Saya terkejut mendengar pengakuan ahmad fathonah (AF) di televisi. Ternyata af punya hutang sama ustadz lhi dan dia tak berniat memberikan uang 1 milyard utk pks. Af pun minta maaf kepada pks atas perilakunya yang tidak terpuji. Terbukti, af bukan kader pks, dan hanya teman ustadz lhi saja.
Kebenaran semakin terkuak. Pada akhirnya kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri. Kekuatan sosial media yang tidak memihak akan menjadi senjata yang membuktikan kebenaran itu.
Saya bukan kader pks. Bukan juga simpatisannya. Namun saya melihat pks akan diuntungkan dengan pernyataan af ini. Kita tunggu saja persidangan berikutnya. Pasti akan semakin seru.
Publik juga semakin tahu bahwa opini media yang mencap pks menjadi partai korupsi sapi akan membuat pks menjadi semakin bersinar di pemilu 2014. PKS akan terbukti menjadi partai yang amanah dan jauh dari korupsi. Semoga saja demikian.
Perlu kita ketahui, setiap kader pks yang dijadikan tersangka oleh kpk terbukti tidak bersalah di pengadilan. Kasus misbahkum misalnya, ternyata di persidangan beliau terbukti tidak bersalah. Akankah Ustadz LHI akan bebas?
Akan ada episode baru tentang anas urbaningrum dan andi malaranggeng dari partai demokrat yang akan jauh lebih dahsyat dari kasus af dan lhi ini. Semoga media bisa fair memberitakannya.
Saya yakin ustadz lhi tak bersalah dan pasti beliau akan bebas karena bukti yang ada dapat dipatahkan di pengadilan. Nama pks pun semakin bersinar dan kita akan melihat pks akan menemui kejayaannya.
Pengakuan ahmad fatonah atau af jelas sangat mengagetkan publik. Apalagi acara itu disiarkan secara live di televisi. Semoga kebenaran terkuak dan pks menjadi partai teladan dambaan umat.
Hari Minggu tanggal 24 Februari 2013 merupakan saat yang telah ditentukan dimana rakyat Jawa Barat menentukan pemimpinnya selama lima tahun kedepan.
Prosesi pergantian pemimpin di Jawa Barat ini sangat menarik untuk dicermati setelah beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia disedot perhatiannya di ajang pilgub DKI Jakarta, bukan apa, karena provinsi inilah propinsi terbesar setelah provinsi DKI Jakarta dari sisi jumlah penduduk maupun aktivitas ekonominya.
Sudah banyak analisis dan prediksi atau hal-hal lain yang berkaitan dengan perhelatan akbar ini dibahas dalam kesempatan berbeda diberbagai media, pada kali ini penulis akan mengupas sisi marketing dalam pilkada jabar dari perspektif kacamata orang awam.
Saya akan mengulas/membandingkan secara singkat strategi marketing yang digunakan oleh tiga kontestan yang menurut saya ketiganya berpeluang dan bersaing ketat meraih kursi Jawa Barat 1 (JB1). Mereka adalah kontestan nomor 3 (Dede Yusuf - Lex Laksamana); kontestan nomor 4 (Ahmad Heryawan - Dedi Mizwar) dan kontestan nomor 5 (Rieke Diah Pitaloka - Teten Masduki).
Ketiga kontestan ini memiliki persamaan dan perbedaan strategi marketing yang menarik untuk diulas, diantaranya adalah terlihat pada tiga faktor, pada faktor Figuritas; faktor Simbol dan faktor Slogan.
Faktor Figuritas;
Seperti kita ketahui bersama bahwa ketiga kontestan ini memunculkan kesamaan strategi marketing dari sisi figuritas, yaitu ketiganya sama-sama mengusung artis sebagai magnet yang menarik calon pemilihnya (vote getter).
Nilai lebih pada faktor figuritas ini dimiliki oleh kontestan nomor 3 dan nomor 5, dimana figur artis pada kedua kontestan ini memiliki pengalaman sebagai mantan wakil gubernur (Dede Yusuf) dan mantan anggota DPR (Rieke DP), sementara Dedi Mizwar walaupun memiliki karakter dan penokohan yang kuat, yang bersangkutan sangat minim pengalaman pada level pemerintahan maupun kelembagaan.
