Aku Bukan Gayus
Cerita Pendek Tuesday, February 8th, 2011 155 views
Sial. Gara-gara Gayus, aku kena batunya. Dia yang korupsi, aku yang kena sanksi. Dia yang senang-senang, aku yang meriang.
Suatu kali Aku pernah bertanya kepada orang tuaku, apakah aku punya hubungan kekeluargaan dengan Gayus. Eh, bukannya jawaban yang diberi, mereka malah tertawa geli.
“Jo, Jo, kowe itu nanyanya kok aneh, Gayus itu kan wong Batak, sedangkan kowe itu Jowo tulen” Kata Bapak cengengesan.
“Tapi kok…”
“Ra usah dipikirke Jo, setiap orang di dunia ini pasti punya kembarannya, meskipun bukan saudara” Sela Emak memotong pertanyaanku.
Kepalaku mengangguk mencoba mengerti, sambil meraba-raba hidungku yang besar.
Akhir-akhir ini, aku lebih banyak berdiam diri di kamar. Memandangi cermin retak yang tergantung di tembok gribik. Mengamati setiap bagian tubuhku, terutama muka yang sejak lahir sudah menjadi bagian diriku. Sebelumnya aku tidak mempermasalahkan dengan bentuk rupaku yang tidak ganteng ini. Aku pasrah meski selalu ditolak sama perempuan yang aku kagumi. Sudah syukur diberi muka sama Tuhan.
Tapi sekarang aku benar-benar kesal.
“Jo, muka kamu itu persis banget Gayus Tambunan yah” kata-kata temanku suatu kali, Rowi, mengiang di kamar pengapku ini.
“Ah, masa sih?” Timpalku ringan saja.
“Iya, bener Jo” Giliran Ridho, temanku yang satu lagi, menambahkan.
“Muka boleh sama, tapi nasib jauuuh…” Rowi terkekeh.
Aku terus memandangi wajah di balik cermin itu. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata Rowi. Memang, agak mirip. Tidak mirip sekali. Mungkin sekilas terlihat akan mirip, tapi jika dipandang terus-menerus, pasti berbeda. Gayus bertubuh gemuk dan gempal, sedangkan aku tidak begitu. Mungkin yang membuat sama adalah bentuk mukanya yang bulat, bibirnya yang meliuk-liuk tebal, dan hidungnya yang besar.
Dua bulan yang lalu aku buru-buru pulang kampung. Menenangkan diri di tempat kelahiranku. Aku merasa teraniaya oleh keadaan. Dengan membawa muka yang seperti Gayus, saat belanja ke pasar membeli kebutuhan berjualan mie ayam, atau sekedar jalan-jalan di Mall, orang-orang di sekitarku atau yang berpapasan denganku selalu mengawasi dan menaruh curiga. Ada yang terkekeh tertahan, melihat rupaku, seperti mengejek. Awalnya aku tidak perduli, tapi lama-kelamaan sangat menggangu juga.
Aku rebahkan badanku di kasur kumal ini. Tidak banyak aktifitas yang kulakukan di kampung, hanya duduk-duduk, kemudian masuk ke kamar, dan melamuni keadaan. Membuat aku jenuh dan lelah. Sampai kapan aku harus berdiam mengurung diri di kamar, seperti buronan. Aku tidak pernah berbuat salah, atau mencuri barang milik orang lain, apalagi yang namanya KORUPSI. Tidak sama sekali.
Aku trauma.
“Apa salah saya Pak?”
“Saudara ikut kami saja!” Bentak laki-laki berbadan tegap berkacamata gelap.
Aku masih ingat betul, kejadian dua bulan yang lalu di terminal bus ketika aku hendak pulang kampung. Mereka menyergapku dengan sangat terampil. Ketiga laki-laki berpakaian rapih itu memasukkan aku ke dalam mobil. Dua orang mengapitku di kursi belakang. Satu orang lagi duduk di depan di samping pak kusir eh supir.
“Saya mau dibawa kemana?” Tanyaku panik.
“Jangan banyak tanya, saudara akan tahu nanti!” Jawab laki-laki di samping kananku tegas. Membuat mulutku tercekat. Aku diam selama perjalanan di dalam mobil bagus ini. Enak juga ya naik mobil cakep, seumur-umur baru kali ini. Lamunanku malah nyeleneh.
Akhirnya aku tahu, aku dibawa ke kantor polisi. Aku yakin ketiga orang gagah ini adalah polisi preman. Otak kuputar ke belakang. Sebelum ini, kesalahan apa yang telah aku perbuat. Satu jam yang lewat, satu hari yang tadi, satu minggu yang lalu. Tidak ada. Tapi kenapa aku ditangkap seperti ini. Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan mu…mu…
“Saudara mau kemana!” Bentak orang yang ada di hadapanku. Setelah baru saja aku didudukkan dalam ruangan ini.
