The Sixth Sense - Corruptor Version
Cerita Pendek Tuesday, January 11th, 2011 65 views Print Artikel IniDR Wisnu adalah seorang psikolog ternama selama dua puluh tiga tahun dengan banyak penghargaan internasional yang didapatnya. Dia sempat berhenti praktik selama lima tahun untuk sebuah jabatan barunya di pemerintahan kota sebagai dewan penasehat gubernur. Setelah masa jabatannya itu ia memutuskan untuk beristirahat selama satu tahun sebelum menjalani pekerjaan sebelumnya. Istrinya, Anna, seorang dokter spesialis anak yang menginginkan karirnya meningkat menjadi seorang guru besar.
Di akhir tahun 2009, DR Wisnu mendapat penghargaan terakhir dari gubernur atas jasa-jasanya mengatasi masalah kejiwaan di departemen propinsi. Ia merayakan secara sederhana di rumahnya yang mewah bersama istrinya. Mereka berdo’a, makan malam singkat di meja makan kecil dengan sebuah lilin sebelum melanjutkan perayaan mereka di atas ranjang.
Wisnu membuka jasnya, melemparnya ke atas ranjang sambil memandang nakal wajah istrinya. Anna balas memandang, memainkan bibirnya dan melepas ikatan rambutnya. Mereka hampir memainkan permainannya jika tidak saja mendengar bunyi pecahan kaca dari arah kamar mandi mereka. Ia mencoba menenangkan istrinya yang hampir berteriak ketakutan. Ia mengambil sebuah tongkat di bawah lemari dan melangkah perlahan keluar kamar sementara Anna mengikutinya dari belakang.
Ada pecahan kaca berserakan di lantai kamar mandi, namun tidak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Namun ketika Wisnu hendak melihat lebih dalam, tiba-tiba seorang pria sudah berada di hadapannya dengan wajah meringis. Pria itu tidak dikenalnya, ketakutan dan hanya mengenakan celana dalam.
“Kau sedang berada di rumah jalan Cendana no 18 dan masuk tanpa ijin” Wisnu berkata tenang.
Pria itu bergeming, semakin jelas terdengar pria itu sedang menangis. Dia berkata, “Kamu tidak tahu rasanya menjadi aku.”
“Tenang” kata Wisnu “Aku tidak akan bertindak tegas jika kamu mau menyerahkan diri”
“Kamu tidak tahu rasanya ketakutan. Kamu tidak tahu. Kamu gagal mengobati aku”
Wisnu terdiam. Kamu gagal mengobati aku. Itu berarti kemungkinan pria di hadapan Wisnu adalah salah satu pasiennya. Ia mengingat satu per satu pasiennya selama beberapa tahun ini.
“Aku sendirian. Mereka terus menyiksaku”
“Juwanto?”
“Aku takut, sangat takut. Tapi kau tidak pernah mendengarkanku”
“Sadrawi? … Hendra?
“Kamu gagal!”
“Herman” Wisnu pada akhirnya dapat mengingatnya “Kamu pemuda pintar dan pemberani”
Tidak ada suara lagi dari pria misterius itu selain gerakan tangannya mengambil sesuatu dari balik pintu. Dia memegang sebuah pistol yang di arahkan kepada Wisnu dan menembakkannya tepat di perutnya. Wisnu tersungkur di hadapan Anna. Anna spontan berteriak, meletakkan kedua telapak tangannya untuk menghentikan pendarahan. Anna tidak peduli dengan pria misterius itu yang sewaktu-waktu dapat membunuhnya juga. Tapi pria itu tidak mengganggunya, ia mengarahkan pistolnya ke kepalanya sendiri dan mengakhiri hidupnya sendiri.
Di bulan Juni 2010, Wisnu mulai kembali sebagai orang yang berbeda meski tetap sebagai seorang psikolog. Kejadian penembakan terhadap dirinya bukan sesuatu yang dianggap penting untuk diingat. Dia seorang pria di awal usia lima puluh dengan kondisi yang lebih baik ketimbang kedaan sebelumnya. Kini dia hanya fokus pada sebuah kasus penting.