Namun terlepas dari kelemahan faktor figur artis, kontestan nomor 4 ini anehnya, justru lebih menonjolkan figur kedua kontestannya ketimbang partai pengusungnya, paling tidak itu yang terlihat pada banner dan spanduknya yang sebagian besar tidak menampakkan logo partai pengusungnya.
Faktor Simbol;
Seperti halnya pada perhelatan pilgub DKI Jakarta, pada pilgub Jawa Barat kali ini memunculkan strategis marketing berupa simbol-simbol yang unik.
Kontestan nomor 3 memunculkan simbol berbentuk oval berwarna biru muda dengan larikan warna biru gelap, hijau dan merah, dugaan penulis simbol mereka merepresentasikan keragaman warna partai pengusungnya. Namun sepertinya penulis mendapatkan adanya inkonsistensi dalam mensosialisasikan simbol ini kepada calon pemilih, karena simbol ini hanya dimunculkan pada awalnya saja.
Adalah kontestan nomor 4 yang menurut saya pertama kali di pilgub jabar ini yang memunculkan simbolnya yang kreatif sekaligus unik berupa simbol kancing merah, kreatif dan unik karena menurut saya kontestan nomor 4 ini (mungkin) belajar dari kesuksesan Jokowi dengan simbol kotak-kotaknya, namun oleh mereka ide ini mereka kembangkan lebih kreatif lagi berupa kancing, dan penulis menduga keunikan tanda silang yang disamarkan menjadi empat atau lima larik benang yang mengikat kancing tersebut sebagai kode yang mengarahkan pemilih untuk mencoblos simbol kancing merah ini, kreatif dan cerdas bukan.
Nah… Simbol yang dunakan oleh kontestan nomor 5 sepertinya tidak asing lagi bagi kita, bagaimana kuatnya brand simbol ini dimunculkan dan dipopulerkan oleh Jokowi pada pilgub DKI. Ya… Simbol yang mereka gunakan sebagai strategi marketing menjaring pemilih adalah dengan simbol kotak-kotak, namun beberapa hal yang sepertinya dilupakan bahwa brand ini menjadi juara di pilgub DKI kemarin adalah semata-mata karena kepopuleran Jokowi sebagai icon pengusungnya dan lagi bukti bagaimana simbol ini tidak berhasil mengangkat salah satu kontestan pada pilgub provinsi Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu.
Faktor Slogan;
Terdapat beberapa slogan yang dipergunakan oleh masing-masing kontestan, namun menurut pandangan penulis terdapat satu slogan yang mereka pergunakan sebagai slogan utama, walaupun terdapat beberapa inkonsistensi dari ketiganya dalam penggunaan slogan dalam spanduk dan banner mereka.
Adapun penggunaan slogan dapat penulis paparkan sebagai berikut:
Slogan “Bekerja dengan Hati” merupakan kalimat slogan yang digunakan oleh kontestan nomor 3, untuk kontestan nomor 4 dengan slogan “Lebih Dekat dan Melayani” dan kontestan nomor 5 dengan slogan “Jabar Baru, Jabar Bersih”. Sepertinya nafas dan jiwa yang ingin dimunculkan dalam keseluruhan slogan ini dapat kita resapi dan ambil maknanya.
Namun sebagai catatan untuk kontestan nomor 5, sepertinya mereka tidak lepas dari bayang-bayang euforia kemenangan pada laga pilgub DKI yang lalu, dimana segala unsur strategi membrandingkan kontestannya mereka copas bulat-bulat, mulai dari simbol yang dipergunakan (kotak-kotak) maupun slogan yang dipergunakan (Jabar Baru vis a vis dengan Jakarta Barunya Jokowi Ahok).
Lantas pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah:
Siapakah kemudian yang akan menjadi juara dalam ajang perebutan kursi kepemimpinan Jawa Barat 1 (JB1) ini??
Dan jawabannya adalah bukan pada hasil survei atau prediksi, tapi kita akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut tidak akan lama lagi, paling tidak dalam 2 atau 3 hari kedepan.
