Hadiah Buat Ibu
Cerita Pendek Sunday, December 5th, 2010 195 views
Manta duduk di bangku kayu panjang di sebuah ruangan sempit di bawah tangga menunggu jam pulang. Dua tangannya menopang dagu sambil memandang lurus ke depan. Dia memikirkan hadiah lebaran untuk ibunya. Dan untuk itu dia sedang menabung untuk membelikannya mesin jahit listrik. Mesin jahit tua ibunya yang biasa dipakai untuk mengerjakan pesanan membuat ibunya kepayahan.
Malam itu tidak ada staf yang lembur di lantai tiga. Ia sudah membersihkan seluruh ruangan di lantai tiga, mengelap komputer dan kaca-kaca jendela, dan membuang sampah. Ia matikan lampu-lampu kecuali lampu di lorong yang dibiarkan menyala hingga pagi. Ia mengganti seragamnya dengan kemeja hitam yang sedikit berlubang di bahu kanannya dan mengganti celananya dengan jins. Sepatu kerjanya disimpan di bawah bangku panjang di dalam ruangan sempit bawah tangga. Ia memakai sandal jepit warna hijau. Sebelum pergi pulang ia mencuci mukanya dengan sabun dan menyisir rambutnya ke belakang. Jam masih belum melebihi pukul tujuh, Jakarta masih macet. Sebenarnya ia lebih suka pulang agak malam, sekitar jam delapan. Tapi tidak ada lagi yang ia kerjakan.
Ia berjalan melewati teman-temannya sesama office boy yang sedang duduk-duduk ngobrol di bangku kayu depan gerbang. Ia melambaikan tangannya pada mereka. Tukang ketoprak masih berjualan hingga jam sembilan. Warung rokok depan kantor sudah tutup sejak maghrib, penjualnya ogah-ogahan berjualan, minggu lalu saja ia menutup warungnya tiga hari.
Manta menunggu bisnya di perempatan jalan. Tiga pria duduk di atas pagar besi trotoar. Ketiganya merokok. Seorang wanita tua berdiri di ujung pagar, memakai sweter garis-garis hitam dan rok hitam sebetis sedang memeluk tas hitamnya. Sepasang laki-laki dan perempuan berjalan merapatkan diri. Tangan kanan si laki-laki memeluk pinggang si perempuan sedangkan tangan kirinya menenteng tas plastik putih belanjaan. Seorang calo berdiri menghadap arah bis datang dan memberitahu jurusan bis yang akan lewat. Ia meminta recehan dari kernet bis sebagai balas jasa mencarikan penumpang. Tidak seperti calo di tempat lain, ia menerima berapa pun uang pemberian kernet, bahkan seratus rupiah. Ia memang berpenampilan acak-acakan, rambutnya kemerahan dan gondrong. Matanya sayu seperti orang mabuk, namun meski demikian ia dapat membaca nomor bis dari kejauhan dan kemudian meneriakannya pada calon penumpang kalau-kalau itu bis mereka. Manta biasa menyapa si calo meski tidak saling kenal.
“Bisnya udah lewat. Tapi tadi ada yang masuk lagi, de” kata si calo dengan suara berat dan senyum yang lebar.
Manta mengangguk. “Udah berapa lama, bang?” tanyanya
“Barusan lewat”
“Makasih, bang” ucap Manta, bersender pada pagar trotoar, dua tangannya ditekuk dan diletakkan di atasnya. Ia bisa mengira-ngira kapan bisnya datang. Mungkin lima belas menit. Mungkin sepuluh menit. Mungkin setengah jam. Tapi seharusnya tidak selama itu kalau bisnya tidak ngetem di putaran balik.
Manta memandang gedung perkantoran di hadapannya. Gedung itu berlantai tiga puluh menurut hitungannya. Pikirnya, tidak ada gedung yang bertingkat tidak digenapkan seperti dua puluh tujuh lantai yang seharusnya dihitung tiga puluh lantai atau dua puluh lima. Ia menghitung lampu yang masih menyala. Ada sembilan ruangan. Beberapa temannya, office boy juga, kerja di gedung itu.
