Merapi Marwan
Cerita Pendek Sunday, October 31st, 2010 459 views Print Artikel IniAli Reza
Baru kali ini kutahu orang yang senang baca begitu bodohnya. Orang itu temanku, si Marlan. Marlan membaca buku sepanjang hari bahkan mungkin kebakaran tidak akan bisa menghentikannya membaca. Ia satu-satunya pembaca teraktif di kampung kami seperti gunung besar yang berdiri tegak di belakang rumah. Ia berhenti membaca menjelang ashar lalu melanjutkan kegiatannya menonton dari TV lipatnya. Kecanduan menonton di TV lipatnya hampir sama dengan membaca buku. Ia melakukannya keduanya sejak tiga bulan lalu demi setumpuk kertas.
Aku terkadang seperti Marlan di waktu normal, membaca atau menonton TV. Tapi aku tidak punya TV lipat. Di waktu-waktu itu aku memiliki kesempatan bicara dengan Marlan yang datang menemuiku. Ia bercerita banyak sebanyak aku bercerita, sesekali aku memahaminya.
Gunung di belakang rumah sedang menyusun kekuatan sejak lama, aku lebih jelas melihatnya dari TV karena dengan teropong kamera semunya tampak lebih dekat; wedhus gembel, batu-batu besar berjatuhan hingga orang-orang di sisi lain gunung yang ketakutan. Gunung Merapi lebih berarti mistis bagiku akibat dari cerita yang kudengar dari radio semasa kecil.
Hingga suatu waktu Merapi meletus di 26 Oktober 2010.
Tidak ada yang lebih kukhawatirkan kecuali Marlan, si pembaca bodoh. Semua orang mengungsi, berlari ke sana kemari menyelamatkan diri, tapi Marlan hanya berdiam diri membaca buku yang sama sekali tidak kupahami.
Sore itu lebih gelap dari sore-sore biasanya. Angin berhembus kencang datang dari getaran gunung merapi. Aku bergegas ke rumahnya, menggedor-gedor pintunya seperti orang panik (jika keadaan berbeda, mereka mungkin mengatakan aku gila). Bisa kulihat dari jendela ia mengenakan kemeja biru, di kepalanya masih ada peci. Ia selalu memakai peci.
“Merapi meletus, … Merapi meledak!” aku berteriak berulang-ulang
Aku sama sekali tidak mendengar jawaban dari Marlan. Kuintip lagi dari celah jendela, tapi ia tidak ada lagi di sana. Aku menggedor lebih keras namun tidak berniat untuk mendobraknya.
Udara semakin panas, wartawan TV bilang kalau wedhus gembel bisa dengan mudah menghanguskan semua orang. Aku mulai berkeringat dan tidak sabar.
Tiba-tiba seseorang mencengkram lenganku, menarikku pergi dari tempat itu. Semakin lama cengkraman tangan itu semakin kuat menjauhkanku dari rumah Marlan hingga menyeretku ke jalanan berbatu. Aku melihat wajah ayahku. Tangan itu milik ayahku. Ayahku memiliki tangan yang kuat karena ia seorang kolonel di masanya, sehingga tidak terlalu sulit menarikku sampai di rumah. Ayah duduk di hadapanku tanpa rasa bersalah tanpa rasa takut menghadapi situasi ini. Air menetes dari dua matanya ketika melihatku. Mungkinkah ini akhir dari hidup kami?
Di waktu normal di pagi hari, aku biasa membuka jendela dan menatap gunung di belakang rumah. Burung-burung kecil berlompatan dari dahan satu ke ranting yang lain, mataku mengikuti mereka pergi. Matahari masuk kedalam kamar menghangatkan seisi ruangan. Di jam delapan Marlan datang menanyakan kabarku lalu kami membicarakan hal-hal yang hanya dipahaminya.
Marlan dan aku berteman sejak kami kecil. Lima tahun lalu ia pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studinya dan sejak tiga bulan lalu ia kembali untuk skripsinya. Ia memilih menyelesaikannya di rumahnya sendiri, di kampung halamannya yang damai, Garut, tempat kami di kaki gunung Papandayan.
Print Artikel Ini