Semoga Jawa Barat selama 5 tahun kedepan akan dipimpin oleh pemimpin yang amanah, pro kepada keadilan untuk rakyat…. Yah… Semoga…
Demikian Adanya
~TheEnd~
@ludwinardi | 313FE116
www.ludwinardi.com
Saya mengagumi kedua sosok ini. Jok0wi dan Anas Urbaningrum. Seandainya Anas Urbaningrum tak tersandung kasus korupsi seperti yang ditiupkan oleh Nazarudin, pastilah nama Anas akan lebih tenar dari Jokowi. Sekarang tinggal menunggu waktu saja, Bisakah Anas kembali seperti dulu lagi? Di puja dan puji di sana sini. Kita pun beraharap sosk muda ini menjadi presiden di masa yang akan datang.
Jokowi sekarang menjadi icon yang banyak disenangi orang. Beliau bukan ketua umum partai. Bukan pula ketua dewan pertimbangan partai. Jokowi adalah anggota PDIP yang sangat menghormati Ibu Megawati. Walaupun kita sama-sama tahu, popularitas Jokowi sudah mengalahkan Megawati. Itulah fakta yang terjadi saat ini. Jokowi memang benar-benar berada dalam popularitas yang tertinggi.
Jokowi dan Anas Urbaningrum sekarang ini memang sedang menjadi buah bibir di masyarakat. Hanya saja ada perbedaannya. Jokowi kini sedang dipuja-puji, dan Anas sedang dicaci maki. Tinggal menunggu waktu saja, dan angin berhembus ke arah mana. Bila Anas sanggup membuktikan dirinya bersih dan tidak tersangkut kasus korupsi, maka namanya akan harum seperti Akbar Tanjung, ketua Umum Golkr pada masa itu. Anaspun tak akan digantung di Monas, seperti Sindiran Nazarudin agar Jokowi bersih-bersih Monas.
Politik memang selalu berubah-rubah. Suatu saat dia menjadi kawan, tapi di saat yang lain dia menjadi lawan. Kita masih ingat duet SBY-JK yang cuma bertahan hanya 5 tahun. Kita pun bisa melihat duet gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat, Ahmad Heriyawan, dan Dede Yusuf yang hanya seumur jagung. Masih menjabat saja sudah terlihat tak saling tegur dan bersinergi. Masing-masing lebih mengedepankan citra dirinya. Kita lihat saja apakah salah satunya terpilih menjadi gubernur Jawa Barat berikutnya?
Jokowi dan Anas Urbaningrum semoga tetap santun dalam bicara. Saya suka keduanya. Gaya bicaranya dan pandai sekali bermain peran. Inilah pemimpin yang kita harapkan. Namun politik terus saja berubah. Bisa jadi Jokowi kini di puja puji, tapi suatu saat bisa jadi nasibnya akan sama dengan Anas Urbaningrum. Begitulah politik, dan kita doakan Jokowi terus menjadi pemimpin harapan rakyat. Santun dalam bicara, dan selalu rendah hati.
Melihat antusiasme teman-teman Kompasianer dan beberapa blogger ditulisannya terhadap Jokowi, saya jadi berpikir. Bagaimana bila kita ajak kopdar saja sekalian Jokowi-nya ya… Apalagi bentar lagi lebaran, sekalian silaturahim dan halal bi halal. Jadi semua teman-teman disini baik yang sudah kenal dengan Jokowi, baik yang sudah pernah bertemu, bahkan yang belum pernah ketemu dan belum pernah kenal bisa mengenalnya.
Kira-kira gimana ya respon teman-teman? Kalau teman-teman mau, saya akan usahakan untuk minta waktu beliau buat kita, atau ada teman-teman disini yang bisa menginisiasi untuk membuat acara dan bertemu dengan Jokowi secara langsung?. Saya sendiri membayangkan betapa guyub, ramai dan indahnya suasana pertemuan itu. Apakah teman-teman bersedia untuk kopdar dengan Jokowi dan mungkin juga Ahok?
Buat yang belum pernah bertemu namun mendukungnya, kesempatan bertemu ini bisa dijadikan sarana untuk menitipkan keinginan bilamana Jokowi menang. Bila Jokowi kalah, mungkin bisa dijadikan sarana untuk mempererat barisan agar Jokowi bisa terus menjadi contoh sebagai pelayan yang baik.