Seorang pengemis berdiri di hadapannya. Manta mengeluarkan seribu rupiah dari kantong kiri celananya dan memberikannya. Laki-laki pendek itu mengucapkan terima kasih, lalu melangkahkan kakinya yang terlihat lemah seperti belum makan tiga hari sebagaimana ia ucap pada tiap orang yang dimintai uang.
Satu Kopaja berhenti, bangku-bangkunya kosong, kernetnya turun menghampiri si calo. Si calo tahu apa yang harus ia katakan. Ia menyebut plat nomor kopaja yang terakhir lewat situ dan menyuruhnya menunggu sebentar. Di seberang jalan tiga perempuan menunggu untuk menyeberang. Tapi mereka tidak perlu menunggu hingga lampu lalu lintas menyala merah. Saat jalanan kosong mereka berlarian menyeberang sambil berpegangan tangan, tertawa cekikikan. Mereka ngobrol lagi sesampainya di seberang. Tiga laki-laki yang duduk di atas pagar trotoar menggodanya. Kernet yang sedari tadi mengetuk kaca jendela dengan uang logam kecewa karena perempuan-perempuan itu tidak naik bisnya. Ia menyuruh supir tancap gas.
Jam delapan empat puluh, Manta mendapat bisnya. Ia duduk di barisan kiri kursi di sebelah seorang pria gemuk yang sedang tidur. Ia duduk dengan setengah pantatnya membuatnya harus berpegangan pada kursi di seberangnya ketika bis belok ke kanan dan ia merasa lebih tidak nyaman jika penumpang atau kernet atau pedagang atau pengamen berjalan mondar-mandir dan membentur lengannya. Ia tidak mengeluh. Seorang wanita berdiri bersandar di kursinya. Manta mempersilahkan wanita itu untuk duduk di tempatnya. Wanita itu mengucapkan terima kasih.
Manta berdiri berhadapan dengan dua pengamen. Ujung gitar si pengamen hampir mengenai hidungnya. Si pengamen hanya tersenyum untuk sebuah kata ma’af. Pengamen yang lain memegang gendang, memandang ke luar menunggu penumpang agak penuh untuk kemudian bernyanyi. Seorang pengemis berjalan tenang menyodorkan kantong plastik ke tiap penumpang. Jalannya pelan seakan disengaja agar orang-orang merasa kasihan padanya. Bibirnya kering, matanya dibuat sembab. Ia mengenakan baju olah raga SMP di Bogor. Manta memberikan seribu rupiah padanya.
Bis memasuki jalan protokol, penumpang berhamburan naik, celingukan mencari posisi. Pengamen memulai aksinya dengan salam pembuka. Bis berjalan lambat. Semua kendaraan yang berada di sebelah kiri berjalan lambat. Kernet berteriak “Bekasi! Bekasi! …”
Setengah jam kemudian bis berhenti lagi sesaat sebelum memasuki pintu tol. Itulah saat para pengamen berhenti bernyanyi dan meninggalkan bis, saat Manta mengeluarkan seribu rupiah lagi, saat seorang petugas checker menghitung jumlah penumpang, saat pengamen lain menjual suara.
Bis melaju pelan memasuki gerbang tol. Macet menanti lagi di sana.
Bulan ini seharusnya masuk hitungan musim hujan tapi sedari pagi tadi hujan tidak juga turun. Siang hari kemarin hanya berupa rintik-rintik sebentar dan kemudian panas kembali. Untungnya angin masih bertiup, cukup untuk menghilangkan keringat mereka yang berdesakan di dalam bis.
Si pengamen selesai bernyanyi, tapi Manta tidak punya uang lebih untuknya. Ia mengangkat tangan kanannya dan memberikan senyum saat disodorkan topi dengan uang recehan di dalamnya. Pengamen itu membalas senyumnya.
Manta kehabisan uang untuk naik angkot selanjutnya dan karena itu ia akan berjalan kaki hingga ke rumahnya. Tapi besok adalah hari gajian. Ia masih menyimpan uang untuk ongkosnya besok. Uang yang diambil dari tabungannya yang disimpan di dalam amplop coklat di bawah tumpukan baju.
