Apa jadinya Negri ini bila para Hakim telah menjadi terdakwa, para hakim menjual integritasnya. Itulah sinyalemen Rasulullah SAW 1400 tahun yang lalu tentang para Hakim yang terhormat ini dalam sabdanya “Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka”. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi) Continue reading Sengkon dan Karta, Pencari Keadilan yang terlupakan
Category: Hukum
Adang Darajatun Sayang Istri Atau Bersekongkol?
Luar biasa effort yang dikeluarkan semua pihak dalam mengawal kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Kasus yang juga dikenal dengan kasus cek perjalanan dan melibatkan belasan anggota dewan sebagai tersangka dan terdakwanya ini benar-benar menyita perhatian. Namun makin kesini banyak keanehan dan kejanggalan yang terungkap begitu telanjangnya.
Kasus ini aneh karena sejak awal yang dikejar oleh KPK baru kelas penerima cek perjalanan. Sejumlah mantan anggota dewan meski sebagian sepakat menolak menerima cek perjalanan, sebagian lagi mengaku menerima cek perjalanan tersebut.
Sementara itu siapa yang menjadi pemberi cek perjalanan hingga kini tidak pernah terungkap, siapa dia dan apa kepentingannya, serba tidak jelas. Misteri ini tampaknya bakal panjang jalan ceritanya.
Nunun Nurbaeti, istri anggota DPR yang juga mantan Wakapolri Adang Darajatun, banyak disebut sebagai pembagi uang suap hingga kini tak tersentuh. Kabar yang menyatakan Nunun sakit di Singapura diragukan banyak kalangan. Ia diduga sengaja bersembunyi di negeri singa demi melindungi diri dari kejaran hukum.
Nunun sebegitu kuasakah sehingga hukum pun tak bisa menjamahnya? Hingga akhirnya Ketua KPK Busyro Muqodas mengumumkan bahwa Nunun sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus cek perjalanan, beberapa hari silam. Lucunya, Busyro menuturkannya di DPR saat dengar pendapat dengan KPK komisi 3 DPR. Lebih lucu lagi Nunun ternyata sudah ditetapkan sebagai TSK sejak akhir Februari silam.
Berarti nyaris 3 bulan publik sengaja tak diberitahu status seorang Nunun.
Ada apa ini?
Saya menduga ada bargaining dibalik fakta-fakta dan lambannya penyelidikan kasus ini. Nunun konon melindungi ‘orang besar’ yang berada dibalik kasus ini. Makanya pihak keluarga sengaja mengarang alibi bahwa Nunun terganggu kesehatannya, mengalami amnesia hingga tak bisa dihadirkan di depan meja hijau.
Sikap KPK yang ambigu membuat publik menduga-duga, ada apa dengan KPK. Apakah KPK kini tak lagi independen. Akahkah KPK hanya menyentuh para pelaku tingkat bawah. Namun terhadap ‘orang atas’ itu tak punya taji sama sekali.
Dan kemarin saya melihat wawancara di TV dengan suami Nunun Nurbaeti, Adang Darajatun yang membuat saya iba. Kasian sekali cinta pak Adang terhadap istrinya sepertinya telah membabi buta. Ia nyatakan tak akan menyerahkan istrinya pada KPK meski sudah menjadi tersangka sekalipun.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan ada apa-apa antara Adang, istrinya, serta ‘orang besar’ yang berupaya dilindungi namanya itu.Benarkah Nunun adalah pemain tunggal atau pemain beranak-pinak?
Ketidak relaan Adang terhadap pemeriksaan istrinya oleh KPK sedikit banyak memperlihatkan mantan Wakapolri ini sebagai orang sok kuasa, tidak mengerti hukum dan berpeluang melakukan pelecehan terhadap rakyat sebagai pemegang keadulatan.
Mengapa Adang begitu takut dan protektifnya terhadap Nunun ? Bukankah jika ia menyerahkan istrinya untuk diperika di KPK, maka kasus ini akan terang benderang. Bisa saja di persidangan Nunun tak terbukti bersalah dan ia harus dibersihkan namanya. Kenapa kemungkinan semacam ini tak dipikirkan?
Melindungi istri dan keluarga adalah kewajiban seorang suami. Namun perlindungan seperti apakah yang bakal kita berikan jika ternyata ada anggota keluarga tersangkut kasus hukum.
Pak Adang, menyerahkan pelaku kejahatan bukan berarti menjebloskan ke penjara. Justru menghadiri persidangan adalah bentuk penghormatan terhadap institusi untuk menjelaskan sejelas-jelasnya mengenai persoalan tersebut.
Publik menunggu pak Adang. Akankah Adang bakal menyerahkan istrinya demi tegaknya persoalan? Ataukah membiarkan satu persatu terdakwa lain masuk penjara dan berujung pada kematian seperti dialami Poltak Sitorus dari PDIP ? Pilihan ada pada Adang Darajatun, akankah ia menjadi pecundang dengan ‘menyimpan’ seorang Nunun ataukah sebaliknya.
Kita tunggu langkah kuda KPK!
