Sebuah Kisah Di Kereta
Ali Reza
Orang-orang datang dan pergi, kerja dan pulang, setiap hari, hidup dalam kegilaan dunia kapitalis. Jika kau hidup di Jakarta maka kau harus bertahan karena orang-orang tidak peduli padamu. Hanya dirimu yang peduli.
“Namaku Ali .. mahasiswa tingkat akhir” kataku, memperkenalkan diri pada seorang pria berpakaian rapih, berdasi merah dengan wangi parfum yang menebar kesejukan di tengah hiruk pikuk kereta. Kupikir orang ini lebih cocok berada di dalam BMW dari pada berdiri dan berdesakan di dalam kereta.
“Aku Roy, kerja di Microsoft” ucap Roy dengan membuat irama pada kata Microsoft
“Microsoft? Kau bercanda?” kataku membuat orang-orang yang mendengarnya melihat ke arah kami. Mana ada pekerja Microsoft naik angkutan umum kalau bukan karyawan baru.
Roy mengangguk dan dia tidak bercanda. Ini hari ketiga dia bekerja untuk Microsoft. Yang sedang dia lakukan di kereta adalah menjajaki angkutan umum menuju kantornya. Dua hari terjebak macet rupanya membuat dia mencoba kereta, namun sialnya sekarang dia harus berhadapan dengan bau keringat dan bau pasar.
“Aku seharusnya mengambil jurusan komputer, politik selalu membuat pusing siapa saja” kataku yang sebenarnya pusingku bukan karena urusan politik melainkan masalah keuangan.
“Tapi semua orang perlu politik .. kan?” Roy mengucapkannya dengan sedikit ragu. Kurasa dia bukan tipe orang yang suka bicara politik. Kacamatanya hanya lensa biasa, mungkin hanya buat gaya ketimbang pelindung debu.
“Ya, semua orang perlu politik” aku juga mengucapkannya dengan ragu seperti keraguanku pada politik di negeri ini.
Kami terdiam beberapa saat, memandang gedung-gedung berlarian, melirik kemacetan di jalan dan berpikir betapa beruntungnya naik kereta. Seluler Roy bernyanyi, dia bergegas mengambil dan mengeluarkan Nokia model usang keluaran empat tahun lalu dari saku celananya.
Aku tidak punya telepon seluler, tetapi aku selalu mengikuti perkembangannya. Kau tahu, dalam setahun Nokia bisa mengeluarkan sepuluh seri terbaru dan tiap harinya mereka merancang model canggih dengan harga lebih murah lima persen dari keluaran terakhir. Aku mencuri dengar pembicaraannya dan aku dapat mengira-ngira dia adalah seorang marketing di Microsoft atau posisi yang berhubungan dengan klien. Tapi Nokia yang dipakainya tidak pantas untuk ditunjukkan di depan klien. Atau mungkin dia punya telepon ekstra yang tidak dipakai di tempat-tempat seperti ini.
Roy mengakhiri percakapan dan kelihatan puas
“Klien” kata Roy, mengarahkan tangannya padaku.
Hei bung, aku sama sekali tidak tertarik dengan model Nokia usangnya yang hanya akan dicari oleh penggemar Nokia miskin dan menjadikannya sebagai koleksi. Tapi aku kenal beberapa orang pengoleksi seluler semua merek dan darinya aku bisa menjual padamu dengan harga lima persen lebih rendah dari toko biasa.
“Kau bisa jadi ahli komputer tanpa belajar di universitas” kata Roy
“O ya? Katakan” kataku antusias
“Yang perlu kaulakukan hanya mempelajari perkembangan komputer terakhir. Kau cari tempat belajar yang terbaik atau kau bisa memulainya dengan belajar sendiri”
Aku mengangguk paham. Sebenarnya pura-pura paham karena kalau yang seperti ini sih aku sudah tahu. Yang kumaksud apakah ada lowongan kerja di Microsoft. Aku tidak tahu banyak tentang komputer, yang kutahu perkembangannya sangat cepat. Google, Microsoft, Apple, IBM, orang-orang yang beruntung dapat kerja di sana. Mungkin hanya mimpi bagi orang sepertiku. Tetapi jika aku boleh bermimpi lebih besar lagi, aku tidak perlu memimpikan kerja di sana. Ya, mengapa tidak memilikinya saja?
Kereta bergerak perlahan, desakan penumpang yang baru masuk memaksa kami menahan diri berpegangan pada bagasi. Kakiku terinjak, dadaku terbentur tangan seorang pria besar hingga membuatku sesak nafas. Roy hampir kehilangan pegangan. Untungnya, kereta berhenti dan membuat kami terdorong ke depan. Hari ini lebih baik dari hari senin, masih ada celah untuk kaki dan aku masih bertahan. Aku kasihan pada Roy, dia seharusnya tidak memakai baju warna putih.
Posisi kami sedikit lebih baik. Roy merapihkan pakaiannya, memeriksa tiap kantong celana dan memastikan tidak ada yang hilang. Aku tersenyum padanya dan kukatakan sebentar lagi akan ada desakan yang lebih buruk dari luar. Dan lihatlah, di stasiun berikutnya orang-orang lebih ramai naik ke dalam kereta, sebagian besar membawa barang dagangan. Aku melihat ketidaknyamanan para wanita tua dan mereka yang membawa bayi. Tidak ada yang memberi mereka tempat duduk atau sedikit memberi ruang yang lebih nyaman. Beberapa penumpang merokok, menambah panas gerbong, membuat penumpang lain terbatuk.
Page 1 of 3 | Next page