Buat yang belum pernah bertemu dan tidak mendukungnya, kesempatan bertemu ini bisa menjadi kesempatan untuk mempertanyakan hal-hal yang menjadi pengganjal untuk memilihnya. Juga menjadi kesempatan untuk mengenalnya lebih baik sebelum menghujat dan meremehkannya. Dan bila Jokowi kalah, tidak perlu pula untuk makin menghinanya karena adanya pemilihan ini sebenarnya wujud cinta kita terhadap bangsa dan negara.
Sudah saatnya pula, Pejabat menjadi orang dekat buat kita semua. Baik pemilih maupun bukan. Karena itulah fungsi pelayan yang sebenarnya. Anda setuju untuk kopdar dengan Jokowi?
Sepertinya Pilkada DKI kali ini bener-bener memberikan pelajaran yang sangat banyak. Dari mulai calon independen hingga pelajaran bertoleransi. Faisal-Biem berhasil menjadi calon independen dengan pemilih yang lumayan banyak dan meninggalkan simpati besar dari kalangan orang banyak. Dan sejak awal Pilkada, kemunculan cawagub Ahok telah memancing “kepentingan” etnis yang (mungkin) sedikit dibungkus bumbu Agama. Otomatis isu SARA sebenarnya sudah dimulai jauh-jauh hari.
Tentu saja, isu SARA itu boleh dan HALAL. Karena memang pada kenyataannya kita semua terdiri dari berbagai macam etnis bahkan suku. Hanya orang-orang yang mudah terpengaruh dengan “gesekan” akan perbedaan itu semua yang takut untuk membahas SARA. Berbeda dengan cara didik kita sewaktu kecil dulu, yang banyak diwarnai kepentingan penyelenggara negara, saya katakan bahwa kita perlu untuk mempelajari semua ini dengan rendah hati dan lapang dada.
Apa yang salah dengan kenyataan bahwa Ahok itu China dan bukan islam? Apakah Katolik atau apapun agamanya?. Sekali lagi, kenyataan bahwa orang-orang takut untuk menyinggung tentang SARA bahkan membicarakannya adalah karena masih banyak orang-orang yang tidak bisa menerima kenyataan dengan baik bahwa kita ini berbeda-beda. Bila orang-orang tersebut adalah muslim, maka saya katakan bahwa mereka tidak benar-benar memaknai Rahmatan Lil Alamin.
Yang menjadi kesalahan bagi kita, apabila kita terus berargumen untuk memandang perbedaan agama, etnis atau suku sebagai dasar pedoman diri sendiri untuk berpihak. Obyektifitas dalam berpihak juga sangat didukung oleh tingkat kesadaran masing-masing pribadi. Semestinya kepentingan (obyektifitas) yang muncul adalah untuk kemajuan. Entah kemajuan dalam sosial, budaya, maupun daerah. Tidak selalu pula orang daerah asli bisa menjadi ahli untuk daerahnya.
Ada sebuah analog, Orang asli dari sebuah daerah (misalnya Jog-jakarta) cenderung akan merasa lebih hebat dari orang-orang pendatang lainnya di daerahnya tersebut. Kenapa begitu? Karena sebagai manusia, memang sudah trah-nya sebagai jago kandang. Sehingga sering lupa bahwa kemajuan daerah tersebut banyak berhasil karena peran serta orang-orang dari luar daerah, dan orang-orang aslinya tersingkir ke sudut-sudut kota. Semua ini kesalahan mereka sendiri yang cenderung “merasa bisa” bukan “bisa merasa” karena menganggap diri sebagai pemilik tanah/daerah.
Ini hampir mirip dengan pendidikan lingkungan yang terjadi hampir puluhan tahun di hampir semua wilayah Indonesia. Bahwa sebagai orang islam, kita harus benci orang china. Karena orang-orang china banyak merugikan dan serakah dengan uangnya dan banyak alasan-alasan lainnya. Dulu, sewaktu kecil sangat saya sadari bahwa saya pun sempat membenci etnis China disebabkan oleh pendidikan lingkungan yang ada di waktu itu.
Setelah sekian tahun hidup dan sekarang saya menjadi seorang pengusaha, saya menjadi tahu bahwa kebencian yang dulu ditanamkan oleh lingkungan hanya karena kecemburuan ekonomi. Karena umat islam banyak yang miskin dan orang china banyak yang kaya di daerahku. Padahal, sebenarnya Umat Islam sendirilah yang SALAH. Banyak orang islam yang tidak berusaha lebih keras untuk menjadi lebih kaya dari etnis lain. Itu disebabkan oleh ketidakmampuan orang islam sendiri. Sehingga kecemburuanlah yang akhirnya dimunculkan untuk menutupi ketidakbisaannya. Dan kembali lagi, ini karena banyak orang Islam tidak belajar untuk “bisa merasa” namun terus menghidupkan “merasa bisa”.
