Bagaimana menulis cerpen dalam waktu dua puluh menit
Pendidikan Tuesday, November 9th, 2010 311 views
Bukan rahasia lagi, tanpa trik khusus siapapun dapat membuat cerpen dalam waktu singkat. Dua puluh menit bukan merupakan sebuah patokan dan kamu pun bisa melakukannya kurang dari waktu itu. Karena yang akan kita tulis adalah sebuah cerpen atau cerita pendek, bukan sebuah novel yang membutuhkan berjam-jam untuk menulisnya. Tidak ada batasan seberapa pendek sebuah cerpen. Jhumpa Lahiri menulis cerpen lebih dari dua puluh halaman dan yang lain membuat kurang dari satu halaman.
Sebuah cerpen menceritakan suatu kejadian penting, sangat-sangat penting untuk diceritakan dan sangat-sangat menarik perhatian pembaca. Saya mengulang kata ‘sangat’ karena menunjukkan urgensi dan nantinya kemudahan dalam membuat c erita. Coba simak saja sebuah mobil yang menabrak seorang anak usia lima tahun namun anak itu tidak terluka sama sekali. Bukankah kejadian ini sangat-sangat penting untuk diceritakan dan sangat-sangat menarik untuk dibaca.
Jika kamu menganggap kisah cinta kamu sangat-sangat penting untuk diceritakan, maka tulislah seperti kamu mencurahkan perasaanmu pada teman terdekatmu. Setelah kamu menganggap kisah cinta kamu itu sangat-sangat penting maka buatlah bagaimana agar kisah kamu sangat-sangat menarik perhatian pembaca.
Ada dua hal yang akan sangat-sangat menarik perhatian pembaca, yaitu bagaimana kita mengawali kisah dan kedua tentunya bagaimana akhirnya. Kita ambil contoh tentang kecelakaan yang menimpa anak lima tahun tadi. Bagaimana jika kita mengawalinya dengan, “Tadi siang sebuah mobil Avanza menabrak seorang bocah kecil ketika bocah itu menyeberang di jalan raya. Bocah itu terlempar kira-kira lima meter, kepala membentur aspal, terguling hingga membentur tiang listrik. Semua orang menyaksikannya, mematung seperti melihat sebuah pertunjukkan. Bocah itu tidak bergerak sama sekali. Semua memastikan bocah itu tewas.”
Sangat menarik bukan? Silahkan baca paragraf selanjutnya.
“Supir mobil avanza yang menabraknya seorang wanita berusia tiga puluh lima baru saja pulang dari pengadilan perceraiannya. Bocah itu, seperti yang dilihatnya, seusia dengan anaknya. Ia menangis. Kini pandangan orang-orang beralih ke wanita itu. Mereka marah. Kerumunan itu bersama-sama melangkah mendekati mobil wanita itu, seorang pria mengambil tongkat dari depan toko. Satu per satu mengacungkan kepalan tangannya ke udara. Ada yang berkata “Bakar!”, lalu “Hancurkan mobilnya!”
Tapi tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika mendengar seseorang meneriakkan sesuatu. “Tunggu! “Berhenti!” kata seorang pria yang berada di dekat bocah malang itu. Serentak orang-orang berhenti melangkah dan melihat ke arahnya.
Bocah itu bangkit dan berdiri begitu saja seperti tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Yang ia takutkan hanya begitu banyaknya orang yang sedang melihatnya.”
Sampai di sini pembukaannya. Pembaca pastinya akan membaca terus untuk mengetahui siapa bocah itu dan mengapa ia masih tetap hidup.
Diperlukan kemauan dan ketekunan untuk membuat cerita yang baik, plus kebiasaan membaca sehingga kata-kata yang akan mengalir ke tangan kita bukan lagi sesuatu yang musti kita pikirkan dengan begitu kerasnya.
Kita menyaksikan kejadian penting tiap saatnya, kita mendengarnya juga dari orang lain atau bahkan kita mengalaminya sendiri. Dengan sedikit fantasi dan sedikit merubah di bagian-bagian tertentu maka kita akan mendapat sebuah tulisan yang keren.
Ada pengalaman saya dalam menulis kisah Merapi Marlan. Saya menulis tangan dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Tulisan itu hanya sepanjang satu setengah halaman A4 dan dalam bentuk draft. Ide itu muncul begitu saja, tapi jika saya tidak segera menulisnya maka perlahan-lahan akan hilang begitu saja.
Pengalaman lain adalah cerpen saya berjudul Filly. Seorang teman chating meminta saya untuk membuat cerita tentang orang tua tunggal (ibu) dalam membesarkan anaknya. Keadaan saya yang bukan orang tua tunggal dan saya bukan seorang wanita bukanlah sebuah hambatan untuk menulisnya. Banyak kejadian penting menjadi orang tua tunggal yang pernah saya lihat di film atau dari bacaan. Salah satunya adalah ketika sang ibu pulang kerja dan tidak punya uang untuk membelikan putrinya es krim. Dari inti cerita itu saja sudah membuat saya tersentuh dan selanjutnya bagaimana saya menceritakannya. Saya mengembangkan inti cerita dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pikiran saya. Berapa usia wanita itu? Apa pekerjaannya? Berapa usia putrinya dan siapa namanya? Dimana mereka tinggal? Ada apa saja di tempat mereka tinggal? Dari sudut pandang orang keberapa saya bercerita? Dan lain-lain. Setelah semuanya terjawab maka yang saya lakukan selanjutnya adalah meletakkan jawaban-jawaban itu di tempatnya masing-masing.
Sebenarnya ide-ide cerita sudah ada dalam benak kita masing-masing bahkan kita juga sudah memecahkan permasalahan dari sang tokoh. Kesulitannya lagi-lagi bagaimana memulai menulisnya. Satu kata atau sebuah kalimat pembuka yang kita tulis bisa memecah kebuntuan itu. Kita bisa mulai menulis dengan cara klasik seperti “Pada suatu hari” atau menceritakan kegiatan atau kebiasaan sang tokoh, seperti “Baju-baju cucian Ani yang direndam tadi semalaman luntur. Ani menyalahkan ibunya yang tidak segera mengangkat rendamannya.”
Sekarang keputusan ada di tangan kita. Apakah kita akan memulai menulis dan menyingkirkan kata-kata “terlalu sulit” atau “tidak akan bisa” dari dalam pikiran kita.
Selamat menulis.

[...] This post was mentioned on Twitter by IMAM MAHMUDI, bloggerbekasi. bloggerbekasi said: [Bloggerbekasi.Com] Bagaimana menulis cerpen dalam waktu dua puluh menit: Bukan rahasia lagi, tanpa trik khusus … http://bit.ly/9Ya6D6 [...]
Setuju, modal untuk bisa menulis ya harus diawali dengan menulis, kemudian rajin menulis serta banyak membaca. Dengan rajin menulis dan membaca, maka tentunya berbagai kosa kata akan tersimpan di alam bawah sadar, selain iitu dengan membaca, kita akan tahu gaya tulisan seseorang.
[Reply]
[...] Read More… [...]