Kenangan KKN di Pulau bangka (1): dari Sungai Musi ke Desa Ranggas
Pendidikan Tuesday, January 11th, 2011 86 views
Matahari cerah di bulan Juli 1994 mengantarkan kapal yang mengangkut mahasiswa UNSRI melaksanakan tugas KKN di Pulau Bangka. Perlahan kapal menyusuri Sungai Musi dari pelabuhan Teluk Betung (?), melewati Jembatan Ampera menuju pelabuhan Bom Baru. Dari Bom Baru, kapal kembali berlayar membelah bagian hilir sungai menuju muara. Sungai Musi ternyata semakin melebar menuju muara, kira-kira 2 atau 3 kali lebar sungai yang membelah dua Kota Palembang. Muara sungai sepi ,berbeda dengan di kota yang ramai hilir mudik perahu bermotor dan deretan rumah-rumah panggung yang dibangun di pinggir sungai.
Kuliah Kerja Nyata adalah suatu yang menyenangkan dan dinantikan para mahasiswa. Bila sudah menunaikan tugas KKN sepertinya masa wisuda sudah menjelang, karena melaksanakan KKN adalah satu persyaratan untuk bisa mengambil kerja praktek sebelum Tugas Akhir. KKN juga dinantikan karena ada kesempatan bertemu dan tinggal bersama dengan mahasiswa dari fakultas lain. Tak jarang kebersamaan selama di desa berlanjut menjadi tautan kasih. Sebagian berlanjut seusai KKN, sebagian meredup serempak dengan selesainya kegiatan.
Sepanjang malam kapal mengarungi sungai sebelum masuk ke laut yang memisahkan pulau Sumatera dengan Pulau Bangka. Pagi hari kapal melepas sauh di pelabuhan Mentok. Dari sana, bis rombongan anak KKN membawa kami menuju ibukota kabupaten bangka.Sungai Liat. Di kantor pemerintah daerah kabupaten kami disambut Pemda setempat. Pesan-pesan dari pemerintah serta harapan agar KKN ini bisa memberi manfaat bagi masyarakat di pedesaan .
Dari Sungai Liat, kami menuju desa yang sudah ditentukan. Rombongan kami mendapat lokasi di Desa Ranggas, Bangka Selatan, tidak terlalu jauh dari kecamaan Koba, tempat pengolahan timah PT Kobatin. Jumlah mahasiswa KKN di desa kami ada 10 orang, 7 pria dan 3 wanita. Kami tinggal di sebuah kantor kepala desa yang baru dibangun dan belum digunakan. Kantor itu terdiri dari 2 kamar, 1 ruang tamu dan 1 kamar mandi. Kami bertujuh tidur dalam 1 kamar seperti ikan dencis disusun rapih. Di kamar sebelah tidur rekan mahasiswi. Bila malam tiba, dan ruangan gelap karena belum ada listrik, kami bernyanyi sebelum tidur, Rekan Damanik dari Fakultas Hukum (sekarang PNS) langsung menarik suara tingginya mengalunkan lagu lama Kembar Group :”Bila Kuingat…masa yang telah lalu…dst….Terkadang untuk menggoda cewek manis di kamar sebelah dilantunkanlah lagu lawas…”Di antara hatimu hatiku terbentang dinding yang tinggi….he.he.he..”
Demikianlah kami melalui hari-hari pertama di pulau Bangka. Interaksi dengan penduduk pun terjalin baik. Terkadang kami datang ke rumah pak Lurah untuk berbagi cerita. Para penduduk,khususnya gadis-gadis suka datang malu-malu ke pos kami tapi tidak berani mendekat. Kegiatan masyarakat juga seperti tahlilan kami ikuti. Yang lucu kami yang Kristen ikut Tahlilan, meski hanya duduk diam sambil memanjatkan doa dalam hati, tapi teman yang berlatar belakang Muhammadiyah tidak mau ikut. Katanya di Muhammadiyah tidak dikenal tradisi tahlilan karena orang hidup tidak bisa lagi mendoakan orang yang sudah meninggal. Ya, begitulah hidup,selalu ada perbedaan sudut pandang dan pemikiran. Bagimanapun kita harus menghargainya karena perbedaan adalah kekayaan.