Pemerintah Perlu Revisi SKB 3 Menteri
Pemerintah Pusat sepertinya hendak melepas tanggung jawab dalam kasus kekeraasan terhadap penatua dan pendeta HKBP Ciketing,Bekasi. Dalam pernyataannya, pemerintah menganggap kasus ini bersifat lokal dan karenanya menjadi ranah tanggung jawab Gubernur dan Walikota Bekasi untuk mencari penyelesaiannya. Padahal , kasus ini sesungguhnya berpotensi terjadi di seluruh wilayah Indonesia dan menimpa semua agama karena akar masalahnya justru bermula dari kebijakan pusat melalui SKB 3 Menteri yang mengatur persyaratan pendirian rumah ibadah dengan harus mendapatkan persetujuan minimal 60 orang warga sekitar untuk bisa mendapatkan IMB. Dengan persyaratan ini, orang Muslim dan Kristen akan menemui masalah di Bali yang mayoritas Hindu, dan oramg Muslim, HIndu, Budha akan kesulitan di Papua,Sulut, NTT dan Tapanuli Utara yang mayoritas Kristen. Bila hal ini terjadi, maka bangunan NKRI 17 Agustus 1945 yang kita jaga dan rawat selama ini tinggal menunggu waktu untuk runtuh berkeping-keping.
Pendirian tempat ibadah seharusnya tidak dinilai dari segi kuantitas penganut agama tersebut di wilayah tersebut tapi dari segi karakteristik dan kemampuan jemaat itu sendiri. Dalam agama Islam misalnya ada Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah dan berbagai kelompok baru yang bermunculan saat ini. Meski keyakinan sama, namun tetap saja ada perbedaan dalam implementasi dan tata cara ibadahnya. Adalah wajar bila kemudiaan terjadi pengelompokan tempat ibadah sesuai ibadahnya sebagaimana kita lihat dalam kasus penyerangan mesjid Ahmadiyah. Mungkin antara Muhammadiyah dan NU pun ada perbedaan sehingga bisa saja beribadah di tempat yang berbeda. Mohon dikoreksi bila saya salah.
Dalam agama Kristen pun terdapat berbagai aliran yang jumlahnya mungkin lebih banyak dari aliran dalam agama Islam. Selain Katolik dan Protestan yang sudah berbeda sejak Renaissance, dalam Protestan sendiripun terpecah dalam berbagai aliran seperti Lutheran, Calvinis, Pentakosta (Karismatik), Advent. Dalam Lutheran sendiri terdapat berbagai gereja yang berbasis nasionalis maupun etnis seperti GKI (Nasionalis), HKBP (Batak Toba), GKJ (Jawa), Gereja Toraja,dll.
Masing-masing jemaat gereja tentu membutuhkan tempat ibadah sesuai dengan jumlah maupun penyebaran geografis tempat tinggal jemaatnya. Dalam kasus HKBP di Bekasi misalnya, saat ini terdapat gereja HKBP di Perumnas 2, Jati Asih, Rawa Lumbu,dll. Pendirian HKBP di lokasi baru seperti di Kelurahan Mustika Jaya dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan beribadah dari jemaat dalam jarak radius sekian kilometer dari lokasi tersebut. Tujuannya tentu agar mereka tidak perlu pergi terlalu jauh yang menyulitkan untuk membawa keluarga dan dari segi biaya transportasi akan lebih murah. Jadi sama sekali tidak bertujuan penyebaran ibadah ke masyarakat sekitarnya seperti dikhawatirkan beberapa pemuka agama.
Ada beberapa tindakan preventif yang harus diambil pemerintah pusat untuk menghindari kasus yang sama terulang kembali. Pertama, pemerintah harus segera merevisi SKB 3 menteri tersebut dengan dengan aturan yang lebih mempermudah setiap umat beragama membangun tempat ibadah karena hal tersebut adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Sebagai contoh untuk pengurusan IMB untuk tempat usaha ,hanya butuh persetujuan warga sekitar yang diwakili oleh warga yang berbatasan langsung dengan bangunan tersebut, Ketua RT/RW, Kelurahan, Kecamatan dan Dinas Tata Kota. Dengan prosedur yang sudah ada ini, akan lebih mempermudah pengurusan ijinnya.
Kedua, Pemerintah di tingkat daerah bersama pemuka agama harus mensosialisasikan kepada masyarakat luas bahwa pendirian tempat ibadah tersebut bukanlah untuk mengajarkan agama tersebut kepada penganut agama lain di sekitarnya namun karena kebutuhan internal. Bila ternyata ada pemaksaan agama kepada penganut lain, aparat hukum boleh mengambil tindakan tegas sesuai aturan yang berlaku.
Kepada pihak-pihak yang sedang mengurus perijinan, seperti HKBP Ciketing, agar tetap mengikuti aturan pemerintah yang masih berlaku dengan tidak melakukan ibadah maupun pembangunan di tempat tersebut hingga Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) disahkan. Organisasi agama adalah bagian dari masyarakat yang wajib tunduk pada aturan pemerintah. Yang harus dilakukan adalah menjalin komunikasi dengan pemerintah agar aturan-aturan yang mempersulit bisa diubah sehingga pelayanan dan pengembangan jemaat menjadi warga negara yang baik dan bertanggung-jawab bisa dilakukan dengan lebih baik.