Sering kali kita mendengar kata-kata “MURKA”, dan setiap orang juga mempunyai definisi yang berbeda-beda untuk memehami kata tersebut.
Seiring dengan proses kehidupan yang telah berlalu, yang sedang dijalani dan akan dijalani.
Banyak yang menamcapkan kata murka tersebut kepada generasi berikutnya yang memang baru akan menjalani proses kehidupan-nya.
Cukup menarik tulisan dibawah ini sehingga bisa memberikan pemahaman baru bagi kita-kita sehingga dapat lebih memahami makna sesungguhnya, karena makna adalah makna tidak bisa diwakili oleh kata-kata yang bisa diucapkan atau dihadirkan oleh manusia. semoga bisa menjadikan tiap diri menjadi manusia sejatinya manusia.
Terima kasih teman, sahabatku atas sharing tulisan yang baik ini….
“MURKA”
Salah satu kata yang dikenal manusia adalah MURKA. Kata ini secara umum menggambarkan bagaimana satu bentuk kehidupan diwarnai dengan kata seperti kehancuran, kezaliman, pengkhianatan, kesewenang-wenangan, dan bencana.
Ada juga sebutan dengan kata lain yang LEBIH bernuansa keterkaitan dengan Yang Maha Kuasa (YMK), seperti kata azab, kutukan, karma, dan sejenisnya. Pemahaman demikian, LEBIH ditekankan kepada ujud atau bentuk laku yang berdampak ketidaknyamanan bagi manusia dan tatanannya.
Mari dikaji dengan lebih mengedepankan apa yang sudah dihadirkan di dalam diri manusia itu sendiri. Salah satu unsur dalam diri manusia adalah RASA. Manusia mengejawantahkan kata rasa PUN dalam bentuk / ujud yang terasa bagi diri. Misal, rasa cinta, rasa sayang, rasa benci, rasa iri, rasa dengki, rasa kasih, yang mana, apa pun rasa di dalam diri manusia itu bermuara kepada kata seperti kata perhatian yang memiliki kebalikan kata tidak peduli, kata cinta yang memiliki kebalikan kata patah hati, dan kata sayang yang memiliki kebalikan kata pilih kasih.Sekali lagi, muara dari rasa dalam bentuknya, BUKAN-lah rasa itu sendiri.
Di saat manusia melakoni kehidupan dalam rasa yang bermuara kepada tidak peduli, patah hati, dan pilih kasih, misalnya, di saat itu PUN hadir KADAR ke-murka-an. Kata lain, seperti dendam dan sakit hati PUN merupakan ujud hadir ke-murka-an, di mana yang membedakan di antara kata-kata tersebut adalah KADAR terkandung pada kata murka. Kata lain bentuk murka, yang khususnya bertalian dengan YMK dipantulkan dari kata seperti bencana alam, kutukan, cobaan, atau pun karma misalnya. Lalu, apakah memang kemudian yang demikian disimpulkan sebagai bentuk murkanya YMK, utamanya kepada umat manusia?
Mari sejenak kembali kepada putaran bagaimana manusia itu memproses kedewasaan diri melalui proses kehidupan dalam upaya menyelaraskan dan mewujudkan satunya itikad, ucap, dan laku.
Manusia sudah diberi anugerah demikian. Tidak dibedakan manusia satu dengan lainnya atas hal demikian. Pembedanya terletak kepada proses mengolah melalui KADAR menerima yang dihadirkan dalam diri ATAU menolaknya. Walau pun proses keyakinan sudah demikian mendalam untuk bertekad menerima apa adanya, TERNYATA tetap saja manusia TERUS diproses agar menyempurnakan itikad yang demikian dalam satu keyakinan diri yang diupayakan secara konsisten.
Di dalam itulah, silahkan manusia memilih bentuk rasanya sebagai kawan yang menemani dengan nuansa ketulusan dan ketabahan ATAU selain tulus dan tabah.
Manakala, manusia bersahabat dengan ketidaktulusan dan ketidak tabahan, bisa dipastikan hadirlah murka dalam diri manusia dalam segala kadarnya. Sehingga, esensi manusia melakoni kehidupan merupakan proses MENGIKIS dengan ketulusan semua rasa yang akan menghadirkan murka di dalam dirinya.
