Dasi
Cerita Pendek Friday, November 19th, 2010 213 views
Rafi berjingkat di depan cermin milik Ibu. Berusaha menampakkan bayangan sebatas lehernya saja. Tak perlu lebih. Dia hanya butuh melihat ke arah lehernya saat ini.
Sebuah dasi tergantung di balik kerah seragam sekolah putihnya. Belum terpasang. Kedua tangannya memegang setiap ujung dasi itu. Rafi tampak berpikir keras.
Ibu sedang di rumah sakit saat ini. Kata Bapak, Ibu sedang menunggu adik datang. Nanti juga Ibu akan pulang bersama seorang adik baru. Bapak masih sibuk memanaskan motornya di luar. Tidak ada Mbak Siti, karena dia belum datang sepagi ini.
Dahinya mulai berkerut. Berusaha mengingat langkah-langkah yang diajarkan Ibu padanya tiga hari yang lalu. Sehari sebelum Ibu pergi ke rumah sakit.
“Yang satu harus lebih panjang dari yang lain,” ujarnya sambil menarik ujung dasinya menjadi panjang sebelah.
“Masukkan yang panjang ke belakang yang pendek,” ucapnya lagi.
Rafi berhenti sejenak. Ada yang salah. Kenapa jadinya tidak seperti yang dicontohkan Ibu, ya? Kembali diurainya dasi yang sudah terlilit itu.
“Masukkan yang panjang ke belakang yang pendek dari arah depan yang pendek.” Rafi berhasil mengingat langkah kedua.
Puas. Langkah selanjutnya menanti Rafi.
“Rafi! Cepat sedikit! Kamu bisa kesiangan nanti!” suara Bapak membuyarkan konsentrasinya.
Panik, Rafi bergegas melanjutkan kegiatannya.
“Masukkan yang panjang sekali lagi,” katanya dengan cepat.
Aduh! Lupa. Apa lagi ya? Rafi kembali panik.
“Rafi!” suara Bapak makin tidak sabar.
Air mata mulai merebak di matanya. Rafi tertekan. Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Ditelannya tangis yang hampir keluar itu.
“Putar satu kali, lalu masukkan dari belakang,” katanya dengan bersungguh-sungguh.
Sudah terbentuk! Sepertinya ini sudah benar. Tinggal satu langkah lagi.
“Rafi! Bapak tidak mau panggil lagi, ya! Cepat keluar kamar dan kita berangkat sekarang!” Bapak benar-benar sudah tidak sabar.
Rafi mengatupkan bibirnya dengan rapat. Suara Bapak tidak boleh mengganggunya saat ini. Harus berhasil!
“Tarik yang panjang ke atas sampai rapi,” ujarnya lagi dengan harap-harap cemas.
“Horeee!” teriaknya sambil memandang puas ke arah cermin.
Berhasil! Dasi itu terpasang dengan rapi di leher kerah kemeja sekolahnya. Dan dia melakukannya sendiri. Untuk pertama kalinya.
Dengan bangga Rafi keluar dari kamar sambil membusungkan dadanya. Berusaha menunjukkan kepada Bapak akan prestasinya pagi ini.
“Lama sekali! Hampir Bapak tinggal kamu! Lain kali tidak boleh begitu, ya!” kecam Bapak sambil meraih tas Rafi dan meletakkannya di bagian depan motor.
Rafi masih berdiri di hadapan Bapak. Dadanya masih membusung, walaupun tidak segagah tadi. Hatinya menciut melihat wajah Bapak yang bersungut-sungut. Akhirnya perlahan dadanya mengempes kembali. Lunglai.
“Cepat naik!” Perintah Bapak begitu tegas.
Rafi naik ke atas motor Bapak dengan patuh. Bapak mulai menjalankan motor. Berangkat menuju sekolah. Memboncengi anak kesayangannya yang tengah patah hati.
