Begitu banyak tulisan tentang guru di berbagai media. Seolah-olah hanya guru yang disalahkan dalam lemahnya ranah pendidikan di negeri ini. Para dosen di perguruan tinggi tak mau disalahkan, sebab kunci kuatnya pendidikan terletak pada guru. Padahal kita melihat, kualitas guru kita menjadi kurang baik lantaran rendahnya mutu dosen di tingkat perguruan tinggi . Terutama dosen-dosen di lembaga pencetak para guru. Silahkan anda lakukan penelitian, pastilah anda akan mendapatkan kenyataan itu. Tak usah marah, mari kita sikapi dengan cara yang bijaksana.
Guru di sekolah, dan dosen di perguruan tinggi seharusnya berjalan seia sekata sesuai dengan harapan undang-undang guru dan dosen. Mereka harus memperbaiki cara mengajarnya, dan mampu berkomunikasi dengan baik kepada peserta didiknya. Interaksi menjadi indikator nyata bahwa terjadi komunikasi yang harmonis antara pendidik dengan peserta didiknya. Pembelajaran yang menyenangkan terjadi di antara keduanya. Guru dan dosen harus terus belajar dan mengupdate dirinya.
Guru adalah sosok professional dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu guru harus banyak membaca buku. Rajin mencari informasi baru di internet dan menciptakan konten-konten edukasi. Guru harus mengupdate pengetahuan baru dari buku dan sumber-sumber lainnya.
Dari banyak membaca itulah akan terasa betapa luas ilmu pengetahuan, dan betapa sedikitnya ilmu yang kita kuasai. Bila guru banyak membaca, maka dia tak akan pernah kehilangan ide dalam mengajar dan melakukan inovasi baru dalam pembelajaran. Guru akan seperti mata air yang tak akan habis airnya dan terus mengalir dari atas hingga ke bawah
Dosen adalah guru yang mengajar di perguruan tinggi. Negeri ini membutuhkan banyak dosen yang berkualitas untuk mencetak para guru. Dosen yang berkualitas akan melahirkan mahasiswa yang berkualitas pula. Oleh karena itu sudah sepatutnya dosen-dosen kita berpendidikan minimal S3 dan lulus dari perguruan tinggi terpercaya dan terakreditasi. Sehingga gelar doktor yang disandangnya bukan hanya sekedar gelar, namun bermanfaat buat orang banyak keilmuannya.
Kita melihat sedikit sekali doktor-doktor bergelar S3 yang mau turun gunung berbagi ilmu pengetahuannya. Kita mungkin mengenal Pak Onno W Purbo, dan Pak Romi Satria Wahono. Kedua doktor ini sangat banyak memberikan ilmunya kepada orang lain. Mereka mau turun gunung dan memberikan ilmunya. Kita membutuhkan doktor-doktor seperti itu, dan bukan doktor yang hanya duduk tenang di ruangan ber-AC.
Kita kehilangan dosen-dosen yang memiliki idealism tinggi dan senang berbagi ilmunya. Mereka pun senang membuat dan menyusun buku. Mereka mengikat ilmunya dengan buku-buku yang sangat menginspirasi pembaca.
Buku adalah jendela dunia. Tanpa buku kita mungkin belum tahu apa-apa. Banyak buku terlahir setiap harinya. Anda bisa mencarinya di google books, dan anda akan takjub dengan banyaknya buku yang terbit setiap harinya.
Sayangnya, budaya membaca atau literasi masyarakat kita masih lemah. Terutama dikalangan guru dan dosen. Akibatnya, banyak guru dan dosen yang harus diupdate keilmuwannya. Mereka harus banyak membaca dan belajar secara mandiri. Bila mereka terus belajar, maka kurikulum baru yang dibuat sendiri oleh mereka akan terasa inovasinya, dan bermanfaat buat para peserta didiknya.
Dosen sebaiknya menghindari proyek dan fokus dengan keilmuannya. Sebab sering ditemukan, ada dosen yang hanya datang dalam 3 pertemuan saja dengan mahasiswanya dalam satu semester. Untuk hal ini sudah menjadi buah bibir bagi mahasiswa yang sering ditinggalkannya.
Kurikulum Baru sebentar lagi akan diluncurkan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan. Terutama kurikulum untuk di tingkat sekolah (SD/SMP/SMA/SMK, dan sederajat). Semoga diikuti pula dengan kurikulum di tingkat perguruan tinggi. Kalau hanya di sekolah saja kurikulum berganti, sementara di perguruan tinggi tidak diperbaiki, maka jangan salahkan guru bila kita tak mendapatkan guru-guru yang cerdas dan berkualitas. Sebab sumbernya ada dalam lembaga pencetak para guru.
Mari sama-sama kita kuliti kelemahan dan kelebihan kurikulum baru. Teruslah memberi masukan kepada pemerintah, dan teruslah menulis bila anda merasa tidak puas dengan kurikulum baru. Biasakan berpendapat dengan tulisan, itulah salah satu cara kita sebagai masyarakat intelektual agar dapat didengar.
Bila ternyata tulisan kita juga tak didengar, maka segeralah membangun kekuatan social media. Cari orang yang sevisi dengan anda, maka revolusi pendidikan pun akan segera terjadi. Persoalannya sekarang, siapakah di antara kita yang siap menjadi pelopor dan bukan pengekor? Harus ada pemimpin yang berani dan terus mengkritisi kurikulum baru. Bukankah kurikulum dibuat untuk kebaikan kita semua?
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
http://wijayalabs.com/