Ilmu Sabun
Pendidikan Tuesday, November 16th, 2010 263 views
Agung anak yang pandai. ‘Pinter dari sononye,’ begitu kata para tetangga Agung, anak Pak dan Bu Karim itu. Bagaimana tidak dibilang ‘pinter dari sononye’. Usia dua tahun Agung sudah bisa membaca, karena Bu Karim begitu antusias mengajar anaknya membaca sejak dini.
Usia tiga tahun Agung sudah bisa berhitung sampai lima ratus, berkat Pak Karim yang sering mengulang-ulang hitungan setiap hari di depan Agung. Usia empat tahun Agung sudah bisa menulis cerita karena Ibu Guru TK-nya sangat senang mengajarinya menulis.
Sekarang umur enam tahun Agung sudah duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Semester satu kemarin Agung dengan mudah meraih peringkat pertama di kelasnya. Tentu saja, kemampuan dasarnya sudah jauh melampaui teman-teman sekelasnya. Semua karena keuletan orang tua dan gurunya ketika masih TK dulu.
Agung kini sudah cukup mengerti bahwa kepandaiannya ternyata dihargai dengan peringkat dan itu adalah sesuatu yang membanggakan. Pak dan Bu Karim mengajarkan padanya untuk tidak menjadi anak yang sombong. Agung tahu dan paham sekali soal itu. Agung tidak mau menyombongkan diri di depan teman-temannya tentang kepandaiannya. Tanpa menyombong saja semua orang juga sudah tahu kalau dia pandai. Yang terpandai, mungkin.
Suatu hari ia mendengar ibunya Rasyad, teman sekelasnya, bertanya pada Ibunya. “Agung itu belajarnya tiap malem lama, ya? Pinter banget!” tanya Ibunya Rasyad.
“Ah, nggak juga kok, Bu. Agung itu juga sama seperti anak-anak lainnya. Kalau mau main, ya main aja,” jawab Ibunya merendah.
“Tapi kok bisa pinter banget kaya gitu, ya?” tanya Ibunya Rasyad masih tak percaya.
“Hahaha…semua anak itu pada dasarnya pandai semua kok, Bu. Tinggal bagaimana orang tuanya membentuk saja. Anak juga tidak bisa dipaksa, kan?” jawab Ibunya sambil tertawa geli melihat Ibunya Rasyad yang penasaran itu.
“Ah, saya tau. Agung itu emang udah dari sananya pinter. Lah wong, Ibunya aja pinter begini. Ya kan? Gak belajar juga Agung pasti tetep ranking di kelas,” akhirnya Ibunya Rasyad berkesimpulan sendiri sambil menatap kagum pada Agung yang masih duduk diam mendengarkan percakapan itu.
*** Agung terlihat tenang-tenang saja menghadapi ulangan akhir kenaikan kelas. Bu Karim heran melihatnya tidak antusias memegang buku seperti biasa. “Kenapa nggak belajar, Gung? Kan besok udah ulangan umum?” tanya Bu Karim.
“Tenang aja, Bu. Aku kan udah pinter dari sananya. Gak usah belajar juga pasti juara kelas lagi,” kata Agung tanpa bermaksud untuk sombong.
Bu Karim terhenyak sejenak mendengar jawaban Agung itu. Semenit kemudian dia tersenyum mengerti dan mulai mencari akal bagaimana menyadarkan anaknya itu. Bu Karim berjalan ke kamar mandi dan mengambil sebuah sabun mandi yang sudah setengah terpakai. Diambilnya juga sebuah sabun mandi yang masih baru dari dalam lemari. “Sini! Ibu kasih tau!” ajak Bu Karim pada putra kecilnya itu. Agung beranjak mendekati Ibunya sambil terheran-heran. Tidak mengerti dilihatnya dua buah sabun di tangan Ibunya itu.
“Lihat sabun-sabun ini, kan?” tanya Ibu padanya. Agung mengangguk. Ibu mengambil sabun yang sudah terpakai dan menunjukkannya kepada Agung. “Sabun yang ini sudah dipakai. Coba cium, wanginya masih ada gak?” tanya Ibu. Agung mencium sabun itu dan menggeleng. “Udah nggak wangi,” jawabnya.
“Pindah ke mana wangi sabunnya?” tanya Ibunya menatap Agung. “Ke badan kita kalau habis mandi,” jawab Agung cerdas seperti biasa. Bu Karim menganggukkan kepalanya dengan puas.
Lalu ia ganti mengambil sabun yang masih baru dan menunjukkannya pada Agung kembali. “Kalau sabun yang baru ini, masih wangi nggak?” tanyanya. Agung mengangguk cepat tanpa menciumnya terlebih dahulu. “Wangi ya? Lebih enak dari pada yang udah dipakai itu. Tapi kalau dia tetap nggak dipakai, lama-lama wanginya juga akan hilang, lho,” kata Ibu lagi.
Agung masih menunggu lanjutan ucapan Ibunya itu. “Ilmu itu seperti sabun yang sudah dipakai itu. Sudah tidak terlalu wangi, karena sering dipakai dan membuat wangi orang yang memakainya. Kalau sabunnya habis akan ada sabun baru lagi untuk menggantinya. Artinya, ilmu juga begitu, akan bertambah terus kalau kita mau belajar,” jelas Ibunya seterang mungkin pada Agung.
“Kalau sabun yang baru ini nggak dipakai-pakai, wanginya akan hilang juga dan tidak akan ada sabun baru untuk menggantinya. Artinya, kalau sabun itu ilmu, maka ilmunya tidak akan bertambah karena tidak belajar. Anak pandai juga perlu belajar. Jangan mentang-mentang sudah pandai, lalu tidak mau belajar. Karena ilmu itu seperti sabun, setiap kali habis yang satu akan ada lagi yang baru. Kita tidak boleh berhenti belajar, walaupun sudah merasa pandai,” urai Ibu dengan sabar.
Agung menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Baginya tak sulit menangkap penjelasan Ibu, sebab memang dasarnya dia pandai dari sananya bukan? Bu Karim hanya tak ingin anaknya tidak punya keinginan untuk belajar. Itu saja.
(cerpen ini pernah dimuat di Kompasiana) —> di Be-Blogkami masukkan ke kategori pendidikan ya bu Winda (Admin)

[...] This post was mentioned on Twitter by IMAM MAHMUDI, bloggerbekasi. bloggerbekasi said: [Bloggerbekasi.Com] Ilmu Sabun: Agung anak yang pandai. ‘Pinter dari sononye,’ begitu kata para tetangga Agung, … http://bit.ly/ddtC0A [...]
cerpen yang bagus ..yang artinya kita harus terus belajar sampai kapan pun walaupun kita sudah pintar.
I like
[Reply]
mas imam, beblog, makasih udah mention cerpen ini ya..
mas maryadi, iya mas, pesannya kira2 seperti itu..makasih sudah baca ya mas..
[Reply]
admin, hehehhe, alhamdulillah dimasukin ke kategori pendidikan, mudah2an lebih bermanfaat…
[Reply]
salam kenal…
kunjungi repository unand
terima kasih ^^
[Reply]