersama orang tuanya, Etek Rina dan Om Apun, di kota Bukit Tinggi, kota kelahiran Papaku dan adik-adiknya.
Uda Jefri tersenyum padaku. Terakhir aku bertemu dengannya aku masih SD dan dia sudah SMP. Sekarang dia sudah bekerja di sebuah instansi pemerintah di Bukit Tinggi. Wajahnya masih sama seperti yang kuingat dulu. Hanya saja sekarang ada sebaris kumis tipis di atas bibirnya dan kacamata bulat kecil yang bertengger di pucuk hidungnya.
“Jangan segan-segan di rumah bako, Des,” kudengar suara Etek Rina sama sumringahnya dengan suara Mama baru saja.
Aku hanya tersenyum kepadanya.
Bako adalah satu kata yang mulai akrab denganku sejak beberapa tahun yang lalu. Saat aku sudah mulai bekerja dan beranjak dewasa. Saat Mamaku mulai berbicara tentang jodoh denganku. Sebagai keluarga Minang, akan lebih baik anak perempuan menikah dengan anak dari bako. Bako sendiri artinya adalah saudara dari pihak ayah.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa harus begitu. Mamaku bilang itu dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kami agar harto pusako tidak lari keluar jalur silsilah keluarga.
Harto pusako. Ini juga yang menjadi pembicaraan hangatku dengan Mama sejak beberapa tahun yang lalu. Sawah peninggalan Nenekku di kampung sangat luas. Berdasarkan petuah dari para Datuk dan Penghulu, pesohor kampung, sebaiknya harto pusako dijago dengan menikahkan anak gadis dalam keluarga dengan bakonya.
Aku meringis membayangkan kelak kalau aku menikah dengan Uda Jefri, apakah aku harus tinggal di kampung mengurus sawah-sawah Nenekku itu. Tidaaak!
***
“Uda tahu kita mau dijodohkan?” tanyaku padanya.
“Tahu,” jawabnya.
“Lantas?” tanyaku lagi.
“Tak ada salahnya,” jawabnya tenang.
“Tapi kita kan tidak saling cinta?” tanyaku makin penasaran.
“Ini kan demi kelangsungan silsilah keluarga dan menjaga harto pusako keluarga ibumu, mengapa tidak?” jawabnya lagi.
“Hahaha…demi silsilah dan harta pusaka, lantas mengorbankan perasaan? Aku tidak setuju!” kataku sinis.
“Aku juga tidak setuju…” katanya.
“Lho?” aku bingung.
“Aku tidak setuju kalau kita harus menikah. Tapi pernikahan dengan bako itu sendiri tidak ada salahnya sama sekali. Itu sudah adat istiadat di kampung kita,” jelasnya padaku.
“Jadi Uda tidak mau menikah denganku?” tanyaku penasaran.
“Tidak!” jawabnya tegas.
“Kenapa? Apa karena aku kurang cantik?” tanyaku menjadi panas.
“Bukan,” jawabnya.
“Lantas?” aku terus memburu jawaban darinya.
“Karena kamu tidak cinta dan aku juga tidak cinta. Bagiku cinta tetap perlu ada dalam pernikahan,” katanya.
“Jadi, Uda akan bilang sama Mama Papaku dan Etek Rina sama Om Apun, kalau kita tidak akan menikah?” tanyaku lagi.
“Iyoo…ambo lah punya calon. Kawan di kantor,” katanya akhirnya.
“Oooh, syukurlah kalau begitu. Aku kira Uda tidak mau menikah denganku karena aku kurang cantik,” kataku lega.
“Tapi dia memang lebih cantik dari kamu,” katany sambil tersenyum geli padaku.
“Udaaa! Sepupu reseeeh!” teriakku kesal.
***
Mama manyun seharian. Aku tersenyum-senyum geli. Kubawa Mama jalan-jalan keliling Pasar di Ateh di Bukit Tinggi. Kubujuk-bujuk Mama untuk membeli kain-kain bordir kesukaannya itu. Tapi Mama bergeming. Dia masih kesal kelihatannya. Uda Jefri sudah bicara tadi malam kalau dia sudah punya calon istri pilihannya sendiri. Etek Rina dan Om Apun tampak terkejut karena Uda Jefri belum pernah menceritakan tentang hal itu pada mereka sebelumnya. Namun begitu pun, aku bersyukur mereka bukan orang tua kolot yang memaksakan kehendaknya pada anak. Mereka akhirnya mau mengerti.
Mamaku? Ngambek sampai saat ini.
“Sudahlah, Ma. Kalau bukan aku yang menikah dengan bako, masih ada Ranti. Jodohin aja dia sama si Tomi, anaknya Etek Susi di Pekanbaru itu. Etek Susi kan adiknya Papa juga,” kataku dengan sedikit tertawa.
Mama melengos. Ranti adikku baru kelas dua SMA sekarang. Mau menunggu berapa lama Mama untuk menjodohkan Ranti dengan Tomi?
Mudah-mudahan kalau waktunya tiba, memang ada cinta antara mereka kelak, harapku dalam hati.
“Ini cantik, Ma. Aku yang beliin deeeh…,” rayuku sambil menunjukkan selembar kain berbordir ke hadapan Mama.
Mama masih cemberut.
***
(Cerpen ini sudah pernah dimuat di Kompasiana)

Cerita yang menarik dan membuka lembaran cerita lama yang sering saya baca di buku-buku adat seperti Tambo Alam Adat minangkabau.. Cerita “pulang ka bako” memang sangat santer dan banyak kejadiannya di “ranah darek” (Daerah Minangkabau yang bukan di wilayah Pesisir).
Nice story.. Bikin lagi, dong… hehehe
[Reply]
i like it..
terima kasih postingannya ya..
salam kenal…
kunjungi juga blog saya fakultas teknik unand
[Reply]
Hai, salam persahabatan sebelumnya. Maaf baru bisa melakukan kunjungan balik karena habis melakukan perjalanan panjang ke Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia dalam rangka mengikuti kegiatan New Media Dialogue + Borneo Bloggers Award 2010. Thanks…
[Reply]