***
Ibunya sedang mengerjakan jahitan terakhir ketika Manta tiba di rumahnya. Manta membuka pintu, melepas sandalnya dan membariskannya bersama tiga pasang lainnya di samping kursi teras. Ia mencium tangan ibunya dan duduk di ruang tamu. Di meja di hadapannya terhidang setumpuk pisang goreng di atas piring melamin, di sebelahnya ada segelas teh manis yang masih hangat. Suara gemuruh mesin jahit berputar seiring kaki tua yang penuh varises mengayun turun naik. Tangan yang memutar roda mesin jahit pun penuh urat. Ibu Manta memutus benang dengan giginya. Manta mengunyah pisang goreng perlahan, minum teh manisnya sedikit dan kemudian bangkit berjalan ke kamarnya. Ia iba melihat ibunya.
Rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur. Tidak ada plang reklame di depan rumah yang menandakan rumah itu menerima pesanan jahit. Tapi para tetangga tahu ibu Manta pintar menjahit. Manta punya rencana membuat plang reklame kecil tergantung di bawah lampu neon di depan rumah. Mungkin ia akan membuatnya setelah membelikan ibunya mesin jahit listrik. Kalau membuatnya terlalu terburu-buru, ia khawatir ibunya akan kewalahan menerima pesanan. Lantai rumah itu berupa karpet plastik yang melapisi coran semen. Dindingnya banyak yang gompal. Manta biasa menambalnya jika ada waktu. Pakaian-pakaian yang baru selesai dijahit digantung di dinding ruang tamu. Tidak ada TV. Satu-satunya hiburan hanya radio tape kecil pembelian almarhum ayah Manta yang diletakkan di ruang tengah dan biasa dinyalakan ibunya setiap subuh untuk mendengar ceramah pengajian.
Manta melepas kemejanya lalu menggantungnya di balik pintu. Dia mengambil handuk di gantungan sebelahnya, melilitnya ke pinggang, lalu melepas celana panjangnya dan menggantungnya di atas kemejanya. Ia membuka lemari dan mengambil sebuah amplop coklat di bawah tumpukan pakaiannya, mengeluarkan semua uangnya dan menghitungnya. Lima ratus delapan puluh ribu rupiah. Ia tidak tahu berapa harga sebuah mesin jahit listrik baru. Yang ia tahu bahwa kekurangan uangnya sangat banyak. Mungkin ia akan membeli yang bekas. Ia menarik nafas dalam-dalam dan memasukkan uangnya kembali, menyisakan lima ribu rupiah untuk ongkosnya besok. Lima ratus tujuh puluh lima ribu rupiah dan besok adalah hari gajian.
Ibunya menunjukkan stelan seragam siswi SMP yang baru dijahitnya ketika Manta baru saja selesai mandi.
“Pesenan siapa, bu?”
“Anaknya bu Ani”
Manta mengangguk seperti tahu siapa anaknya ibu Ani. Tapi ia tidak kenal anak perempuan ibu Ani yang di SMP. Ia mengambil sisir di bufet ruang tamu dan membawanya ke kamarnya.
Ia memakai baju koko buatan ibunya. Ia menggelar sajadahnya lalu berdiri diatasnya menghadap ke depan rumah dan mengangkat dua tangannya. Ia berdo’a dalam sujudnya. Tidak banyak yang ia minta pada Tuhannya. Ia berharap dapat membeli mesin jahit listrik untuk ibunya.
Setelah itu ia kembali duduk di ruang tamu di hadapan ibunya yang sedang istirahat.
“Orderannya lagi banyak, bu?” tanya Manta.
Ibunya menggeleng kepalanya sedikit, tangannya mengipas-ngipas kepalanya dengan koran.
“Yah lumayan, Ta”
Manta berpikir mungkin menjelang lebaran akan banyak pesanan dan semestinya ia harus bisa membeli mesin jahit listrik sebelum lebaran. Ia makan pisang goreng terakhir dan menghabiskan tehnya. Ia tidak bicara soal mesin jahit listrik karena takut tidak akan terbeli jika menjanjikannya. Kemudian ia terdiam. Ibunya terdiam juga. Suara sepeda motor di jalan depan rumah menyalak keras sekali. Tukang nasi goreng mengetuk-ngetuk wajannya dengan garpu.
