ARSITEKTUR PEMBANGUNAN BEKASI UTARA (2): ORIENTASI PEMBANGUNAN BERBASIS MARITIM
Artikel Sunday, October 25th, 2009 992 views
Orientasi pembangunan Kabupaten Bekasi yang saat ini tidak melirik potensi kelautan dan sumber daya pesisir. Padahal, potensi laut dan garis pantainya luar biasa besar. Tercatat 71 mil bibir pantai mengular dari perbatasan Jakarta-Bekasi di Marunda hingga perbatasan Karawang. Coba hitung, bila zone kekuasaan itu 21 mil ke tengah maka kita punya 71 mil x 21 mil = 1.491 mil. Nah, kalau 1 ml = 1,6 km maka kita punya 2.385,6 km. Eh, itungan ini salah! Itu hitungan bila perbatasan laut kita Negara lain. Nah, kalau perbatasan kita adalah laut Jawa dan Kalimantan. So, asal kuat aza. Kapal nelayan kita bisa masuk laut lepas dan nangkep Hiu dan Paus…..
Jujur saya, selama ini Pemda Kabupaten Bekasi seakan menutup telinga dan mata terhadap potensi laut ini. Pembangunan berbasis potensi sumber daya ruang pesisir seolah dikesampingkan. Entah mengapa. Mungkin karena kantor Pemdanya yang jauh dari pinggir laut. Apa yang Anda lihat, itulah yang diperhatikan.
Padahal catatan sejarah berbicara dengan keras bahwa berabad-abad lamanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan peradaban yang berada di wilayah Nusantara ini memiliki kekuatan ekonomi dan politiknya dengan berbasis pada sumberdaya kelautan.
Dalam konteks nasional, baru di era reformasilah kesadaran untuk menjadikan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan merupakan arus utama pembangunan nasional kita. Ini tercermin dari keputusan politik bangsa sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999. Keputusan itu kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Untuk kasus Bekasi, sayangnya bidang Dinas Teknis Bidang Kelautan dan Perikanan baru setahun terakhir ada.
Ada sejumlah alasan mengapa kita harus melirik pembangunan berbasis Kelautan.
Pertama, Bekasi itu merupakan negara maritim. Pasti banyak yang kaget. Karena kebanyakan dari kita berasal dari daratan. Tapi muter-muterlah di wilayah Bekasi. Niscaya kita akan menyadari bila jumlah sungai cukup banyak. Mulai dari kali Bekasi, Kali Cikarang, Kali Citarum hingga anak-anak sungai. Banyak. Ini kan pertanda bahwa Bekasi dulu menjadikan akses sungai atau transportasi air menjadi alternatif utama. Lalu, kemana air atau sungai mengalir? Tentu laut. Data ini diperkuat dengan sejumlah penemuan situs bersejarah di daerah Buni Bakti, Babelan. Lokasinya kira-kira 5 km dari pinggir laut. Dengan akses sungai memungkinkan peradaban manusia tercipta di wilayah ini.
Memori sejarah ini mestinya membawa orientasi arah dan pola pembangunan yang juga memikirkan lut dan potensi pesisir. Sayangnya itu semua masih dalam khayalan.
Secara nasional, banyak daerah-daerah di dalamnya kaya akan sumber daya laut dan pesisir. Selain memiliki keanekaragaman hayati biodiversity laut terbesar di dunia, wilayah pesisir dan lautan di Indonesia juga kaya akan bahan tambang dan mineral seperti minyak dan gas, bijih besi, bauksit, dan pasir kwarsa. Semua kekayaan itu merupakan aset bagi daerah yang mempunyai keunggulan komparatif. Di Babelan darat, ditemukan sejumlah ladang minyak. Tidak tertutup kemungkinan ‘danau minyak’ di perut bumi menjalar ke bawah laut.
Kedua, kenyataan terus meningkatnya jumlah penduduk, sementara pembangunan hanya terfokus di daratan. Kita seperti berebut kue kecil. Padahal kalau pembangunan di sebar, tak hanya daratan. Barangkali kondisinya akan berbeda. Lihat saja, sekarang terjadi pertikaian masyarakat berebut limbah sisa produksi di wilayah kawasan industry seperti Lippo, Jababeka atau MM2100. Belum lagi perebutan lowongan kerja dan pembangunan.
