Tahun-Tahun yang Hilang
Fiksi Tuesday, July 27th, 2010 302 views Print Artikel IniOleh Ali Reza
Tampaknya kedatangan Ina tadi malam mengejutkan Adi mengingat Adi tidak pernah mengunjunginya sejak tujuh tahun lalu. Ina datang bersama nenek dan putranya menjelang subuh, membangunkan seisi rumah kecuali Adi yang hanya mendengar percakapan dalam bahasa Jawa dari dalam kamarnya. Adi menangkap satu pertanyaan Ina dalam bahasa Indonesia sebagai pertanda sepupunya itu tidak melupakannya. “Sekarang Adi kuliah dimana?”
Adi dan Ina tumbuh bersama selama beberapa tahun di Solo, usia Ina tiga tahun lebih tua dari Adi. Kedua orang tua Ina meninggal karena kecelakaan di usia Ina yang keenam, dan sejak saat itu neneknya yang menjadi pengasuhnya dan memanggil nenek dengan sebutan ibu. Adi pindah ke Jakarta di usia dua belas, dua kali dalam setahun mengunjungi neneknya dan Ina. Ina menikah di usia delapan belas dengan kenalan neneknya yang merasa kehadiran suami akan sangat berarti bagi Ina.
Di pagi hari yang cerah Adi merasa canggung bertemu Ina dan sekedar membuka percakapan. Begitupun Ina yang lebih memilih menunggu Adi bicara.
“Siapa namanya, mbak?” Adi memulai percakapan
“Alif”
“Berapa usianya?”
“Tiga tahun”
Adi sebenarnya mempunyai kegiatan melimpah di hari minggu jika tidak ada relasi atau kelurga yang datang. Tapi pagi itu dia harus menemani Ina karena ibu dan ayahnya menemani sang nenek. Pada saat sarapan tadi ibunya berpesan padanya untuk mengajak Ina dan anaknya keliling stadion dekat rumah. “Ramai di sana” ibunya berkata pada Ina. “Banyak tempat main. Alif pasti suka.” Mata Ina menyiratkan keinginan jalan-jalan bersama sepupunya seperti tahun-tahun dulu.
Adi mengganti pakaiannya dengan kaos Manchester United dan memakai topi warna merah. Ina memakai pakaian bermotif bunga-bunga dan terlihat seperti penampilan perempuan-perempuan sepuluh tahun lalu yang sepertinya menjadi masalah bagi Adi mengingat selama ini bergaul dengan teman-teman kampusnya yang modis. Tapi ia mencoba mengesampingkan masalah itu dan fokus pada kedekatannya kembali dengan sepupunya. Ibu dan neneknya melihatnya dari belakang ketika mereka mulai meninggalkan rumah, sama-sama memikirkan mengapa Adi tidak lama datang ke Solo. Mungkin kebersamaan mereka bisa menggantikan tahun-tahun yang hilang, kata ibunya.
Di perjalanan Ina bicara tentang alasan perceraiannya di bulan Maret. Ia bilang suaminya tidak menafkahinya beberapa bulan dan selingkuh dengan teman kerjanya. Terlalu menyakitkan, katanya. Di tengah-tengah mereka, Alif sibuk dengan kuenya yang baru saja di beli, sisa-sisa kue yang menempel di mulutnya membuat mereka berhenti untuk membersihkannya. Ina sama sekali tidak berubah, begitu Adi menilai Ina, selalu terlihat lebih dewasa dari penampilannya dan bertanggung jawab.
Jarak stadion tidak telalu jauh, keramaiannya sudah nampak dari jalan menuju ke sana; Orang-orang jogging dan bersepeda, para pedagang yang kesiangan dan kemacetan menjelang pintu masuk. Adi menggandeng tangan Alif bergantian dengan Ina yang sedikit tertinggal di belakang. Tubuh anak itu begitu kecil, berbeda dengan anak sepupu lainnya yang seusia Alif.
Matahari mulai meninggi seiring datangnya terik. Tapi pohon-pohon yang menaungi jalan begitu rindang meski satu-satunya masalah adalah asap knalpot dan suara nyaring sepeda motor. Ina menyusulnya dan membetulkan topi anaknya yang hampir lepas.
“Untungnya Alif gak rewel dan selalu nurut” Ina menjelaskan. Pasti sulit baginya membesarkan anak dengan suami yang tidak bertanggung jawab, Adi berpikir. Tapi keraguannya terjawab dengan kata-kata Ina yang tidak berisi keluhan.
Dulu Ina suka bicara. Sesuatu yang sering dibicarakan Ina ketika masih kecil adalah cita-citanya menjadi seorang dosen. Adi bahkan tidak tahu apa itu dosen kala itu. Di tahun-tahun itu Ina menceritakan dengan detail apa yang menjadi impiannya kini menjadi kenyataan dalam diri Adi. Ina bangga melihat Adi menjadi mahasiswa dan memiliki buku yang banyak. Kini, dia mempunyai kesempatan bertanya tentang kampus pada sepupunya.
“Kita jalan ke sana” kata Adi, menunjuk pada belokan tempat ramai penjual makanan
Ina menggendong Alif. Alif terlihat senang berada diantara wahana dan ingin menaikinya. Ina membelikannya satu balon berbentuk gajah.
Mereka berjalan memutari stadion yang padat dan menepi saat menemukan tukang es krim. Adi membelikan es krim untuk Ina dan Anaknya. Alif menikmati es krimnnya, balonnya dipegang dengan tangan kirinya. Di setengah putaran, jalan semakin padat oleh mereka yang ingin melihat-lihat dan belanja. Adi memutuskan agar mereka berputar arah dan kembali ke lapangan. Di sana mereka bisa duduk-duduk sambil melihat keramaian.
Alif menjatuhkan es krimnya dan mengotori pakaian ibunya. Dia menatap es krimnya yang tumpah. Ina hanya tersenyum, dia tidak pernah marah pada anaknya. Sebagai gantinya ia memberikan es krimnya pada anaknya. Dia meminta Adi untuk menggendongnya sementara ia membersihkan pakaiannya. Adi menerimanya dengan sigap dan menggendongnya di sisi sebelah kanan. Alif memiliki mata yang mirip dengan Ina, tidak banyak bicara dan jika bicara akan terdengar logat jawanya.
Tahun-tahun yang hilang seakan terbayar hari itu, jalan bersama sepupunya tidak sekikuk yang ia bayangkan. Tidak ada lagi perasaan ingin menjauh ataupun cinta yang tersisa. Ina yang berada di sampingnya terpaksa lebih mendekatkan diri karena kepadatan orang-orang di sana, tangannya sesekali memegang tangan Adi. Adi, di mata perempuan itu, tumbuh sebagai pemuda yang cerdas, lebih cerdas dari dirinya yang dulu pernah mengajarinya pelajaran sekolah dan ia gembira melihat Adi sudah mengenal anaknya meski ada harapan kecil Adi akan menjadi ayah Alif suatu saat nanti.
Bekasi, 24 Mei 2010
Print Artikel Ini