Demi Solat Yang Ingin Ku Tegakkan
Cerita Pendek Wednesday, March 9th, 2011 164 views
Subhanallah..Maha Besar Allah dengan segala firman-Nya. Hari ini mungkin aku bisa tersenyum bahagia. Tepat setahun sudah aku berada dalam kondisi senyaman ini. Tak ada lagi takut menggelayut atau sembunyi ciutkan diri manakala aku berusaha mendekatkan diri dengan-Nya. Dia pun telah beri jalan agarku bisa bersimpuh dihadap-Nya sesuka yang ku mau. Alhamdulillah..
Terlahir dari orang tua berbeda agama sempat membuat aku nyaris berputus asa dalam keadaan. Ibuku seorang muslim, ayahku seorang Katolik. Kerap kali rasa menyesal atau menyalahkan hadir dalam diriku. Kenapa aku terlahir begini? Kenapa Kau siapkan aku dalam ujian sedemikian rumit, Tuhan? Bahkan aku pun tidak tahu harus memilih apa.
Beruntung, sejak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak aku dimasukkan pada sekolah berbasis islam, TK Muhammadiyah Bustanul Athfal. Lewat TK itu aku tahu islam. Aku tahu nabiku, aku tahu kitabku. Tapi apalah artinya pendidikan agama di sekolah TK yang hanya bermain. Jadilah pengetahuan islamku lembek. Yang paling aku ingat adalah, manakala ada pertemuan orang tua murid, ayah kerap kali tidak hadir. Ayah memang tidak setuju aku bersekolah di TK Islam. Selalu kurasa iri dengan mereka, teman sebayaku yang datang bersama ayah dan ibunya. Tapi aku tidak. Hanya ibu yang menemaniku. Terlebih lagi saat pengumuman kelulusan, ayah lagi-lagi tak datang. Padahal ingin sekali kulihat ayah disini, menyaksikan putri pertamanya tampil di acara pentas seni TK hari itu. Ah, hanya angan. Maka jangan heran, betapa bahagianya aku saat ayah datang menjemputku di hari terakhir aku di TK itu. Senangnya bukan main. He is my father!
Buntut dari keputusan ibu menyekolahkanku di TK Islam saat itu adalah kemarahan ayah. Lantas selanjutnya, ayah mengurus keperluan SD ku termasuk mendaftarkan aku di sekolah Katolik. Aku memang tidak mengerti, yang aku tahu adalah aku akan masuk SD. Sejak di SD itulah aku makin kabur tentang Islam. Pernah, ibu mendaftarkanku pada sebuah TPA dekat rumah, tapi lagi-lagi ayah marah. Melihatnya saja aku takut. Maka, setelah kejadian itu aku selalu bersembunyi jika ingin pergi mengaji. Namun sayang mengajiku tidak tamat. Entah sampai pada Iqro berapa saat itu aku belajar. Yang jelas aku meninggalkan TPA itu setelah ayah kembali memergokiku mengaji.
Berlanjut dari SD sampai SMP akhirnya aku sekolah di sekolah swasta Katolik tempat ayahku bekerja. Ah, ya sudahlah. Mau tak mau, pelajaran agama Katolik yang akhirnya kutelan mentah-mentah selama 9 tahun. Pergaulanku pun sama, hampir tak ada teman seagama yang menjadi temanku. Kalau saja dirumah aku tidak pandai-pandai mencari kawan seagama, sudah tentu aku akan semakin jauh dengan islam.
Selain mengaji, adalah solat termasuk hal yang kulakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena ayah akan lebih sangat marah jika tahu putrinya solat. Pemahamanku soal solat pun tidak sepenuhnya bagus. Masih bolong sana bolong sini. Karena aku sekolah di sekolah Katolik, otomatis solat yang bisa kukerjakan adalah solat yang waktunya setelah pulang sekolah. Belum lagi jika aku ada kegiatan diluar, makin kacaulah waktu solatku. Praktis, yang sering terjadi adalah aku meninggalkan solat Dzuhur dan Ashar. Dan jika beruntung, aku bisa mendapati Maghrib jika ayah belum pulang dari kantor. Isya pun kadang lewat karena ayah sudah dirumah. Subuh pun juga tidak dapat karena aku berangkat pagi buta ke sekolah dengan mobil antar jemput yang menjemputku pukul 05.00.
Sebenarnya, ibu bukannya tidak berbuat apa-apa dengan kondisi ini. Hanya saja kulihat mereka sering bertengkar ketika ibu membelaku. Sejujurnya memang tidak ada paksaan atas pilihan Islam dihatiku. Kalau kebanyakan kawan beragama Islam karena memang memiliki kedua orang tua sama-sama muslim, berbeda dengan aku. Islamku, Islam yang kuputuskan. Memang aku akui, ibu yang mengajarkanku soal islam, tapi ayah juga memberi pengetahuan Katolik sejak dini. Jadi Islamku adalah keputusan murni seorang bocah TK saat itu.
Suatu hari, sepulangku dari solat berjamaah dengan teman-teman komplekku di masjid, tanpa disangka ayah pulang lebih awal. Bisa dibayangkan betapa kagetnya aku saat itu mendapati ayah dirumah dengan keadaan marah besar. Mukenaku diambil, bahkan disembunyikan. Begitu juga dengan sajadah dan Al Quran yang kubawa. Ayah memarahiku. Aku menangis sejadi-jadinya. Sungguh peristiwa iti sangat membekas hingga saat ini.
