Kota Bekasi, Si Cantik Yang Ramah Kaki Lima?
Artikel, Sosial-Budaya Tuesday, February 2nd, 2010 1,423 views
Oleh: Gani Gaos Saputra
Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi saat ini sedang giat-giatnya membenahi kotanya. Pembenahan terutama difokuskan pada titik-titik yang selama ini dipandang sebagai sumber kesemrawutan, antara lain: pasar-pasar tradisional, terminal, stasiun kereta api serta ruas-ruas jalan yang sering digunakan untuk berjualan oleh pedagang kakilima (PKL). Hasilnya pun mulai nampak. Titik-titik yang tadinya dikenal semrawut itu kini nampak lebih bersih dan enak dipandang mata. Terminal dan Setasiun Bekasi, misalnya, kini nampak lebih bersih dan tertib dibanding sebelumnya.
Gencarnya upaya pembenahan tersebut agaknya tidak terlepas dari rapor kota Bekasi yang kurang menggembirakan (kalau tidak disebut mengecewakan) dalam ajang persaingan merebut penghargaan Adipura. Sebagaimana kita tahu, penghargaan bergengsi ini diberikan oleh pemerintah pusat kepada kota/kabupaten yang dinilai berhasil dalam pengelolaan lingkungan hidup di wilayahnya. Nah, pada 2008 lalu misalnya, Kota Bekasi terpuruk di urutan ke-14 sebagai kota metropolitan terkotor!
Pada tahun 2009 memang terjadi perbaikan peringkat dimana Kota Bekasi masuk dalam kategori Best Effort karena upaya kerasnya untuk mengubah citra dari kota terkotor yang selama tiga tahun berturut-turut di sandangnya.
Tentu, Pemkot Bekasi tidak puas sampai di situ sehingga pada 2010 ini Pemkot-pun menetapkan target lebih tinggi lagi dalam meraih Adipura. Artinya, Kota Bekasi tidak hanya lepas dari predikat sebagai kota terkotor, tetapi harus menjelma menjadi salah-satu kota metropolitan terbersih di Indonesia.
Tekad ini nampaknya tidak main-main. Segala daya upaya telah dikerahkan untuk mewujudkan ambisi ini. Anggaran sebesar Rp. 4 milyar, misalnya, digelontorkan untuk kegiatan bebenah kota. Aparat Pemda pun dilibatkan untuk bersih-bersih kantornya. Bahkan tersiar kabar bahwa sebagai shock therapy, Pak Walikota akan “menganugerahkan” Medali Tengkorak kepada para camat yang dinilai kurang berprestasi dalam mendukung perbaikan citra Kota Bekasi.
Upaya keras Pemkot Bekasi ini sepatutnya kita dukung. Kota Bekasi yang bersih, indah, tertib dan nyaman adalah idaman setiap warga yang mencintai kota ini. Kita berharap citra Kota Bekasi seperti ini bisa terjaga sepanjang masa. Artinya, ada atau tidak ada Adipura, kota Bekasi harus tetap terjaga kebersihan, keindahan, ketertiban dan kenyamanannya. Karena itu, mempertahankan citra kota seperti ini sama penting dan sama sulitnya dengan meraih piala Adipura itu sendiri.
Harapan itu bisa terwujud jika upaya keras Pemkot Bekasi didukung oleh seluruh warga kota tanpa kecuali. Namun, saat ini terkesan bahwa tekad meraih Adipura hanyalah ambisi Pemkot belaka sementara warganya sendiri terkesan kurang peduli. Jika itu yang terjadi, maka sulit diharapkan bahwa terangkatnya citra Kota Bekasi sebagai kota yang layak mendapatkan penghargaan Adipura bisa tetap terjaga.