Dari pandangan di atas, pada dasarnya SARA itu diperbolehkan dan HALAL. Dan menyebut bahwa Foke - Islam dan Jokowi - Jawa itu aneh. Mengapa begitu, karena Jokowi juga Islam. Mungkin akan lebih baik bila menyebutnya Foke - Betawi - Islam dan Jokowi - Jawa - Islam. Lah terus emang kenapa??? Saya yakin pembaca lebih paham dari saya…
Dan sekarang, para penghembus isu SARA akhirnya merasa bahwa yang mereka lakukan adalah Blunder. Karena pihak yang diserang dengan isu SARA justru semakin mendapatkan simpati yang lebih banyak. Dan untuk membela diri dengan semua itu, maka para penghembus isu sengaja menghembuskan bahwa semua isu itu sengaja dihembuskan untuk Self Victim oleh pihak korban sendiri.
Duh makin aneh saja orang-orang ini demi kepentingan. Mereka yang selalu sadar dan mengatakan “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan” segera lupa ketika sedang memiliki kepentingan. Dan siapapun orang yang menggunakan segala cara untuk menang, maka ketika menang nanti akan menjadi orang yang congkak. (HR. Kika Syafii).
Awalnya saya agak bingung ketika seorang teman guru di tempat sekolah kami mengajar bilang ke saya, “sekarang ada tokoh baru pak, SM2 (read: SM two)”. Saya yang telat mengamati perkembangan konstelasi politik di Kota Bekasi karena lagi “demen” mengamati perkembangan di kabupaten Bekasi sempat bertanya, “SM2 apaan pak?”. Itu loh, isterinya M2 mo nyalonin walikota, jawab teman saya. What?? Are you serious..? keheranan saya memantulkan pertanyaan ke teman saya tersebut.
Ternyata yang dimaksud SM2 adalah singkatan dari Sumiyati Mochtar Mohammad, isteri sang walikota Bekasi yang sudah dipenjarakan oleh KPK karena kasus korupsinya. Benar saja, saat beberapa kali melintasi daerah Kota Bekasi sudah banyak terpampang spanduk sosialisasi (istilah lain dari kampanye) di seantero kota Bekasi. Jargonnya pun gak jauh dari suaminya dulu waktu kampanye tahun 2008, pendidikan, kesehatan gratis ditambah infrastruktur. Dengan tagline “The Next Major” wajah full sang isteri mantan walikota tersebut menghiasi media spanduk tersebut.
Menarik memang menyimak perkembangan konstelasi dan atmosfir politik kota Bekasi saat ini, apalagi pasca penangkapan walikota non aktif Mochtar Mohammad (M2/ M two) di Bali beberapa waktu lalu, membuat sang wakil Dr. Rahmat Effendi (yang akrab disapa bang pepen) menjadi Pelaksana Tugas (Plt) walikota. Hal tersebut merupakan poin plus yang bisa memuluskan destinasi beliau menuju kursi walikota. Ditambah kendaraan politik beliau juga bertambah massif dengan adanya BM Peterpen (Barisan Muda Pendukung Tetap Rahmat Effendi). Sosok putera daerah Bekasi juga menguntungkan bang pepen karena mayoritas masyarakat kota Bekasi rindu akan pemimpin yang berasal dari putera daerah pasca sepeninggalan bang/babeh (alm.) H. Ahmad Zurfaih, M.Si mantan walikota Bekasi periode 2003-2008.
Kembali ke SM2, entah apa motifnya yang jelas spanduk sudah bertebaran. Mungkin juga karena melihat konstelasi di kabupaten Bekasi yang pada pemilukada periode ini mampu dimenangi oleh seorang perempuan menuju Bupati Bekasi yaitu dr. Neneng H. Yasin yang menggandeng Rohim Mintareja. Di sisi lain, muncul spekulasi juga bahwa langkah ini untuk merevitalisasi kredibilitas sang suami, M2 yang sudah kadung terlabelkan sebagai koruptor oleh masyarakat (simak perjalanan kasusnya disni). Nampaknya situasi ini yang akan dimanfaatkan barisan pendukung M2/SM2, seperti kita lihat di beberapa media masih banyak yang mendukung M2 untuk dibebaskan dan menghalangi penjemputan paksa, bahkan menjaga rumah dinasnya di lingkungan pemda kota Bekasi.