Pasiennya bernama Dudi Rahadian, pemuda berusia dua puluh enam tahun dengan kecerdasan cemerlang. Dua tahun lalu ia menyelesaikan magisternya di Inggris hasil dari beasiswanya dan tidak lama kemudian bergabung dengan departemen perpajakan sebagai tenaga ahli. Selama hampir dua tahun keberadaannya di departemen perpajakan dia mengalami berbagai macam traumatik atau masih dalam tahap gejala yang mengkhawatirkan. Dia mengalami ilusi bahwa hampir semua pejabat di dalam kantornya mengitimidasi atau mengancamnya.
Kasusnya sama sepert Herman, pria misterius yang menembaknya. Wisnu mengenal Herman sebagai pria baik dan sering bekerja sama menyelesaikan beberapa masalah. Herman bekerja sebagai seorang jaksa muda dengan prospek cerah. Namun keadaan psikologisnya memaksanya mengikuti terapi. Dalam tahapan tertentu terapinya berhasil. Herman menjadi normal kembali sebelum menangani sebuah kasus korupsi besar yang melibatkan salah seorang petinggi kepolisian.
Dudi menjalani terapi bersama Wisnu selama hampir sebulan. Wisnu berusaha mendalami apa yang sebenarnya dialami Dudi. Analisanya mengatakan bahwa Dudi mengalami dehalusinasi atau mungkin schizofernia. Jika memang demikian maka dia akan menyerahkannya pada rumah sakit dan membiarkannnya selama beberapa lama di sana. Mungkin dia akan mengunjunginya sesekali hanya untuk memantau perkembangannya. Hal itu bukannya tidak mungkin dilakukan mengingat ia sudah berpisah dengan istrinya. Istrinya meninggalkannya karena kesibukkannya mengobati para pasiennya.
Tapi setelah tiga bulan Wisnu menyerah. Dudi masih belum menunjukkan kemajuan. Dan parahnya, kini, Dudi dirawat di rumah sakit karena pengaruh obat-obatan terlarang.
“Kita akan berhasilkan? Aku akan sembuh” Dudi berkata “Aku tidak pernah secara sengaja mengkonsumsi narkoba. Mereka meracuni makananku dan membuatku sakit. Tapi mereka tidak sampai membunuhku.”
“Tidak teman. Mereka orang baik, aku mengenal mereka dan aku sudah bekerja bersama mereka selama bertahun-tahun”
“Tuan, kau harus percaya padaku”
“Dengar, Dud. Ini terlalu berat bagiku, aku tidak bisa menolongmu”
“Bagaimana kau bisa menolongku jika kau tidak percaya padaku?”
Wisnu meneteskan air mata karena ia tidak percaya bahwa dirinya bisa menyerah begitu saja. Dudi memandangnya sambil berharap Wisnu mau bangkit lagi untuk mengobatinya. Ia percaya Wisnu bisa menolongnya.
“Jika kau mau menolongku, maka aku akan menceritakan rahasiaku”
Wisnu termenung. Ya, ia seharusnya tidak menyerah sedangkan pasiennya masih menyisakan semangat untuk sembuh.
“Ceritakan rahasiamu”
Dudi menarik selimutnya hingga ke leher untuk mengurangi rasa menggigilnya. Matanya menatap Wisnu tajam seakan memintanya untuk serius mendengarnya.
“Aku melihat koruptor”
“Koruptor? Seperti Gayus Tambunan?”
Dudi mengangguk, lalu berkata. “Mereka ada di antara kita, bicara seperti orang-orang bijak, berderma, beribadah dan mengikuti acara-acara amal. Mereka tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya. Mereka tidak tahu kalau mereka koruptor.”
“Bagaimana kamu tahu semua? Apakah kamu memiliki bukti-bukti untuk menjerat mereka?” Wisnu seakan tidak percaya pada pada apa yang didengarnya. Sebagian besar orang-orang di departemen perpajakan adalah teman-temannya. Namun jika benar demikian, maka ia harus melapor ke KPK, karena dengan begitu ia tidak hanya menyelamatkan Dudi melainkan juga negara.
“Ya, aku tahu semuanya”
“Baik, dengarlah. Aku tahu apa yang harus kulakukan”
Wisnu memiliki teman-teman bersih di KPK, dia menghubungi mereka malam itu juga.
“Kamu tetap di sini. Teman-temanku di KPK akan datang sebentar lagi.”