Karena itu, partisipasi seluruh kalangan warga dalam perbaikan citra Kota Bekasi tercinta ini menjadi sangat urgen. Termasuk diantaranya kalangan warga yang selama ini sering dianggap sebagai biang kesemrawutan kota itu sendiri, yaitu kalangan pedagang kaki lima (PKL). Sayangnya, ambisi Pemkot Bekasi saat ini dalam memperbaiki citra kotanya justru masih menyisakan kisah duka. Soalnya, ambisi besar ini harus ditebus oleh pengorbanan ribuan anggota masyarakat yang terpaksa harus kehilangan matapencahariannya. Mereka umumnya adalah para PKL dan asongan yang selama ini sering dianggap biang kesemrawutan kota.
Keberadaan PKL di perkotaan memang dilematis. Di satu sisi, PKL sering dianggap biang kesemrawutan kota karena dalam aktivitas usahanya mereka kerap memanfaatkan ruang-ruang publik seperti trotoar, jalan, taman dan ruang terbuka hijau (RTH) sehingga fungsi dari ruang-ruang publik tersebut menyimpang dari peruntukkannya. Namun, di sisi lain, usaha kakilima ini juga tempat menggantungkan hidup ribuan orang.. Menggusur usaha mereka demi perbaikan citra kota tanpa alternatif solusi yang memadai sama saja dengan mematikan sumber penghidupannya.
Masalahnya, “Bisakah upaya penataan lingkungan sebuah kota tidak berbenturan dengan keberadaan PKL yang notabene merupakan alternatif mata pencaharian bagi sebagian warganya?” Fakta yang terjadi di banyak kota umumnya adalah tidak terhindarkannya benturan kepentingan tersebut karena pendekatan yang ditempuh oleh Pemkot setempat pada umumnya adalah pendekatan represif dengan cara menggusur mereka tanpa alternatif solusi yang jelas. Akibatnya, ketegangan sosial pun timbul akibat dari pendekatan yang terkesan kurang manusiawi tersebut.
Meskipun demikian, di tengah-tengah pola pendekatan yang cenderung represif tersebut, beberapa Pemkot telah menempuh pendekatan yang lebih manusiawi. Pemkot Solo, misalnya, berhasil menata kotanya tanpa harus mematikan perekonomian sebagian warganya yang tergantung pada usaha kakilima. Caranya adalah dengan merelokasi para PKL tersebut dan menatanya di beberapa lokasi baru sehingga dapat menjadi tempat tujuan wisata alternatif. Berbagai kemudahan pun diberikan kepada para PKL yang direlokasi tersebut mulai dari pemberian uang subsidi kepindahan tiga bulan pertama sampai pengaturan jalur transportasi sehingga semua angkutan bisa melalui lokasi wisata belanja kakilima tersebut.
Beberapa Pemkot lainnya, antara lain: Pemkot Yogyakarta, Kediri dan Semarang juga telah mulai menempuh pendekatan serupa. Pendekatan tersebut intinya adalah pendekatan win-win solution. Penataan lingkungan kota memang mutlak harus dilakukan karena itu bagian dari perbaikan kualitas hidup warga kota itu sendiri. Meskipun demikian, keberadaan usaha kakilima sebagai ladang usaha tempat menggantungkan hidup sebagian warganya adalah realitas lainnya yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bagaimana dengan Kota Bekasi? Kita yakin bahwa Pemkot Bekasi sebenarnya tidak berniat mengabaikan keberadaan usaha kakilima dalam upaya penataan lingkungan kotanya. Masalahnya, cara pandang atau mindset yang ada di kalangan birokrasi Pemkot Bekasi mungkin masih mindset lama, yaitu bahwa PKL merupakan sumber utama kesemrawutan kota sehingga tidak ada cara lain untuk mengatasi kesemrawutan tersebut selain harus menggusurnya.
