Merajut Asa di Kota Tapal Batas
Bekasi-Ku Sunday, December 27th, 2009 729 views
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi,
tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat sejata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati.
…
Kami sudah coba apa yang kami bisa.
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa.
…
(Dikutip dari puisi Chairil Anwar berjudul Krawang – Bekasi)
Saya mengenal Bekasi jauh hari sebelum menginjakkan kaki di Kota Tapal Batas itu. Adalah Chairil Anwar yang pertamakali mengenalkannya kepada saya. Selain Chairil, belakangan Pramoedya Ananta Toer juga memberikan andil besar, melalui sebuah novelnya yang berjudul ’Di Tepi Kali Bekasi’. Saya membacanya di perpustakaan SMK Negeri 1 Blitar, awal tahun 2000.
Ketika satu setengah tahun kemudian seorang teman mengajak saya untuk mencari pekerjaan di Bekasi, tanpa ragu saya menyetujui. Bukan apa-apa, novel Pramoedya dan puisi Krawang – Bekasi terlebih dahulu membuat saya terpesona. Sulit untuk menolak ajakan tersebut. Lagipula, ada dorongan yang sangat kuat dalam diri saya untuk melihat dari dekat, seperti apa sesungguhnya daya tarik Bekasi, hingga membuat Pramoedya dan Chairil Anwar mengabadikannya dalam sebuah karya sastra.
Suatu pagi, di bulan Juli tahun 2001 yang cerah, untuk pertamakalinya saya menginjakkan kaki di stasiun Bekasi. Dada saya berdegup kencang. Betapa tidak, kali ini Bekasi bukan lagi ada dalam sebuah novel. Bukan pula dalam sebuah puisi. Bekasi terlihat nyata, dan tumbuh sebagai sebuah kota penyangga ibu kota yang menakjubkan.
Meskipun kemacetan segera menyapa, namun eksotisme kota ini tetap saja membuat saya terpesona. Banyaknya pusat perbelanjaan besar, bank, dan restoran, cukup menarik perhatian. Setidaknya bagi saya yang saat itu baru datang dari desa. Apalagi ketika di kemudian hari saya tahu, bahwa ribuan pabrik dengan berbagai jenis industri bertebaran di wilayah ini. Konsentrasi manufactur terbesar berada di kabupaten, misalnya kawasan Jababeka, EJIP, Delta Silicon, MM2100, BIIE, dan sebagainya.
Kerja Belum Selesai, Belum Apa-apa
Kendati beberapa minggu kemudian saya meninggalkan Bekasi karena mendapatkan pekerjaan di Serang – Banten, namun eksotisme kota patriot yang menggeliat selama 24 jam sehari ini sulit untuk dilupakan. Adalah seorang ibu yang mengamen di dalam sebuah bus membuat hati saya semakin terpaut. Seorang pengamen, yang saya temui ketika hendak meninggalkan Bekasi untuk memulai kehidupan baru di Kabupaten Serang.
Pengamen ini tidak sendiri. Seorang bayi tertidur dengan wajah lelah di dalam gendongannya. Di luar bus, Mal Metropolitan menjadi latar belakang.
“Maaf, mengganggu kenyamanan bapak dan ibu sekalian. Mau numpang ngamen. Sekedar untuk menyambung hidup esok hari…,” sebuah pengantar singkat, sebelum perempuan itu mendendangkan lagu. Jangan ditanya kualitas suranya. Sama sekali tidak enak didengar.
Bukan soal indahnya suara yang membuat dada saya bergetar, tetapi lebih kepada anak kecil yang terkantuk-kantuk di dalam gendongan pengamen itu. Anak kecil, yang seharusnya pada pukul sepuluh malam seperti ini sedang tertidur pulas di dalam kamarnya. Ya, pukul sepuluh malam!