“Mau pulang kampung Pak” Jawabku gemetar. Kursi kayu yang aku duduki seperti ikut bergoyang. Ruangan ini rasanya akan ambruk, menahan degup jantungku yang tak menentu. Tatapan orang-orang di sini tertuju padaku yang tertunduk tak kuat mendongakkan kepala lagi.
“Pulang kampung, apa kabur?”
“Maksud Bapak, kabur gimana?” Aku malah balik bertanya. Sumpah, aku bingung dengan pertanyaan yang dia lontarkan tadi.
“Nama saudara siapa?” Kilah petugas itu dengan pertanyaan yang lain.
“Parjo Pak” Jawabku cepat.
“Dengan sangat terpaksa, saudara harus menginap di sini”
“Tapi Pak, salah saya apa?” Pertanyaanku yang lemah, tak digubris. Aku langsung dimasukkan ke sel tahanan yang sudah ada beberapa orang di sana. Semalaman aku tak bisa tidur. Pikiranku kalut.
Alhamdulillah, hanya semalam itu saja aku berada di ruangan yang mengerikan, karena besok siangnya aku dibebaskan.
“Sebenarnya nama kamu siapa?” Tanya polisi yang kemarin lagi.
“Parjo Pak, dari dulu, nama saya Parjo” Aku berusaha meyakinkan, sambil mengambil dompet. “Ini KTP saya, saya tidak bohong Pak”
Laki-laki berumur sekitar 45 tahunan itu memeriksa KTP yang aku sodorkan tadi.
“Oh, Parjo, mohon maaf mas Parjo” Kata Pak Polisi itu. “Kami mengira kamu buronan koruptor kelas kakap, Gayus. Ternyata Gayus, sudah pulang ke penjara lagi, dia rupanya pergi ke Bali, nonton Tenis. Ah, bikin kerjaan saja itu orang”
Kata Polisi yang bernama Prabowo itu –aku tahu namanya dari tulisan yang ada di bajunya- panjang lebar. Aku diam saja menahan kesal. Kenapa polisi semena-mena menangkap orang yang tidak bersalah seperti aku ini. Padahal kemarin aku sudah bilang, namaku Parjo, bukan Gayus.
“Asal kamu, Brebes ya?” Tanya dia mulai agak cair membuyarkan lamunanku. Senyum sedikit tersungging.
“Kok Bapak bisa tahu asal saya?” Tanyaku takjub dengan pengetahuan Bapak yang bernama sama dengan nama calon presiden dari partai berlambang kepala garuda. Memang sih, yang namanya polisi itu harus pintar, dan banyak pengetahuannya. Mungkin sewaktu pendidikan di kepolisian, diajarkan bagaimana cara mengetahui asal-usul seseorang dari tingkah lakunya atau mungkin dari mukanya.
“Kamu mau pulang ke Brebes ya?”
“Betul Pak, kok, Bapak bisa tahu lagi sih?” Aku semakin takjub. Pak Prabowo bisa tahu aku mau pergi kemana.
“Ya tahu lah, wong, di KTP-mu, tertulis, tempat lahir di Brebes”
“Oo…” Tidak jadi takjub.
Aku langsung meninggalkan tempat menakutkan itu. Kemudian pergi ke terminal, untuk melanjutkan misiku yang tertunda. Pulang kampung.
Sesampainya di kampung pun demikian. Aku dikatakan persis seperti pegawai pajak yang korupsi itu.
“Saya pikir, kowe di Jakarta berubah nama jadi Gayus, Jo” Sindir tetangga rumahku. Aku hanya meringis asam.
“Wis toh le, ora susah dipikirke” Emak merasa tidak tega, melihat anak satu-satunya sering melamun akhir-akhir ini. “Yen, kita ndak salah, kenapa harus takut atau malu, percuma”
“Sudahlah, daripada kamu bengong terus di sini, mending kamu ke Jakarta lagi, cari uang yang banyak” Perintah Bapak.
“Aku wedi Pake, takut ke Jakarta lagi…” Aku memelas.
“Ndak ada yang musti ditakuti, kecuali Allah Ta’ala” Bapak menasehati.” Bismillah, Insya Allah kejadiaan yang lalu ada hikmahnya buat kamu sendiri”
Aku mengikuti perintah Emak Bapakku, berangkat ke Jakarta berjualan mie ayam keliling seperti biasa. Sesampainya di Jakarta, aku masih belum berani keluar kamar kontrakan. Takut dan malu. Apalagi kalau melihat televisi, muka Gayus selalu saja nongol di berita. Setiap melihat wajah Gayus, jantungku berdebar. Memang mirip sih.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku bukan Gayus. Meski mirip tapi aku berbeda dengan dia, apalagi hubungan kekerabatan, tidak ada sama sekali. Aku takut mencuri sedangkan dia bangga korupsi. Aku du’afa sedangkan dia kaya raya. Aku tak laku-laku sedangkan istri dia sangat ayu.