Karena itu, langkah pertama dalam upaya penataan lingkungan kota Bekasi tercinta ini melalui pendekatan yang lebih manusiawi adalah dengan mengubah mindset para birokrat kota itu sendiri. Jika sebelumnya PKL sering dianggap sebagai sumber permasalahan, sekarang sudah selayaknya mereka juga dianggap sebagai bagian dari aset kota. Setelah mindset itu berhasil diubah selanjutnya perlu dirumuskan strategi operasionalnya. Ada beberapa alternatif strategi yang dapat ditempuh untuk mengakomodasikan keberadaan PKL ini, antara lain:
• Relokasi PKL ke lokasi-lokasi baru yang nantinya bisa dikembangkan sebagai lokasi wisata belanja alternatif disertai dengan pemberian berbagai fasilitas kemudahan. Pemikiran tentang perlunya wisata belanja alternatif bagi Kota Bekasi saat ini memang cukup relevan mengingat pembangunan pusat-pusat perbelanjaan megah ala mall saat ini cenderung menampakkan gejala kejenuhan. Hal ini ditandai oleh lengangnya beberapa pusat perbelanjaan yang ada. Dalam hal ini, sangat mungkin warga atau wisatawan yang datang ke Kota Bekasi menginginkan suasana berbelanja yang berbeda dibanding yang dirasakan selama ini. Jika ditata dengan baik, PKL berpeluang dikembangkan menjadi wisata belanja alternatif tersebut.
• Izin terbatas pemanfaatan ruang-ruang publik oleh kalangan PKL pada waktu-waktu tertentu (misalnya hari Minggu atau hari libur) dimana PKL diizinkan berjualan tapi dengan persyaratan yang ketat bagi mereka untuk menjaga kebersihan, keindahan dan ketertiban lokasi tersebut.
• Pengintegrasian PKL di pusat-pusat perbelanjaan resmi (misalnya mall). Pastinya dengan disertai persyaratan-persyaratan tertentu pula.
Disadari atau tidak, penataan para pedagang tanaman hias di Kota Bekasi pada beberapa titik tertentu di sepanjang tepian Sungai Kalimalang sebenarnya dapat dijadikan contoh bahwa menciptakan keindahan kota tidak harus identik dengan penggusuran. Aneka tanaman hias yang dijajakan para pedagang tersebut justru turut mempercantik panorama lingkungan sekitarnya. Mungkin, PKL yang dicontohkan di sini adalah PKL tanaman hias yang komoditasnya memang indah dipandang mata. Bagaimana dengan PKL lainnya seperti PKL makanan, pakaian dan komoditas lainnya? Menata PKL jenis ini mungkin lebih sulit, tapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Yang dibutuhkan adalah kreativitas dalam seni menata PKL itu sendiri sehingga keberadaan mereka dapat menciptakan suasana kota yang lebih semarak.
Pendekatan persuasif seperti yang disarankan di atas memang lebih sulit dibanding pendekatan represif yang selama ini ditempuh. Namun, dalam jangka panjang hasilnya tentu akan lebih baik bagi pengembangan Kota Bekasi itu sendiri karena benturan kepentingan seperti yang kerap terjadi selama ini dapat diminimalisir. Yang jelas, pendekatan persuasif dapat mendorong tumbuhnya kepatuhan sukarela di kalangan PKL dalam ikut serta memelihara kebersihan dan keindahan kota, bukannya kepatuhan semu dimana mereka hanya patuh selama ada pengawasan dari aparat tramtib.
Jika ini berhasil, kota Bekasi mungkin nanti akan tercatat sebagai satu diantara sedikit kota yang mampu memelopori pendekatan yang lebih manusiawi dalam menata lingkungan kotanya. Image bahwa mewujudkan kota yang bersih, indah dan nyaman harus berarti menggusur orang-orang kecil yang menggantungkan hidupnya pada usaha kakilima dapat pupus dengan sendirinya. Kota Bekasi yang bersih, hijau, indah sekaligus manusiawi itulah citra Kota Bekasi di masa depan yang selayaknya kita wujudkan!
ooo000ooo
Bekasi, 25 Januari 2010
