15 mil
Cerita Pendek Saturday, May 7th, 2011 119 views Print Artikel IniAli Reza
“Aku dulu sepertimu. Muda, berambisi tapi selalu mengikuti aturan. Tiga puluh dua tahun menjadi polisi, tapi harus berakhir seperti ini. Tangan dan kaki dirantai, terkurung dalam mobil baja. Sial, seperti monster saja” James Milner berkata, lebih untuk menghilangkan kekakuan diantara mereka. Yang diajak bicara seorang detektif muda yang menangkapnya, baru beberapa hari ini dipindah tugaskan, hanya diam dengan sesekali melihat jam tangannya. Barangkali karena cuaca panas membuat wajahnya memerah dan sedikit flu.
Mobil belok ke kiri, supirnya terlalu kasar mengemudi hampir mengempas mereka.
“Apa kau selalu diam begini? Atau takut kalau bicara akan membuatmu lengah dan kemudian aku akan mengeluarkan klip dari dalam mulutku, membuka rantai ini dan kemudian membunuhmu? Ah, itu sangat bodoh. Aku tidak akan melakukannya.”
Ada jeda sebentar. Ruang di dalam mobil tahanan itu terasa panas, ventilasi tidak memberikan angin yang cukup.
“Mungkin sedikit cerita di masa lalu akan membuat kita saling mengenal” James menarik nafas panjang dan menghembuskannya. “Aku pernah mengawal seorang penjahat besar. Seorang pembunuh berantai. Tapi ia asik diajak bicara.”
Si detektif muda mengangkat kepalanya seperti tertarik untuk bicara tentang penangkapan pembunuh berantai itu. Untuk pertama kalinya ia bicara. “Aku pernah mendengarnya. Kurt si Penjagal. 1986. Kau menangkapnya.”
“Tepat. Tanpa mengeluarkan sebuah peluru. Dan terima kasih menangkapku tanpa peluru, detektif Adam Johnson”
Sebelumnya detektif Adam Johnson pernah sedikit mendengar tentang James Milner, terutama berita tentang polisi yang membantai sebuah keluarga. Tapi tidak sedikit hal-hal baik yang didapatnya dari rekan-rekan James yang masih memercayainya.
“Detektif Johnson, apa kau menikah?”
“Ya. Aku memiliki seorang anak perempuan. Usianya empat tahun.”
“Well, itu bagus.”
“Terima kasih”
Mobil melaju tenang, beberapa kali berhenti karena macet. Dua sepeda motor pengawal di depan mereka rupanya tidak bisa memberi ruang. Pagi itu matahari bersinar cerah di awal musim panas. James bisa melihat sedikit ke arah luar, ke jalanan dan memerhatikan orang-orang berdiri berjejer melihat iring-iringan kendaraan mereka. “Mereka sepertinya tidak menyukaiku” ia kembali duduk.
Si detektif muda melepas jaketnya, membuka tiga kancing kemeja dan menggulung kedua lengan kemejanya. James melihat sebentar ke arah pistol milik Adam.
“Pernah menembak? Penjahat maksudku”
“Beberapa kali. Tapi belum pernah sampai membunuh.”
“Meleset?”
“Tidak semua”
James tertawa kecil, lalu berkata, “Aku menembak ratusan kali, membunuh tujuh belas penjahat dan dua dari tembakan itu membuatku mendapat penghargaan.”
James di usia pertengahan lima puluhan memiliki mata tajam dan sepertinya masih sulit dijatuhkan, terlihat tidak ada rasa takut sedikit pun atas tuduhan sebagai pembunuh kelas satu. Tapi kini reputasinya seperti hilang terbawa air. Dua tahun terakhir ia lebih dikenal sebagai seorang polisi yang mengacaukan segalanya, menganggap dirinya lebih pintar dari selusin polisi di kantornya dan seorang pemabuk payah.
“Aku banyak mendengar cerita tentangmu”
“Tapi kau belum mendengar semuanya” James berkata, lalu terdiam, cukup untuk terlihat sedih. “Dua puluh lima Januari, aku baru pulang dari Toe’s jam sebelas malam menyesali pertengkaranku dengan istriku. Semua masalah berkumpul di kepalaku dan aku hampir membentur kepalaku ketika tiba-tiba kulihat dua orang pria memasuki sebuah rumah. Dua orang pria dengan dua buah tongkat baseball.”
“Sudah terjadi kekacauan ketika kumasuki rumah itu. Sepasang suami istri dan kedua anaknya terpojok. Aku melompat masuk, tapi salah seorang bangsat itu tahu kedatanganku. Ia memukul kepalaku dengan tongkat dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelah kejadian itu. Kuperkirakan pemilik rumah melakukan perlawanan” James memegang kepalanya yang masih terasa pusing akibat pukulan tongkat itu. “Salah satunya mengambil pistolku dan menembak mereka satu per satu.” James memberi isyarat agar Adam mau memegang bagian samping kanan belakang kepalanya. Adam merasakan benjolan dan sedikit darah yang menempel di jari tengahnya.
