Pemimpin Yang Lupa Berdiri
Politik Tuesday, February 15th, 2011 1,306 views
Kesalahan terbesar para pemimpin bukanlah ketidakmampuan mereka membuat program pembangunan yang indah untuk rakyatnya. Tetapi kegagalan dalam memutuskan berapa lama dia akan memegang jabatannya, tepat ketika dia memulainya. Dia akhirnya terbius oleh pesona jabatan tersebut, seperti bunyi sebuah iklan televisi ”kalau sudah duduk lupa berdiri”. Maka kitapun menyaksikan dengan dada sesak pemimpin yang naik ke puncak kekuasaannya, ketika seorang anak lahir dan dia masih di sana ketika si anak tersebut membopong bayi di pundaknya.
Ketika Orde Baru lahir, banyak orang yang merajut harapan akan suatu kehidupan yang baru. Bahwa nantinya harga-harga tak lagi mahal dan bahan makanan mudah diperoleh. Kita tak perlu mengantri demi seliter minyak untuk menanak nasi nanti malam. Dan semoga Jenderal pendiam dan banyak senyum itu akan berbeda dengan si Bung yang menggenggam erat kursi kepresidenan selama 20 tahun sejak kemerdekaan. Namun ketika 6 pelita telah berlalu, orang-orang kembali bersua di jalan buntu yang sama. Jenderal Tua itu ternyata masih ada di sana, dia tetap enggan beranjak dari kursinya yang reyot hingga api amarah berkobar dan menghabisi segalanya.
Namun Indonesia bukanlah kekecualian. Dari ujung utara Benua Afrika, ke Jazirah Arab, hingga ke Kuba di Amerika Selatan, kita melihat raut wajah pemimpin yang sama. Raut-raut wajah yang tak menyiratkan iba pada kemiskinan penduduknya. Wajah mereka begitu tenang dan tak terusik dengan suara tangis warganya. Mungkin suara-suara itu terlalu jauh di bawah menara gading kekuasaannya. Atau suara-suara itu hanya terpendam di sudut hatinya yang dibalut rasa takut. Tapi tidakkah suara-suara terpendam itu memancar di kabut bola mata mereka?
Barangkali memang negara-negara berkembang belum punya sejarah panjang berdemokrasi yang tegas membatasi masa jabatan seorang Kepala Negara, seperti Amerika dan Inggris. Tapi lihatlah, Corazon Aquino membatasi masa jabatannya sendiri hanya 1 periode selama 6 tahun. Dan dia gigih berjuang menentang penggantinya Presiden Fidel Ramos yang berupaya meng-amandemen undang-undang itu. Jadi persoalannya bukanlah sejarah yang panjang tapi kemauan untuk memberi yang terbaik untuk rakyatnya dan kepatuhan pada undang-undang yang berlaku.
Ukuran keberhasilan seorang pemimpin sesungguhnya bukanlah seberapa lama dia memimpin. Tapi lebih pada seberapa banyak calon pemimpin yang mampu menggantikannya. Tugas pemimpin adalah menyiangi dan menyirami ladang agar tunas-tunas itu mekar dan berkembang. Sebagaimana tunas yang berlomba semakin tinggi untuk merebut cahaya mentari, para pemimpin harapan itupun saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Dan ketika saatnya tiba, dengan hati lega dan puas sang pemimpin mempersilahkan mereka maju ke depan dan ikut dalam barisannya.
Namun, layaknya perokok dan rokoknya, si pemimpin jadi sulit berpisah dengan jabatannya. Jabatan itupun ternyata menjadi candu Kemewahan, Kemudahan, dan Penghormatan. Segalanya perlahan melebur menjadi bagian dari diri sang pemimpin. Ketika sang waktu mengingatkannya untuk menepi, ada rasa penolakan yang memberati jiwanya. Ketakutan akan kehilangan semua kemudahan dan penghormatan itu mendorongnya untuk bertahan. Diapun mengingkari suratan alam, bahwa untuk segala sesuatu di bawah matahari ada waktunya.
Maka, bila kita sekarang menyaksikan perlawanan rakyat terhadap pemimpin di Mesir, Yaman, Albania, sebagai resonansi perlawanan rakyat di Tunisia, itu artinya rakyat dimanapun sudah tidak tunduk pada pemimpin yang abai pada suara dan keresahan mereka. Mereka bersama mengepalkan tangan pada pemimpin yang menutup lorong-lorong perubahan.
Rakyatpun tidak butuh pemimpin baru untuk menggerakkan langkah-langkah mereka. Karena nurani sejatinya sama pada setiap orang. Dan ketika nurani itu bergema, itulah yang menuntun mereka berpadu dalam barisan. Maka alun-alun kotapun sesak oleh massa. Dan suara-suara mereka bergema di angkasa agar telinga si pemimpin yang mulai pekak dapat mendengar. Hingga akhirnya, dengan diam-diam dia pun beringsut dari kursi tuanya. Lalu menghilang ke sudut-sudut malam yang kelam.

emang dasar pemimpin
[Reply]