Ada juga asumsi umum masyarakat yang mengatakan sudah lumrah bahwa incumbent rentan “bercerai” ketika akan maju di pemilukada kembali masing-masing. Tak ada salahnya selagi prestasi keduanya (walikota dan wakil) bisa ditimbang dan dirasakan oleh masyakarat. Namun kalau sudah terpidana jelas itu preseden buruk bagi profil Bekasi yang mempunyai visi Bekasi Cerdas, Sehat, Ihsan. Bukankah perilaku koruptif jelas telah mereduksi makna ihsan sehingga nuansa ihsan di kota Bekasi menjadi bias.
Namun hemat saya, masyarakat kota Bekasi sudah bisa mencerna dan memfilterisasi dari beberapa balon (bakal calon) yang sudah mengambil langkah aba-aba menuju pemilukada kota Bekasi Desember mendatang. Sudah banyak beberapa balon yang mengajukan niatnya memimpin kota Bekasi, kurang lebih sekitar 10 orang (sumber: radar bekasi) baik dari kendaraan partai politik dan ada juga yang independen.
Kota Bekasi merayakan hari jadinya yang ke 15 hari ini (Sabtu/10/03/12) dan besok (Minggu, 11/03/12) akan disusul perhelatan hajat kakak kandungnya (Kabupaten Bekasi) yang akan menyelenggarakan pemilukada calon bupati dan wakil bupati. Sebetulnya saya tidak terlalu interes memperbincangkan konstelasi politik di kabupaten (jadi kayak pengamat), dikarenakan sudah kurang tertarik dengan dunia politik sejak mengabdikan diri di dunia pendidikan. Selain itu juga saya tidak akan memilih mereka karena saya warga Kota Bekasi bukan Kabupaten. Namun, adanya beberapa sharing dan komunikasi dengan teman-teman di kabupaten sehingga membuat saya ingin berbagi opini.
Incumbent saat ini adalah Dr. Sa’dudin sebagai bupati dan Drs. Darip Mulyana sebagai wakil bupati. Keduanya merupakan pemenang hasil pilkada sebelumnya dengan nomor urut satu. Saat ini, keduanya memilih “bercerai”. Dr. Sa’dudin menggandeng Dr. Jamalulail Yunus mendapatkan nomor urut 2 yang diakronimkan SAJA. Sedangkan Drs. Darip Mulyana menggandeng Jejen Sayuti nomor urut 3 diakronimkan DAHSYAT. Di bagian nomor urut 1 ada pasangan dr. Neneng H. Yasin dengan Rohim Mintareja (NERO) nomor urut 1.
Dilihat dari ketiga pasangan nampaknya secara kredibilitas akademik pasangan nomor urut 2 lebih diunggulkan. Pasangan ini keduanya bergelar doktor. Sedangkan nomor urut 3 punya pengalaman cukup mumpuni di bidang birokrasi, sehingga banyak asumsi masyarakat kabupaten Bekasi yang mengatakan bahwa Darip sang birokrat handal. Benarkah? Nanti dulu jawabnya. Untuk pasangan nomor urut 1, masyarakat masih menilainya terlalu muda. Namun apakah berarti yang muda tidak punya kompetensi?
Berdasarkan hasil dari tayangan live event Debat Kandidat di Metro Tv Rabu kemarin (07/03/12), banyak hal yang bisa ditarik kesimpulan. Namun debat kemarin juga belum mencerminkan seutuhnya kredibilitas dan integritas semua pasangan. Bahkan sang moderator (host) Fessy Alwi sempat mengatakan kepada mereka sebelum jeda iklan, “tolong jawab yang serius karena ini ditonton masyarakat anda”. Hal tersebut mengindikasikan jalannya acara terkesan main-main, kurang matang, tidak ada perdebatan disitu.