Mobil berhenti. Mereka tiba di pengadilan pukul 08.45, disambut puluhan wartawan, dua orang polisi pengawal dan orang-orang yang ingin melihat James.
“Ini saatnya” Adam berkata, membuka kunci rantai dari lantai mobil
Pintu mobil terbuka, petugas mengawal mereka hingga memasuki gedung sedangkan para wartawan hanya mendapat gambar tanpa komentar dari James atau Adam.
James menatap Adam dalam-dalam, ia berkata padanya, “Mereka kembar.”
Ketika pengadilan dimulai setengah jam kemudian, Adam menjadi saksi dengan keraguan. Namun meski demikian semuanya jelas, sidik jari di pistol merupakan milik James. Ia menangkapnya tanpa perlawanan dan tidak ditemukan tongkat baseball seperti yang dikatakan James sebelumnya.
***
Adam memiliki kesempatan karir melebihi polisi terbaik Old Trafford yang pernah ada. Penangkapan James merupakan titik lompatan karirnya. Usianya baru menginjak dua puluh enam, memiliki tubuh paling tinggi diantara rekan-rekannya dan lumayan tampan. Ia seorang pekerja keras dan rapih dalam segala hal. Tapi malam itu ia hanya memikirkan James. Perkenalan singkatnya seperti telah mengenalnya lama, namun sepertinya James menaruh harapan padanya. Tapi bukankah antara baseball dan lelaki kembar yang disebut James bisa berarti sesuatu? Ia mengunjungi istri James, Anna, keesokan harinya.
Anna tinggal terpisah dari apartemen tempat James tinggal. Ia tinggal bersama kedua anak perempuannya dan bekerja sebagai agen properti. Bicaranya jelas, memperlihatkan bahwa ia seorang wanita tegar dan masih mencintai mantan suaminya. Mereka melakukan pembicaraan ringan seputar pribadi James dan permasalahan rumah tangganya. Anna menunjukkan sebuah fotonya bersama James dan kedua anaknya.
“Apakah James menyukai baseball atau menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan baseball?” tanya Adam pada Anna
“James hanya sesekali bermain baseball dan tidak pernah mengoleksi sesuatu yang berhubungan dengan baseball.”
Adam mengakhiri kunjungannya dengan minum satu tegukan kopi dan kue coklat buatan Anna.
Ia sengaja melewati Emirates No. 47 sepulang kerja dan berhenti di depannya. Pukul 11.15, waktu yang hampir sama dengan kedatangan James malam itu. Rumah itu masih tidak berpenghuni, namun lampu depan tetap dinyalakan untuk memberi kesan tidak menyeramkan. Ia menarik pintu pagar dengan hati-hati, lalu melangkah ke dalam rumah dan membuka pintu dengan kunci kawat yang sudah disiapkannya. Ia naik ke lantai dua, di kamar tidur utama tempat dimana kelurga itu dibantai. Ia menyalakan lampu dan melihat tempat itu masih sama dengan terakhir kali ia datang. Kaca-kaca dan keramik berserakan, beberapa bingkai kaca foto retak dan perabotan yang hancur. Kemudian ia kembali ke lantai satu dan menyalakan semua lampunya. Foto-foto di dinding memberi petunjuk. Pemilik rumah, Mr Paul Scholes, merupakan seorang manajer baseball di Wolves, menyimpan lumayan banyak koleksi foto-foto lama para pemain baseball terkenal di masanya. Selain empat ratus dolar, dalam perampokan itu yang hilang adalah koleksi sebuah sarung tangan klasik dan sebuah bola yang pernah dimainkan Yankees enam puluh tahun lalu dengan tanda tangan pemainya.
Lima ratus meter dari rumah itu ada sebuah lapangan baseball dan ada dua klub yang memainkannya. Pertama adalah mereka para imigran yang kebanyakan dari Meksiko dimana dulunya para orang tua mereka sering bentrok dengan penduduk lokal. Dan kedua adalah pemuda-pemuda lokal kulit putih yang lebih menguasai lapangan. Pemimpinnya dua orang bersaudara kembar bernama Garry dan Phillip Neville. Mereka membuat aturan sendiri dalam permainan dan lebih menyukai pertikaian. Adam menangkap Garry di suatu sore setelah menghentikan perkelahian antara Garry dan seorang pemuda Meksiko lalu membawanya ke rumah keluarga Neville. Beberapa saat setelah tiba, Phillip datang dari arah belakang dan menanyakan perihal penangkapan adiknya.
“Aku ingin bertemu orang tua kalian” Adam berkata pada mereka “Boleh aku masuk?” ia melangkah masuk dan mendorong Garry ke atas sofa.
“Kami tidak punya orang tua, sialan!”
“Hati-hati dengan mulutmu, sialan!” Adam menunjuk padanya dan berjalan berkeliling sebentar, melihat-lihat. Ia membongkar laci-laci lemari dan menemukan sebuah sarung tangan baseball klasik dan sebuah bola baseball milik Mr Scholes.
