Indonesiaku Yang Berbalik
Politik Wednesday, September 14th, 2011 430 views
Bicara Indonesia, sejatinya bicara diri sendiri, bicara keluarga, bicara adat kebiasaan, bicara logika bersama. Dalam kaidah kita, seharusnya apabila ada salah satu anggota badan kita, apapun itu, pasti anggota badan lain merasakan sakitnya. Sehingga akan timbul simpati atau bahkan simpati dari satu ke lain bagian.
Bila kita berpikir ke belakang, bukan bermaksud membangga-banggakan nenek moyang, atau mungkin generasi yang tak terlalu jauh dengan kita, buyut atau canggah, misalnya. Kita serasa terharu mendengar, membaca, sejarah mereka. Mereka berjuang sepertinya tanpa pamrih apapun kecuali untuk kemaslahatan bangsa, negara dan masyarakat.
Tidak terdengar dalam sejarah, atau terbaca dari kitab-kitab sejarah yang menguraikan panjang lebar perjuangan para pahlawan bahwa mereka berjuang atas partai-partai atau golongan-golongan sempit. Sebut saja, ketika para pahlawan kemerdekaan berupaya merebut tanah air tercinta. Mereka tidak membawa bendera partai atau keluarga besar, marga dan lain sebagainya. Niatan mereka begitu tulus, bahkan mengkin tidak berpikir gaji sekalipun. Itu pun terlihat ketika para purnawirawan kemerdekaan yang sudah tua renta, terkadang diiringi dengan kepapaan mereka-mereka karena tak punya rumah. Mereka begitu semangat menceritakan gerak perjuangan semasa perang.
Mereka pun bangga akan kecacatan pisik karena resiko perjuangan. Mereka juga bangga bisa masuk keluar penjara karena pertentangan mereka dengan para penjajah. Mereka benar-benar para mujahid yang secara ikhlas mendarmakan yang mereka punya kepada negara dan bangsa tercinta.
Itu hanya spirit para buyut dan canggah kita. Saat ini, mungkin ada satu atau dua di antara ribuan tokoh-tokoh di hadapan kita ini. Saya yakin para pendahulu kita tidak paham akan demokrasi, laiknya demokrasi yang diangkut penggiat demokrasi saat ini yang membuat carut marut negeri ini.
Kadang kita malas mendengar demokrasi. Mohon maaf, terkadang demokrasi itu hanya pembohongan publik. Atau memang mungkin saja para penggiat demokrasi itu memang tak mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi di bumi pertiwi ini.
Hari-hari ini, di negeri ini tak ada yang memberikan harapan. Mungkin kalimat ini terlalu pesimistis, tetapi nampaknya harus diungkap karena memang faktanya semua tindak-tanduk para pejabat tak menggagas itu. Indonesia hari ini benar-benar sakit separah-parahnya. Banyak hal-hal yang kontraproduktif telah dilakukan oleh pejabat negeri ini. Hanya sedikit yang mampu memberikan spirit untuk rakyat, yang lain hanya bergerak demi kepentingan mereka sendiri.
Inilah beberapa keberbalikan negeri ini:
1. Para pejabat baik di pusat ataupun di daerah tidak bekerja untuk rakyat lagi. Mereka hanya bekerja untuk keluarga, partai dan keinginannya. Mereka memanfaatkan rakyat ketika akan maju menjadi kandidat pimpinan, atau anggota dewan.
2. Para pejabat lebih sibuk dengan urusan sempit mereka. Urusan sempit itu telah menyita perhatian mereka dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Mereka lebih sibuk mengurus partai, keluarga, dan mimpi-mimpi mereka.
3. Rakyat, hari-hari ini hanya diberi berita-berita korupsi, kriminal, kemiskinan, kebodohan, perselingkuhan dan lain-lain. Rakyat hanya disodori acara-acara TV yang tidak edukatif, sehingga rakyat dapat melupakan hak-haknya sebagai warga negara. Acara-acara infotainment yang lebay dan sinetron yang penuh kebohongan, perceraian, perselingkuhan, pertengkaran menjadi konsumsi rakyat kecil tiap hari. Padahal mereka susah menghidupi keluarga karena tidak menjadi perhatian pimpinannya.
4. Rakyat dininabobokkan oleh kultur pragmatisme dalam segala hal. Negara tidak tanggap dalam menghadapi kenyataan bahwa rakyat miskin tokoh. Sehingga tidak sedikit dari mereka hanya menokohkan tokoh-tokoh dalam sinetron baik, sinetron fiktif (bohong) atau pun sinetron riil yang koruptif.
5. Rakyat Indonesia, hari-hari ini, miskin karakter. Maka sering siswa perempuan terlihat berboncengan dengan siswa laki-laki laiknya suami istri dengan mesranya dengan tiada aturan yang jelas, baik dari pihak keluarga ataupun sekolah. Seakan-akan kedua lembaga pendidikan tersebut lemah tak berdaya menghadapi degradasi moral ini.
6. Lemahnya lembaga-lembaga publik dalam penegakan hukum. Lembaga-lembaga negara saat ini sedang sibuk-sibuknya begawan-begawan mereka menghadapi tuduhan korupsi. Sehingga program-program besar untuk rakyat terabaikan dan sering terpotong-potong dan tercabik-cabik karena itu.
7. Lembaga pendidikan pun lemah, tak punya kekuatan untuk bangun membangun karakter bangsa. Tentunya hal itu tak dapat dilepaskan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan ketidaksiapan para pejabatnya untuk menjalankannya. Tidak sedikit dari mereka yang juga sibuk menghadapi kasus-kasus misalnya pendistribusian dana BOS, ketiadaan gedung sekolah, pungutan liar, dll.
8. Demokrasi bukan lagi sebagai pemandu pensejahteraan rakyat. Tetapi ia sebagai alat untuk pembahagiaan golongan dan keluarga. Regulasi-regulasi yang diciptakan oleh eksekutif dan legislatif pun sering tidak menyentuh kepentingan rakyat.
9. Tokoh-tokoh penggiat demokrasi saat ini kebingungan untuk terus mempertahankan demokrasi itu sendiri. Mungkin rusaknya negeri ini juga karena demokrasi itu, karena mereka tak mampu memberi jaminan bahwa demokrasi itu saat ini, bukan dari dan untuk rakyat.
10. Dan hingga saat ini, Indonesia pun masih sedang berbalik. Entah sampai kapan kita berperang melawan ketidaknyamanan hidup di tengah demokrasi ini.
Sumber gambar: http://planet4ltair.wordpress.com/2010/08/18/65-tahun-indonesia-merdeka

subhanaallah, terima kasih akang infonya.
mari bersama menuju indonesia yg sejahtera
[Reply]
Terima kasih. Sebetulnya negeri ini milik kita semua, namun kenyataannya seperti itu. Sabar sabar dan sabar..
Salam
[Reply]
Walaupun dengan kondisi yang carut marut dan makin tipisnya rasa optimisme ada keyakinan bahwa bangsa ini akan menjadi lebih baik , dimulai dari orang - orang seperti anggota blogger bekasi
selamat berjuang ..!!
[Reply]