“Manta tidur duluan, bu.” ucap Manta
Ibunya mengangguk, memandang anak satu-satunya itu sebentar lalu melipat pakaian dan meletakkannya di atas meja.
Manta berbaring memandang langit-langit. Langit-langit yang penuh bekas bercak air dan hampir runtuh. Ia akan memperbaikinya suatu saat nanti, tukang yang akan mengerjakannya. Belum genap jam setengah sepuluh tapi Manta mengantuk berat. Ia menguap beberapa kali. Ia masih memikirkan ibunya. Ia masih memikirkan mesin jahit listrik. Ia mematikan lampu kamarnya.
Ia merasa baru saja tidur ketika azan subuh membangunkannya. Rumah masih gelap. Tidak seperti biasanya ibunya masih tidur.
Tiba-tiba ia menemukan dirinya berada di atas bis dalam perjalanan menuju kantornya. Hari itu terasa sejuk lebih sejuk dari AC di kantornya, bahkan lebih sejuk dari udara pegunungan. Ia seperti tidak berjalan di bawah bayang-bayang gedung-gedung melainkan di bawah gunung-gunung hijau, melangkah diantara wajah-wajah bahagia. Ya, semua orang bahagia bahkan para pengemis yang biasa diberikannya sedekah sangat bahagia. Pengemis-pengemis itu berpenampilan mewah, angkuh dan tidak pernah mengenal Manta.
Hanya satu orang yang tidak bahagia hari itu. Seorang wanita tua yang duduk di sudut jalan. Wajahnya tertutup topi capingnya, pakaiannya lusuh dan kotor di hadapannya tergeletak sebuah mangkuk besi yang berisi beberapa uang receh. Sesekali mangkuk itu berdenting, uang-uang receh di dalamnya berlompatan, beberapa sampai jatuh keluar, wanita itu memungutnya.
Manta melangkah mendekatinya. Ia melihat wanita itu adalah ibunya.
“Mereka semua pergi” ibu Manta berkata
“Mereka siapa?” tanya Manta.
“Tidak ada lagi yang mau menjahit pakaiannya ke ibu. Mereka bilang ibu terlalu lambat sedangkan mereka butuh pakaiannya cepat” jawabnya sedih “Andai kamu membelikan mesin jahit listrik.”
“Manta akan beli, bu. Manta akan beli.”
“Terlambat …” kata ibunya, mengambil mangkuk besinya, menaruh uangnya ke dalam kantong kain lalu bangkit dan berdiri tanpa menoleh pada anaknya, lalu berjalan meninggalkannya.
Ia terbangun dari mimpinya. Ibunya memanggil dari luar, mengingatkannya waktu sembahyang subuh.
Manta duduk terdiam di tepi ranjang. Ibunya mengetuk pintu kamarnya, memanggil lagi, memberitahu sarapannya sudah siap.
“Ya, bu. Sebentar lagi” jawab Manta. Ia mengambil amplop coklat tabungannya, menghitung kembali uang-uangnya, menghitung kekurangannya, menghitung seberapa cepat ia bisa membeli mesin jahit listrik. Dan pagi itu ia mencium tangan ibunya lebih lama dari biasa.
Sepanjang jalan ia memikirkan mimpinya semalam. Sebuah mimpi yang aneh. Tapi boleh jadi mimpinya itu memberiya pelajaran. Mungkin ia terlalu sering memberi sedekah. Mungkin para pengemis itu hanya berpura-pura padahal mereka sebenarnya mampu. Lagipula, dengan tidak memberi sedekah maka ia bisa menghemat lima atau seratus ribu rupiah per bulan. Bukankah itu jumlah yang besar? Jumlah yang cukup untuk tambahan membeli mesin jahit listrik.
Ia menerima gajiannya setelah jam makan siang, beberapa temannya membayar hutangnya. Ini gajian terbesarnya selama bekerja di kantor itu. Tambahan gaji yang didapat dari uang lembur, uang kesehatan dan bonus di pertengahan tahun.