Pemandangan ini sangat kontras dengan apa yang ada di luar sana. Pusat perbelanjaan, sebagai simbol gaya hidup modern ada di kota ini. Sebut saja Mal Metropolitan, Mega Bekasi Hypermal, Bekasi Square, Plaza Pondok Gede, Grand Mal, Bekasi Cyber Park, Bekasi Trade Centre, hingga Carrefour, Giant, Makro, dan Hypermart. Namun, pada saat bersamaan, simbol kemiskinan juga terpampang di depan mata. Sosok pengemis di bus kota yang saya temui di malam itu, selaksa sebuah bisul di tubuh mulus nan elok.
Hari ini, peristiwa itu sudah delapan tahun berlalu. Namun salama itu, informasi tentang Bekasi selalu saya terima. Khususnya yang terkait dengan isu ketenagakerjaan (perburuhan). Karena, memang, saya tergabung dalam sebuah organisasi serikat pekerja. Sebuah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Mengingat banyaknya industri manufaktur yang terdapat di Bekasi, intensitas perselisihan hubungan industrial di daerah ini juga terbilang tinggi. Baru-baru ini, misalnya, sebuah serikat pekerja mengancam akan menutup akses masuk ke beberapa kawasan industri apabila tuntutan mereka terkait dengan upah minimum tidak dipenuhi.
Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. Tiba-tiba saja, suara hati Chairil Anwar menggema dalam jiwa saya.
Kita harus akui, bahwa pembangunan di Bekasi belum selesai. Masih banyak kekurangan terjadi disana-sini. Sebagaimana yang dikatakan Chairil Anwar dalam syairnya: Kerja belum selesai, belum apa-apa. Namun begitu, yang harus kita sadari, untuk mewujudkan Bekasi yang maju dan sejahtera adalah tugas kita bersama. Tanggungjawab seluruh element masyarakat. Siapapun di adanya.
Memajukan Bekasi Melalui Literasi
Bersikap apatis dan berdiam diri, tanpa diikuti oleh upaya nyata untuk memberikan sumbangsih bagi kemajuan Bekasi, adalah sikap bodoh yang sempurna. Yang sebenarnya ingin saya katakan adalah, dengan cara apa agar Bekasi semakin maju di masa mendatang? Secara phisik, laju pembangunan di Bekasi sangat mengesankan. Namun bagaimana dengan non-phisik?
Dukungan yang diberikan oleh Walikota Bekasi kepada Blogger Bekasi patut mendapatkan apresiasi. Tentu saja, ini harus kita maknai sebagai bagian dari kampanye “Cinta Literasi di Bekasi”. Sebab, budaya membaca dan menulis adalah symbol tumbuhnya sebuah peradapan manusia.
Namun tidak cukup hanya di dunia maya, kampanye membaca harus digelorakan secara intensif di tengah-tengah masyarakat. Meminjam kalimat Gola Gong, “Dirikanlah perpustakaan atau taman-taman baca di setiap kecamatan dengan dukungan dana dari APBD (lengkap dengan jaringan internet dan area hot spot). Idealisme memang butuh ongkos. Ini memang pekerjaan marathon dan tidak langsung jadi. Ini adalah ibarat para petani yang menabur benih, kemudian memanennya suatu saat nanti.”
Hampir semua peradapan dimulai dari membaca. Perintah yang datang kepada Muhammad SAW pertamakali adalah seruan untuk membaca. Tengoklah Negara maju yang ada di dunia, masyarakatnya memiliki kebiasaan membaca yang jauh lebih baik. Gerakan ini, cepat atau lambat akan menjadi inspirasi bagi segenap masyarakat untuk lebih mencintai dan peduli terhadap kota Bekasi.
Masyarakat yang memiliki mindset berfikir positif. Yang menghargai perbedaan, menyampaikan pendapat dengan cerdas dan elegan, serta menjauhi cara-cara kekerasan untuk memaksakan pendapatnya. Semoga ini bisa segera diwujudkan. (*)