Beruntung saat itu aku masih bisa meminjam sajadah dan mukena milik pembantuku. Aku tidak pernah menganggapnya sebagai pembantu, tapi lebih seperti seorang kakak perempuan yang selama ini aku memang tidak punya karena ku seorang anak sulung. Lewat dialah aku mulai mengenal solat yang baik dan benar. Tapi itu pun belum selesai karena ayah masih tidak bisa menerima keadaanku.
Satu hal yang sangat aku senangi adalah aku tidak pernah ketinggalan solat Idul Fitri. Itulah yang sangat membuatku bahagia. Momen Idul Fitri selalu memiliki makna tersendiri dalam hidupku. Meskipun ayah tahu aku ikut solat Idul Fitri, tapi ayah tidak bisa marah karena aku pergi solat bersama Kakek dan Nenekku. Ayah sangat menghormati mereka. Dan aku bisa solat.
Akhirnya waktu membawaku pada masa remaja. Aku lulus SMP dan melanjutkan SMA. Di SMA, aku masuk ke sekolah negeri. Kali ini ibu yang berperan. Antara senang dan tidak senang aku berada di sekolah itu. Betapa tidak, setelah bertahun-tahun berada dalam lingkungan sekolah swasta dan nuansa Katolik yang kental, kali ini aku beradaptasi dengan lingkungan baru yang cukup asing buatku. Dan disinilah pertama kalinya aku belajar agama Islam.
Hal yang pertama kali kutakutkan adalah ketika pelajaran Agama Islam. Rasanya seperti ingin kabur. Sering aku menangis. Menangis malu dan takut karena pengetahuan Islamku buruk. Malu karena mengajiku tak lancar untuk seusiaku. Tapi yang aku heran, aku selalu dapat melewati pelajaran Agama Islam itu dengan baik. Hingga saatnya aku lulus SMA. Rupanya belakangan aku baru sadar, Alloh memudahkan segalanya untukku.
Kehidupanku di SMA sebenarnya merupakan titik awal perjalanan baru spiritualku. Akhirnya aku bisa mengenal Islam lebih jauh. Lewat buku-buku di perpustakaan, lewat pergaulanku dengan teman-teman atau lewat pengajian-pengajian di sekolah. Semua itu membuat duniaku terbuka soal Islam. Dan yang paling penting adalah aku tidak melewatkan solatku. Jika dirumah, aku sudah mulai berani menunjukkan siapa aku dan agamaku. Walau masih sembunyi tapi ayah perlahan bisa menerima. Itulah yang membuatku makin matang. Puncaknya adalah ketika aku dan adikku memutuskan untuk berjilbab.
Keputusan kami ini memang sontak membuat ayah kaget. Aku sempat ditegur. Tapi kuberanikan diri mengutarakan pendapatku. Karena agama adalah hak semua orang. Dan meskipun ayah berbeda dengan kami, beliau tetaplah aku hormati. Entah hidayah apa yang telah Alloh berikan, setelah itu aku merasa semuanya telah lepas. Semua bebanku hilang. Dan tanpa disangka ayah tidak marah ataupun berlaku seperti dulu. Saat ini setahun peristiwa iti berlalu, masih dengan penuh syukur aku mengenang semuanya. Perjalanan itu cukup panjang aku lalui. Aku seperti bertahan seorang diri. Beruntung adik-adikku tak mengalami apa yang aku rasakan. Maka seringkali aku marah, jika adikku lalai dalam solat dan mengajinya.
Kali ini kami bebas beribadah. Bahkan tak jarang ayah mendukung meski kami masih berbeda keyakinan. Ada rasa haru dan bangga yang terselip dalam hati. Oleh karena itu aku sering merasa miris pada mereka yang meninggalkan solat. Pada mereka yang meninggalkan Al Quran. Pada mereka yang meninggalkan puasa. Karena sesungguhnya mereka seperti tidak bersyukur atas karunia Alloh pada mereka.
Saat ini semua berjalan normal. Tak ada lagi yang perlu ku khawatirkan.Dibalik semua peristiwa itu aku belajar. Belajar untuk sabar. Belajar untuk tidak menyerah pada keadaan. Belajar untuk terus bersyukur. Dan sebagai wujud syukurku pada-Nya, kelak aku berezeki lebih, besar keinginanku membangun sebuah TPA dirumahku. Melihat anak-anak belajar mengaji, sembahyang, dan mengkaji Islam dengan sungguh-sungguh. Agar kelak mereka bisa merasakan indahnya Islam dalam hidup mereka. InsyaAllah..
http://msbana.blogspot.com

Posted by albana19
on Mar 9 2011. Filed under Cerita Pendek.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
You can leave a response or trackback to this entry
Kisah yang bisa jadi menyadarkan kita, bahkan mengusik sisi keislaman kita. Betapa menjadi muslim merupakan anugrah terbesar yang Allah berikan buat kita. Terima kasih telah mengingatkan akan nikmat yang terkadang abai dari jangkauan dan perhatian umat muslim.
[Reply]
alhamdulillah…semoga bisa semakin menambah keimanan kita..amin.
[Reply]
subhanalloh walhamdulillah walailahailalloh wallohuakbar.
semoga Alloh selalu membimbingmu ya nisrina
[Reply]