Tidak ada yang lembur di hari gajian. Manta pulang sebelum jam tujuh malam dan mendapatkan bis di jam tujuh lewat lima. Ia berdiri di antara tangan-tangan yang menggantung, tubuh-tubuh yang mengeluarkan bau yang sama dengan dirinya. Bis terlalu padat malam itu sampai-sampai hidungnya mencari-cari asal udara segar dari jendela. Jalanan macet. Selalu macet tiap hari. Ini hari jum’at, puncaknya hari-hari macet. Pengamen tidak berani masuk, bis terlalu penuh. Iring-iringan pedagang mencari celah-celah jalan diantara penumpang, menawarkan permen, rokok, kipas, air minum, kacang, tahu, lontong, korek api gas, koran pagi yang dijual setengah harga. Beberapa pengemis tidak mau kalah. Gayanya pun aneh-aneh. Mulai dari sepasang pengemis buta hingga yang pura-pura mempunyai luka. Tangan-tangan lemah itu pun disodorkan ke hadapan Manta. Namun hari itu Manta tidak memberikan sedekah untuk pengemis. Tidak juga untuk pengamen. Mungkin awalnya cukup berat mengingat ibunya selalu mengajarkanya untuk bersedekah. Agama mengajarkan bahwa sedekah dapat membawa rejeki. Ah, ia berpikir, setidaknya ia tidak akan bersedekah sebelum membelikan ibunya mesin jahit listrik.
Bis terus merayap. Macetnya masih beberapa kilometer. Gemerincing recehan di tangan kernet menagih ongkos penumpang. Para penumpang bersiap mengeluarkan uangnya. Tapi Manta tidak menemukan uangnya. Lima ribu rupiah di saku kiri celana, dompet di saku kanan celana, uang gajian dalam amplop putih di saku kanannya. Kemana perginya uang-uangnya? Seseorang mencopetnya.
Kernet semakin mendekat, Manta semakin gelisah.
***
Bulan tidak nampak malam itu, tertutup awan hitam. Kilat terlihat sekali-sekali, lalu disusul bunyi gemuruh pelan-pelan. Angin berhembus tidak karuan, menggoyang-goyang pepohonan.
Manta tiba di rumah pukul sembilan kurang delapan menit. Ibunya yang membukakan pintu dengan wajah gembira, menyambut anaknya yang berjalan lesu. Manta duduk di ruang tamu dengan tubuh yang malas.
Melihat anaknya yang kecapekan, buru-buru sang ibu membawakan teh manis yang sudah dingin dan sepiring pisang goreng. Manta memandang ibunya dengan sedih sambil meyakinkan dirinya ia akan dapat membelikannya mesin jahit listrik.
Ibunya duduk di hadapannya, wajahnya terlihat cerah.
“Tadi pagi ibu ketemu bu Imah” ucap ibunya “Ibu Imah mau ngajak ibu jualan nasi uduk. Katanya nasi uduk buatan ibu enak. Ibu-ibu pengajian yang lainnya juga suka, mereka setuju kalau ibu buka usaha, selain itu ada juga yang mau nitipin kue pastelnya. Untungnya pasti lumayan, Ta. Tau sendiri,kan? Banyak anak kos di daerah kita”
“Trus … usaha jahit ibu gimana?” tanya Manta lemah seperti enggan bicara
“Manta … Manta, usaha jahit sekarang mah susah, apalagi lebih murah beli jadi. Lagipula ibu udah nggak sanggup … mata ibu udah kurang awas”
Manta terdiam sejenak. Bayangan wajah gembira ibunya menerima mesin jahit listrik, wajah-wajah pengemis, lalu dirinya yang kebingungan membayar ongkos sehingga berpura-pura menjadi pengamen datang satu persatu. Ia mungkin sedih, tapi ia terlalu lelah untuk memikirkannya. Ia mengunyah pisang gorengnya perlahan.
Di luar hujan mulai turun, dingin mulai datang dan keringat pun mulai hilang. Tapi kehangatan di rumah itu tetap terjaga. Antara Manta dan ibunya selalu ada kasih sayang tanpa harus mengecewakan salah satunya.
***