Ketiga, semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yang disertai pula dengan semakin meningkatnya kesadaran umat manusia akan signifikansi produk-produk kelautan dan perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan manusia. Dengan demikian, produk-produk kelautan dan perikanan akan menjadi primadona di masa depan. Kita bosan dengan makanan-makanan kaleng dan buatan. Maka, kita bisa beralih dengan makanan-makanan segar dari nelayan dan petani kita. Persoalannya adalah infrastruktur dari daerah pesisir tidak terbangun. Sehingga, biaya transportasinya jadi muaaahaal. Akibatnya, berpulang kepada kita sebagai konsumen. Harga cumi Rp. 25 ribu per kilo. Bandingkan dengan ikan lele/emas yang hanya Rp. 14 ribu per kilo. Harga itu dikarenakan biaya transportasi yang membengkak.
Keempat, di masa mendatang dalam rangka industrialisasi, kawasan pesisir dan laut akan mendapatkan prioritas utama mengingat pesisir dan laut tidak saja menyediakan sumber daya alam yang demikian kaya dan beragam, tetapi juga merupakan potensi tersendiri bagi pengembangan pembangunan yang non-ekstraktif; seperti pengembangan kawasan rekreasi dan pariwisata. Saat ini saja, berbondong-bondong orang datang ke wilayah itu untuk memancing. Wuih…seandainya saja ini diperhatikan maka bisa jadi akan menjadi sumber alternatif pemasukan di bidang pariwisata. Otomatis kemudian akan mendorong industri kreatif baik kerajinan maupun karya seni akan turut hidup dan berkembang.
Sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya yang senantiasa dapat diperbarui renewable resources sehingga mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Di samping itu industri yang berbasis sumberdaya kelautan memiliki keterkaitan backward and forward linkage yang sangat kuat dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya, sehingga mengembangkan industri berbasis kelautan berarti juga menghidupkan dan mendorong aktivitas ekonomi di sektor lainnya. Ini termasuk usaha transportasi, komunikasi, perdagangan, pengolahan, dan jasa-jasa lainnya.
Selain itu dari aspek politik dengan kondisi geopolitis sebagaimana disebutkan maka bila stabilitas politik dalam negeri dan luar negeri dapat tercapai bila kita memiliki jaminan keamanan dan pertahanan dalam menjaga wilayah kedaulatan perairan kita. Demikian pula dari sisi sosial dan budaya, sebenarnya menjadikan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan sebagai arus utama pembangunan bangsa merupakan penemuan kembali reinventing aspek kehidupan yang pernah secara dominan ada dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa.
Terakhir, potensi harta karun. Menurut Slamet Subiyanto, mantan KASAL yang mendeklarasikan diri sebagai capres dari jalur independen. Saat ini ada 400 titik kapal karam di seluruh Nusantara. Informasi ini mengingatkan kita akan kapal Livina yang terbakar dan tenggelam di perairan Muara Gembong. Bukan soal di situ tidak ada emas batangan. Namun, bila kita kelola dengan serius besi rongsokan saja bisa dijual. Bisa jadi di tempat-tempat lain, ada kapal perompak yang tenggelam dan di situ terdapat puluhan batang emas. Nah, bila terbukti kemudian di wilayah perairan Kabupaten BEkasi, ada kapal yang tenggelam maka ini potensi yang bisa dijadikan pemasukan PAD. [kim]
[tulisan ini hanya pemicu, bila Anda punya masukan atau tambahan, silahkan kirim ke milis ini atau ke [email protected]]

asya anak kelahiran bekasi tepatnya di daerah kawasan pondok gede….
saya sekarang sedang melanjutkan studi S1 di Fakultas Negri di semarang jurusan arsitektur,,,saya ingin mulai mengambil TA, saya berkeinginan untuk mengambil judul/tema untuk pembangunan kota bekasi, saya tertarik dengan artikel anda bahwa bekasi berpotensi akan laut nya,,,,apakah saudara memiliki usulan untuk pembangunan kota bekasi terkait dengan artikel anda sehingga bisa saya ajukan sebagai judul TA saya
[Reply]