Kenangan KKN di Pulau Bangka (3): Budaya Sepintu Sedulang dan Kawin Massal
Pendidikan Thursday, January 20th, 2011 48 views Print Artikel IniLain lubuk lain ikannya, lain daerah lain pula budayanya. Dan Pulau Bangka pun ternyata memiliki budaya yang cukup unik yang tidak saya jumpai di ibukota propinsi Sumsel,Palembang. Bila ada kegiatan acara keagamaan atau nasional, biasanya diadakan acara makan bersama. Mereka menyebutnya “Sepintu Sedulang.” Dulang adalah nampan (talam ) dari bambu.Makan acara ini adalah setiap rumah (pintu) membawa bermacam kanan di atas dulang yang dibawa ke Balai desa. Di sana, makanan itu dibagi (share) dengan tetangga lain. Kita bisa menikmati bermacam-macam makanan di acara ini.
Ketika kami mengadakan KKN, bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan di bulan Agustus.. Sebagai anak KKN, kami diundang untuk ikut makan bersama dan mencipi bermacam makanan yang dibawa penduduk. Penduduk juga cukup menghargai kami dan menawarkan makanan-makanan yang mereka bawa. Dengan sukacita kamipun mencicipi makan dari dulang-dulang yang ada di dekat kami. Ikan ,ayam, sayuran,daging,dll, kami santap dengan rasa gembira. Maklum, di rumah posko kami makanan terbatas…..
Tradisi Sepintu Sedulang sangat menguatkan rasa kebersamaan di antara penduduk. Dengan segala keterbatasan mereka , masih ada kerelaan untuk saling berbagi makanan untuk dinikmati bersama. Saya jadi teringat saat tinggal di kampung, sesaat sebelum perayaan Natal, kami semua makan bersama di siang hari. Bedanya adalah,di kampung makanan dimasak bersama, bukan dibawa dari rumah. Tapi nuansa kebersamaan dan keceriaan hampir sama.
Kawin Massal
Di Bangka bagian selatan, setiap bulan Agustus biasanya menjadi bulan orang naik ke pelaminan. Tak ada penjelasan resmi mengapa di bulan sekitar agustus, hanya mungkin karena pada saat itu banyak orang yang panen lada sehingga punya banyak uang. Terkadang di suatu kampung bisa ada yang menikah 3 orang atau lebih dalam 1 hari dengan jarak rumah yang tidak terlalu jauh. Mereka menyebutnya kawin massal. Biasanya, tanggal pesta pernikahan itu sudah diketahui oleh tetangga dari desa-desa lain. Maka pada hari H pesta, rombongan dari suatu desa akan berangkat beramai-ramai naik bus ke desa yang dituju.
Daya tarik pesta ini adalah karena di setiap pesta ada Musik Dangdut yang digelar malam hari. Dalam satu desa ada 3 group musik yang manggung. Karena jarak rumah para pengantin tidak terlalu jauh, maka suara musik dan lagu yang kita dengar bisa tumpang tindih. Namun semua orang larut dalam kegembiraan keramaian dan hiburan yang jarang ada di desa mereka.
Keramaian ini dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang. Berbagai barang dagangan mulai dari makanan hingga perabot rumah tangga digelar di pinggir jalan. Ratusan orang hilir mudik antara panggung musik dan tempat belanja. Ada yang membeli dan ada pula yang hanya sekedar melihat-lihat. Yang pasti, pesta pernikahan ternyata bisa menjadi pemicu ekonomi kerakyatan. Semakin banyak pesta,semakin larislah jualan para pedagang tersebut.
Bagi anak muda, ini adalah kesempatan untuk mencari pacar dari desa lain. Pemuda-pemudi biasanya sudah bersiap-siap dengan tampilan terbaik agar bisa mendapat pasangan di pesta itu. Ada yang berlanjut, tapi ada juga yang berakhir begitu saja. Rata-rata pemuda-pemudi di sana menikah pada usia dini. Tak jarang pernikahan itupun berakhir dengan cepat karena memang belum cukup matang untuk sebuah pernikahan.
Pulau Bangka memang menyimpan keunikan budaya yang belum tentu ada di tempat lain. Budaya seperti Sepintu Sedulang pantas dilestarikan karena mencerminkan semangat kebersamaan dan kesediaan untuk saling berbagi. Semoga semangat seperti ininbisa juga diterapkan di daerah-daerah lain meskipun dalam wujud yang tidak harus persis sama. Demikian juga tradisi kawin massal patut dijaga agar tetap terpelihara. Bila pemda setempat bisa mengelola budaya Sepintu Sedulang dan Kawin Massal dengan baik, bukan tidak mungkin akan menjadi objek wisata budaya di Pulau Bangka yang dapat menarik kunjungan turis ke sana.
Print Artikel Ini