Wisnu melangkah keluar kamar, jalannya terburu-buru menuju kantin. Di sana ia membeli sebuah koran dan menemukan sebuah berita besar tentang penangkapan beberapa koruptor di kejaksaan. Dia teringat pada perkataan Herman beberapa tahun lalu tentang koruptor di kejaksaan. Herman beberapa kali mengalami sakit parah seperti yang dialami Dudi saat ini.
Tiga anggota KPK sudah berada di kamar Dudi ketika Wisnu kembali. Wisnu melewatkan jawaban-jawaban meyakinkan yang Dudi berikan pada KPK. Tapi meski demikan Wisnu sangat bahagia bisa memecahkan permasalahan Dudi.
Keesokan harinya, lima pejabat tinggi pajak termasuk dirjennya ditangkap dengan bukti-bukti kuat seperti yang diungkapkan Dudi. Wisnu dan Dudi ada di sana menyaksikan penangkapan mereka. Dudi sebenarnya mendapat promosi, namun dia lebih memilih mengundurkan diri dan membuka usaha warung nasi.
“Aku tahu bagaimana kau bisa bicara dengan istrimu kembali” kata Dudi
Wisnu tersenyum. Dia memang sudah lama merindukan bicara kembali dengan istrinya, merayakan kemenangan ini bersamanya dan berkunjung ke tempat-tempat indah.
“Bicaralah padanya saat ia tertidur, maka ia akan mendengarmu”
Tahun 2010 penuh dengan kejutan dalam hidupnya. Hujan turun deras ketika ia sampai di depan gerbang pintu rumah. Ia menapaki tangga perlahan dan tidak menunjukkan ketergesaan perasaannya untuk bertemu dengan istrinya. Ia memanggil-manggil nama istrinya, membuka semua pintu kamar dan memeriksa di setiap sudut sambil berharap istrinya ada di sana. Rumahnya tidak terawat. Ia ingat terakhir kali membersihkan rumah mereka bersama sang istri untuk penyambutan tamu mereka dari Singapura. Pecahan kaca di kamar mandi, darah yang mongering di lantai dan segala kekacauannya membawanya ke kejadian satu tahun lalu. Ia tertembak, pelurunya menembus perutnya. Tapi ia baru mengingatnya bahwa peluru itu kemudian juga menghujam tubuh sang istri. Tidak ada yang bisa ia lakukan karena pada saat itu juga ia pingsan.
TIba-tiba terdengar suara ketukan keras dari pintu. Seseorang meneriakkan namanya, menyuruhnya untuk membuka pintu atau akan mendobrak masuk. Wisnu segera menuruni tangga dan melihat dari lubang pintu. Mereka adalah polisi berseragam dan beberapa orang yang dikenalnya sebagai anggota KPK.
Kedatangan orang-orang itu laksana petir menyambar. Ia ingat apa yang Dudi katakana ketika mereka sedang berada di rumah sakit.
“Aku melihat koruptor”
Tubuh Wisnu mendadak limbung dan hampir terjatuh jika tidak terhalang dinding. Ia melangkah mundur ke arah tangga dan menaikinya.
“Mereka ada di antara kita, bicara seperti orang-orang bijak, berderma, beribadah dan mengikuti acara-acara amal. Mereka tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya. Mereka tidak tahu kalau mereka koruptor.”
Lima tahun lalu ia memulai pekerjaannya sebagai seorang koruptor. Dana APBD untuk pembangunan sepuluh puskesmas ia gunakan untuk investasi di pasar saham. Pada saat itu pasar saham memang sedang bagus-bagusnya dan ia mendapatkan keuntungan yang banyak. Kemudian pekerjaan-pekerjaan kotor lainnya datang dengan mudah. Ia membantu beberapa perusahaan dalam menggelapkan pajak, menyuap jaksa agung dan beberapa hakim. Ia juga bermain di kepolisian dan partai-partai pendukung presiden.
Polisi dan KPK merangsek masuk, gerendel pintu rusak akibat tendangan keras. Dua orang polisi langsung datang dan membekuknya. Wisnu hanya tersenyum pada mereka satu per satu sambil berharap mungkin ada keringanan untuk masa hukumnya mengingat ia pernah membantu petugas KPK memberikan informasi.
Hujan semakin deras, genangan air sudah memenuhi jalanan. Para wartawan berhamburan memberikan pertanyaan, mereka lebih memilih Wisnu ketimbang petugas KPK atau kepolisian, tapi Wisnu hanya melambaikan kedua tangannya yang diborgol.
Print Artikel Ini