Penilaian saya pun persentase terbesar jatuh ke pasangan SAJA (nomor urut 2). Dari beberapa paparan, pertanyaan dan jawaban yang disampaikan keduanya mempunyai kekuatan komunikasi politik yang berbeda dibanding kedua pasangan lainnya. Hal itu mungkin karena keduanya adalah doktor, atau karena Sa’dudin yang sekarang menjabat Bupati sehingga bisa dengan mudah berdialog.
Debat biasanya membutuhkan keahlian khusus disamping menguasai program yang dia susun. Namun juga harus bisa menyampaikan secara singkat, cepat, padat dengan waktu yang ditentukan. Pasangan SAJA unggu dalam aspek itu. Sedangkan pasangan NERO dan DAHSYAT masih gamang dalam berdebat. Bahkan Darip Mulyana sempat meminta pertanyaan dari Jamalulail Yunus untuk diulang ketika menanyakan tentang MDGs. Muncul spekulasi apakah karena dia tidak tahu apa itu MDGs? Padahal katanya dia birokrat handal. Atau mengulur waktu agar bisa mencari jawaban yang pas. Jelas itu point yang merugikan bagi pasangan. Terkesan tidak siap dengan pertanyaan dan gagap dalam menjawab. Bahkan yang lebih menggelitik adalah ketika calon wakilnya, Jejen Sayuti malah mempermasalahkan kegiatan golf sang Bupati bukannya menanyakan yang berkaitan dengan program pemerintahan. Satu point lagi tercuri oleh pasangan SAJA. Sehingga dengan tenang dan pembawaannya yang kalem pasangan SAJA dengan mudah mematahkan pertanyaan tersebut.
Pasangan nomor urut 1, NERO juga tidak lebih unggul dibanding SAJA. Bahkan terkesan hanya mengkritisi kebijakan bupati sekarang dengan menanyakan beberapa problem klasik seperti macet. Sedangkan ketika ditanya balik oleh Sa’dudin tentang karya apa yang sudah dihasilkan Neneng sejak di DPRD Provinsi Jabar, dia menjawab hanya aspek pendanaan untuk pembangunan. Apakah ukurannya pendanaan sehingga itu bisa disebut karya? Neneng merupakan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat periode ini dari partai Golkar. Dia lebih dilihat masyarakat sebagai bayang-bayang bapaknya yaitu H. Yasin yang masih berpengaruh di wilayah Pebayuran dan sekitarnya.
Tapi bukan berarti saya pro dengan salah satu pasangan. Saya juga punya pengalaman dengan bupati sekarang, Sa’dudin yang kurang komunikatif menurut saya. Ketika masih aktif di Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi (IKAMASI)-Jogjakarta seringkali kami mengundang beliau pada acara kemahasiswaan daerah Bekasi di Jogja, namun tak pernah kunjung datang. Padahal itu sangat mendukung proses dialektika untuk perkembangan daerah. Ketika mengajukan permohonan audiensi pun tak ada konfirmasi, hanya dari ajudannya yang mendisposisikan kepada bidang lain. Dibanding dengan pejabat Kota Bekasi yang lebih aktif berkomunikasi dengan mahasiswa di daerah, Sa’dudin kurang dalam aspek ini.
Namun terlepas dari semua nilai masing-masing calon, semoga siapapun yang menang besok mampu lebih baik membawa kabupaten Bekasi ke arah perkembangan yang visioner dan transformatif. Kepada masyarakat kabupaten, selamat memilih pemimpin baru.
Masih ingat tagline: “Serahkan Saja Pada Ahli-nya”? Ya, tagline ini pernah dipakai oleh seorang Fauzi Bowo alias “Bang Foke” saat maju dalam Pemilukada DKI-Jakarta untuk periode 2007-2012 yang lalu. Walaupun saat ini tagline tersebut hanya tinggal tagline semata, karena faktanya “Ahli” saja ternyata tidak cukup untuk mengatasi ruwetnya permasalahan di Kota Jakarta.