Jika pemahaman demikian yang dihadirkan dalam diri, lalu kira-kira di mana letak YMK kemudian disebut memberi murka dalam ujud berbagai bahasa?
Dari sisi semesta alam lainnya, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, angin, api, air, dan juga tanah sudah banyak ilmu dan pengetahuan manusia yang mampu mengungkap bagaimana semesta lain di luar semesta manusia melakoni gerak dalam koridor kodrat awalnya. Misal, tanah diangkut dari satu tempat ke tempat lainnya, ikut saja. Tumbuhan dan hewan pun demikian. Semesta-semesta alam seperti hewan dan tumbuhan, benar-benar sudah tunduk kepada kodrat AWAL penciptaan.
Manusia memang bisa meng-klaim bencana yang dihadirkan dengan sebutan bencana alam. Tetapi beranikah manusia JUJUR dan menerima APA ADANYA tindakan tanah atau pun air yang meluluhlantakkan tatanan manusia? Melalui ini, tidak ada pemaknaan kata murka bagi tanah atau pun air misalnya. Murka HANYA hadir di dalam diri manusia, sehingga, APA PUN, BAGAIMANA PUN, dan DENGAN CARA APA PUN melalui rasa yang mengikis kesejatian diri manusia sendiri sebagai PEMICU kehancuran bagi diri dan sesama serta lingkungan.
Jika setiap diri bersedia kembali ke asal-usul (dalam khasanah Sunda disebut dengan Wiwitan), di dalam itu akan diberi pemahaman di mana HIDUP merupakan pemberian yang perlu dilakoni di dalam KE-HIDUP-AN. Silahkan manusia menentukan sendiri, siapa pemberi hidup, bagaimana proses hidup, ke mana hidup akan ditujukan di dalam semua bentuk-bentuk kehidupan.
Di dalam itu pula, upaya kelola dan kikis semua pemicu yang menjadikan diri sebagai manusia murka.
Dalam bahasa yang semoga lebih sederhana, ujudkan dalam diri nilai-nilai ketulusan dan ketabahan. Di saat yang sama proses menghentikan rasa iri dan dengki dalam diri.
Melalui demikian, SEMUA bentuk murka yang bisa hadir di dalam diri manusia terus bertransformasi menjadi bentuk kewelasasihan sesuai kadarnya. Inilah sejatinya medan juang setiap diri manusia, dalam berbagai cakupan kehidupan.
Melalui demikian, manusia perlu bisa menerima untuk mewujudkan kebaikan melalui proses penuntutan JUGA menghadirkan KADAR murka di dalam diri. Berdoa (bersenandung harap) yang kemudian malah diarahkan kepada “menghujat” orang lain, PUN merupakan bentuk murka secara esensinya.
Berdoa (bersenandung harap) kepada manusia-manusia yang SUDAH berpulang dan mencapai kadar kemanusiaan yang optimal PUN bisa dimasukkan sebagai bentuk murka, walau pun yang demikian diyakini sebagai kebaikan. Kadar murka dalam diri manusia SELALU berbanding lurus dengan kadar penuntutan ke dalam diri dan melalui demikian, akan bisa dipahami, bahwa YMK melalui Kuasa dan Ijin-NYA telah memberi rancangan yang se-adil-adil-nya kepada setiap manusia TANPA membedakan semua bentuk-bentuk pelabelan melalui proses kehidupan yang tidak satu orang manusia pun bisa keluar dari proses ini.
Silahkan, manusia melakoni dalam tatanan yang berbeda, apakah dorongan jiwanya mengandung nilai-nilai ketulusan atau pun tidak, tetap tidak akan mampu menutup seberapa dalam ke-murka-an yang terpancar dengan sendirinya. Ucap bukan lagi menjadi tolok ukur utama, bahkan dalam tataran tertentu ucap bisa dikatakan hanya sebagai pemanis bibir saja. Tetap PERBUATAN-lah yang akan memastikan.
Melalui demikian, justru amat sangat memerlukan kehati-hatian bagi manusia-manusia yang MERASA baik, MERASA beriman, dan MERASA paham, karena murka selalu mengintai selama nafas masih diberi.
Semoga manfaat adanya.
Semar Samiaji
Komentar Terbaru