Jangan Bertanya Bagaimana Bahasanya Terpapar
Fiksi Sunday, August 22nd, 2010 343 views Print Artikel IniJangan bertanya bagaimana bahasanya terpapar karena banyak yang luput, meskipun aku duduk di sofa empuk yang kulitnya sudah bolong-bolong dan busanya serintilan keluar. Aku paku penglihatan pada kolam ikan, pada daun-daun hijau, kuning, coklat, kering, pada kucuran air keran yang suaranya krucuk..krucuk..krucuk.
Batu itu sudah begitu posisinya sejak lama dan tetap begitu karena ia berat dan semua orang segan memindahkannya. Batu itu semedi di pinggiran kolam dan menjadi habitat sendiri buat apa-apa yang mau hidup di tubuhnya. Saat air hujan rajin mengguyur tak pernah aku hiraukan perubahan batu. Warnanya dan permukaannya. Saat ada orang yang berbisik, “air hujan tanda kehidupan”, aku pantek kali ini seluruh perhatian. Memang aku lihat tumbuhan yang memagar itu daunnya meninggi berantakan, lalu rumput-rumput jadi liar, bunga-bunga rontok karena kebanyakan air, ikan-ikan menggemuk karena banyak binatang-binatang kecil di kolam. Ku lihat batu kering yang sekarang menghijau. Aah…lumut cuma lumut. Seperti di tembok-tembok lembab, ada lumut.
Yang membisiki aku pergi. Mungkin tak suka aku meremehkan penemuannya tentang air hujan tanda kehidupan. Aku panggil ia dan bertanya, “memang apa yang mau kau tunjukkan?”. Ia duduk sebentar lalu pergi lagi. Mulutnya bergumam, “ya itu tadi yang tidak kelihatan oleh matamu. Yang kelihatan tapi tak kau lihat.” Tidak kembali.
Aku turun dari sofa dan jongkok di depan batu. Aku sembah, tampaknya. Aku nungging meneliti apa-apa yang bisa dilihat oleh mataku tapi tidak aku lihat. Aku sentuh dengan inderaku, ku raba, dan batu yang tadinya keras itu melunak permukaannya, berbulu empuk dan agak basah. Iya ini lumut. Lalu apa?
Ku tinggalkan teras. Ku tinggalkan kolam ikan. Dan kakiku tersangkut pot bambu Jepang. Daun-daun kuningnya rontok tergantikan oleh daun-daun segar baru, hijau dan lebat. Ku sapu daun kuning berantakan. Ku kumpulkan di pojokan. Aku masuk kamar.
Mati. Mati rasa. Pagi ini matahari mengguyur tanah lembab bekas hujan semalam. Kucing-kucing bangunnya lebih pagi dari aku. Sekarang mereka menempati ruang-ruang di tengah jalan atau di atas genteng, di atas pagar. Kucing mandi, menjilat tubuhnya dan berjemur sambil garuk-garuk.
Aku garuk-garuk dan duduk di bangku kecil yang sengaja aku bawa keluar. Berjemur seperti kucing. Tapi aku pakai kaca mata hitam. Aku mau menikmati matahari, bukan hanya panasnya, tapi parasnya. Matahari bakar tubuhku, bakar lensa hitamku. Keringat dan kacaku retak.
Orang yang kemarin datang. Masih berbisik sinis, “apa yang kau lihat?” “Matahari,” jawabku. Dahinya yang berkerut keheranan seakan-akan menderaku dengan pertanyaan, “hanya itu?” Masih dengan kaca mata hitam ku tatap matahari segar yang melumatkan lemak-lemak di perutku. “Benarkah itu matahari yang kau lihat?” Jawabku, iya. “Itu matahari 8 menit yang lalu, kau tahu?” Di balik punggungnya yang kecil, bayang-bayang kurusnya menjatuhi aku. Dengan prihatin ia bilang, “Sekarang mataharinya ada di situ,” sambil jarinya menunjuk satu sudut di kiri matahari 8 menit yang lalu.
Orang gila, pikirku. Dia pernah bilang ada asbak di meja, padahal tidak ada apa-apa di atasnya. Begitu manusia, katanya, tidak percaya sampai benar ada asbak di atasnya. Dia ambil asbak dan diletakkannya di meja. “Itu asbak,” katanya. “Iya, memang itu asbak. Lalu apa?” Senyum simpulnya masih ada. Masih sabar ia. Matanya yang menatapku kasihan memaksaku untuk menyimpulkan tentang asbak. Iya, tentang asbak.
Sekarang ia tunjuk-tunjuk langit kosong sambil omong kosong tentang matahari. Aku bilang padanya, “Sekarang tidak ada matahari di situ. Tapi tetaplah di situ 8 menit lagi. Nanti aku baru percaya ada matahari di situ.” Pergi orang itu karena kecewa.
Print Artikel Ini