“Jo! Parjo!” Suara yang aku kenal memanggilku, membuyarkan hening ciptaku. Ya, dia Rowi, teman dan tetangga kontrakan.
“Masuk saja Wi, enggak dikunci pintunya” Jawabku malas
Aku kaget, karena Rowi tidak sendirian. Dua orang berada di belakangnya sambil membawa mic, yang satunya lagi membawa kamera. Aku langsung bangkit.
“Si - si..” Aku tergagap.
“Kami wartawan televisi mas” Potong laki-laki yang membawa mic seakan dia mengerti apa yang akan aku katakan.
“Salah saya apa mas?” Tanya saya trauma.
“Anda benar-benar mirip sekali dengan Gayus” Katanya sambil memandangi mukaku tak berkedip, aku jadi keki. “Eh, tapi anda memang bukan Gayus kan?”
“Nama saya Parjo. Sama sekali bukan Gayus. Dan saya tidak suka jika ada orang yang menyamakan saya dengan Gayus” Jawabku kesal.
“Mohon maaf, kalau begitu” Sesal wartawan itu. “Begini, maksud kedatangan kami ke sini, ingin memastikan kabar bahwa ada orang yang benar-benar mirip tokoh yang sedang naik daun, Gayus.
“…” Aku melongo.
“Kami tidak bermaksud menyamakan anda dengan dia, apalagi menganggap anda koruptor. Kami hendak meliput sisi lain yang unik yang bisa dikaitkan dengan informasi yang sedang disenangi penonton. Pasti semua mata akan tercengang melihat muka anda di televisi” katanya lagi panjang lebar.
“….” Aku masih tak mengerti.
“Apakah anda tertarik?” Tawarnya.
“Maksudnya apa?” Tanyaku polos, tak tahu apa yang dia sampaikan.
“Emmm….” Dia berfikir keras agak lama. Orang yang memegang kamera seperti membisiki sesuatu. “Oke, begini saja, mas…mas…”
“Parjo”
“Iya, mas Parjo. Mas Parjo mau masuk TV nggak? Jadi artis?”
“Mau” Aku sudah keceplosan. Seharusnya aku pura-pura berfikir dulu.
Wartawan itu tersenyum. Mungkin dalam hatinya berkata, yang beginian aja langsung paham. Dasar orang udik.
“Tapi aku bukan Gayus lho” Aku menegaskan.
“Tenang mas Parjo, serahkan pada kami, kami jamin mas Parjo jadi terkenal sebagai Parjo si muka mirip Gayus”
“Oia, kita belum kenalan, nama saya Rudi” Aku menyalami pemuda yang bernama Rudi, yang sedari tadi terus nyerocos. Kemudian menyalami pemuda yang memegang kamera, Akbar namanya.
Sejak saat itu aku mulai berhubungan dengan dunia pertelevisian. Mula-mula aku canggung, dengan beberapa kamera yang mencucur mukaku. Tapi lama-lama, aku bisa beradaptasi, bahkan mulai ketagihan berada di panggung atau studio. Benar kata Rudi, aku jadi terkenal dalam sekejap. Apalagi kasus Gayus semakin ramai saja diberitakan. Aku sering diajak beberapa acara stasiun tv, seperti acara berita, infotainment, parodi, dan lawakan.
Honor yang aku terima dari beberapa stasiun tv sangat banyak untuk ukuran tukang mie ayam keliling. Aku kumpulkan uangnya untuk mengontrak kios kedai mie ayam, yang sudah aku impikan sejak lama. Oleh karena berkah Gayus, maka kedainya, aku beri nama “Mie Ayam Gayus”. Orang-orang justru penasaran ingin makan di kedaiku. Dan pastinya ingin melihat mukaku yang sudah sering muncul di tv. Bahkan tidak jarang yang ingin foto-foto denganku. Maklum sekarang aku sudah jadi selebritis.
Aku teringat dengan kata-kata Bapak saat di kampung. Semua ini pasti ada hikmahnya. Jangan takut menjalani hidup selama kita tidak berbuat salah. Boleh jadi, kesempitan akan berubah jadi kesempatan, karena setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan.
Terima kasih Gayus.
-cerpen ini dimuat di penulismuda.com-

Gayus memang Jayus…
Cerpen yang bagus dan disampaikan dengan bahasa yg ringan… Tapi, apa mungkin Parjo adalah kembaran Gayus yang hilang seperti cerita di sinetron-snetron?
[Reply]