Image by Google
Ingatkah kau tentang satu hari di Februari yang berpayung rinai hujan?
Hari dimana kita menyamakan lintasan waktu pada satu frekuensi.
Aku luluh pada caramu menatapku,
Tatapan yang hanya ada pada hening malam,
Pada kesunyian kala embun bertudung pagi.
Tatapan yang entah bermakna apa, tapi begitu kuat mengikat.
Teringat hari-hari beraroma biru yang tlah jauh berlalu,
tentang cerita yang tersimpan di langit berwarna tembaga.
Ketika aku lebur pada ketidak berdayaan rasa,
Ketika hatiku menujumu.
Entah jika bagimu hanya parody cinta dari sekian kisah yang kau miliki.
Bagiku tepat menghujam meninggalkan luka teramat dalam.
Aku masih bertanya disetiap musim yang terlewati,
Mengapa tatapan matamu masih memenjaraku ?
Serupa opium yang menghalusinasiku pada mimpi semu.
Mematikan hati sebelum mati itu sendiri.
Dear,…
Jika bagimu aku adalah senja,
Maka bagiku kamu adalah ingatan yang tak kunjung usai.
Aku akan berjalan seperti kau yang tlah melangkah
Meski hatimu dan hatiku tak bertemu dalam garis takdir,
Kenang aku,… seperti kusimpan tatapan matamu dan kenangan yang menyertainya.
Kuabadikan pada rintik derai hujan, pada arah jalan pulang, pada langit yang temaram…
Love,… Berbahagialah, genapi bahagiaku.