“Jadi kalian akan menjualnya?” Adam memperlihatkan kedua barang itu dan menaruhnya kembali. Kemudian ia membuka satu borgol Garry dan kemudian memasangnya di tangan kanan Phillip dengan paksa.
Ketika mereka melangkah keluar, seorang anak Meksiko mendatangi mereka dan berkata, “Tuan, mereka sudah lama mengincar Mr Scholes dan beberapa kali melukainya.”
“Kau baru saja menyelamatkan nyawa seorang polisi, nak”
Pengadilan membebaskan James dari semua tuduhan dan mengembalikan semua hak-haknya termasuk uang pensiun yang akan diterimanya beberapa bulan lagi.
***
Delapan belas tahun berikutnya dimana puluhan kasus sudah dipecahkannya, Adam mendapat promosi dan penghargaan. Ketika memasuki usia pertengahan empat puluhan, rambutnya mulai memutih di beberapa bagian, namun tidak kehilangan pesona mudanya. Malam itu ia duduk menatap foto istri dan dua anaknya. Mereka mungkin sudah tidur. Ia mengakui ada hari-hari yang hilang untuk keluarganya yang belum tentu akan terbayar. Tapi ia pria yang mencintai keluarganya. Sedangkan besok adalah hari besarnya atas sesuatu yang belum pernah terjadi di wilayahnya atau seseorang berani memimpin sebuah penangkapan seorang anak walikota. Ryan Giggs akan ditangkap setibanya di bandara tanpa pemberitahuan kepada sang ayah.
Polisi menangkap Giggs atas tuduhan peredaran heroin di Old Trafford. Hukumannya sangat berat dan membuat marah walikota Anderson. Giggs menyewa seorang pengacara mahir dari New York yang berada dibawah ancamannya atau bayaran melimpah jika bisa membebaskannya. Pada akhirnya sang pengacara mengusulkan untuk menyuap hakim dan memanipulasi pemilihan juri. Rencana itu berjalan lancar, dan dalam waktu singkat sang anak walikota dibebaskan.
Menjelang jam sebelas di malam 28 Juli, Adam duduk di sudut kafe dengan penerangan redup dan papan reklame hidup mati. Hujan turun sebelum jam sepuluh. Pelayan kafe mulai membersihkan meja-meja dan mengangkat kursi-kursi, lampu di beberapa meja belakang dimatikan. Adam membayar kopi dan pancakenya. Menghindari hujan, ia melangkah dengan terburu-buru menuju mobilnya, membuatnya hampir tergelincir dan menjatuhkan kuncinya. Ia belum sempat membuka pintu mobil ketika seseorang menarik bajunya dari belakang dan menghempasnya ke tanah. Lima pria dengan tongkat sedang menatapnya, satu dari mereka sang anak walikota, Giggs. Adam tidak bisa menunggu kesialan berikutnya, tapi sebuah tendangan mengarah ke wajahnya membuatnya tersungkur dan darah mengucur dari hidungnya. Ia bangkit dan melangkah mundur mendekati mobilnya untuk menghindari pengepungan. Giggs hanya ingin mengakhirinya segera. Ia menarik pistol dari balik jaketnya dan membidiknya. Satu tembakan memecah keheningan. Seperti nafas yang tertahan, titik-titik air hujan berhenti di pertengahan. Asap dari pistol itu menguap cepat ke udara. Itu tembakan pertama Adam dalam setahun, entah membuat sang anak walikota mati atau masih bernafas. Air mulai menggenangi di beberapa bagian dan tempat itu berada dalam kekakuan. Pelayan di dalam kafe tidak berani keluar, ia cepat-cepat menurunkan tirai dan menghilang. Adam menembak dua kali ke atas untuk menggertak. Satu per satu pergi meninggalkan sang anak walikota yang terlihat tidak bergerak..
Dalam perjalanannya ke pengadilan, Adam dikawal oleh seorang detektif muda berwajah latin. Ruangan di dalam mobil terasa panas sehingga ia meminta sang detektif muda untuk membuka kancing bajunya. Sang detektif muda tidak canggung mendekati tawanan barunya itu, bahkan ia menawarkan sebatang rokok untuknya. Tapi merokok akan membuat ruangan lebih panas.
Detektif muda itu sepertinya tipe orang yang menyenangkan dan asik diajak bicara sepanjang 15 mil perjalanan. Sebenarnya Adam mengenalinya dari berkas yang diterimanya beberapa waktu lalu, tapi ia lupa nama anak baru itu.
“Siapa namamu, detektif?”
“Tevez. Carlos Tevez”
Adam menarik nafas panjang, mengembuskannya perlahan dan tersenyum. Ia berkata, “Aku dulu sepertimu. Muda, berambisi tapi selalu mengikuti aturan. Dua puluh empat tahun aku menjadi polisi, tapi harus berakhir seperti ini. Tangan dan kaki dirantai, terkurung dalam mobil baja. Sial, seperti monster saja.”
***
Print Artikel Ini