Nah, terkait dengan kata “Ahli-nya” tersebut, sebenarnya sudah lama saya menunggu tulisan para jawara yang katanya “Ahli” dan memang terjun bebas dalam bidang politik di Bekasi, khususnya para penulis yang tergabung dalam “Beblog” ini untuk menganalisa secara lebih detail lagi tentang “Peta Politik” dalam wilayah Bekasi. Namun demikian, dari pada kelamaan menunggu analisa dari para “Ahli” tersebut, lebih baik saya saja yang menjadi “Sok Ahli”, siapa tau saja bisa ikutan kepilih menjadi jajaran “Tim Ahli” Bupati dan Wakil Bupati Bekasi pada periode mendatang.J
Bicara Indonesia, sejatinya bicara diri sendiri, bicara keluarga, bicara adat kebiasaan, bicara logika bersama. Dalam kaidah kita, seharusnya apabila ada salah satu anggota badan kita, apapun itu, pasti anggota badan lain merasakan sakitnya. Sehingga akan timbul simpati atau bahkan simpati dari satu ke lain bagian.
Bila kita berpikir ke belakang, bukan bermaksud membangga-banggakan nenek moyang, atau mungkin generasi yang tak terlalu jauh dengan kita, buyut atau canggah, misalnya. Kita serasa terharu mendengar, membaca, sejarah mereka. Mereka berjuang sepertinya tanpa pamrih apapun kecuali untuk kemaslahatan bangsa, negara dan masyarakat.
Tidak terdengar dalam sejarah, atau terbaca dari kitab-kitab sejarah yang menguraikan panjang lebar perjuangan para pahlawan bahwa mereka berjuang atas partai-partai atau golongan-golongan sempit. Sebut saja, ketika para pahlawan kemerdekaan berupaya merebut tanah air tercinta. Mereka tidak membawa bendera partai atau keluarga besar, marga dan lain sebagainya. Niatan mereka begitu tulus, bahkan mengkin tidak berpikir gaji sekalipun. Itu pun terlihat ketika para purnawirawan kemerdekaan yang sudah tua renta, terkadang diiringi dengan kepapaan mereka-mereka karena tak punya rumah. Mereka begitu semangat menceritakan gerak perjuangan semasa perang.
Mereka pun bangga akan kecacatan pisik karena resiko perjuangan. Mereka juga bangga bisa masuk keluar penjara karena pertentangan mereka dengan para penjajah. Mereka benar-benar para mujahid yang secara ikhlas mendarmakan yang mereka punya kepada negara dan bangsa tercinta.
Itu hanya spirit para buyut dan canggah kita. Saat ini, mungkin ada satu atau dua di antara ribuan tokoh-tokoh di hadapan kita ini. Saya yakin para pendahulu kita tidak paham akan demokrasi, laiknya demokrasi yang diangkut penggiat demokrasi saat ini yang membuat carut marut negeri ini.
Kadang kita malas mendengar demokrasi. Mohon maaf, terkadang demokrasi itu hanya pembohongan publik. Atau memang mungkin saja para penggiat demokrasi itu memang tak mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi di bumi pertiwi ini.
Hari-hari ini, di negeri ini tak ada yang memberikan harapan. Mungkin kalimat ini terlalu pesimistis, tetapi nampaknya harus diungkap karena memang faktanya semua tindak-tanduk para pejabat tak menggagas itu. Indonesia hari ini benar-benar sakit separah-parahnya. Banyak hal-hal yang kontraproduktif telah dilakukan oleh pejabat negeri ini. Hanya sedikit yang mampu memberikan spirit untuk rakyat, yang lain hanya bergerak demi kepentingan mereka sendiri.
Inilah beberapa keberbalikan negeri ini:
1. Para pejabat baik di pusat ataupun di daerah tidak bekerja untuk rakyat lagi. Mereka hanya bekerja untuk keluarga, partai dan keinginannya. Mereka memanfaatkan rakyat ketika akan maju menjadi kandidat pimpinan, atau anggota dewan.
2. Para pejabat lebih sibuk dengan urusan sempit mereka. Urusan sempit itu telah menyita perhatian mereka dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Mereka lebih sibuk mengurus partai, keluarga, dan mimpi-mimpi mereka.
3. Rakyat, hari-hari ini hanya diberi berita-berita korupsi, kriminal, kemiskinan, kebodohan, perselingkuhan dan lain-lain. Rakyat hanya disodori acara-acara TV yang tidak edukatif, sehingga rakyat dapat melupakan hak-haknya sebagai warga negara. Acara-acara infotainment yang lebay dan sinetron yang penuh kebohongan, perceraian, perselingkuhan, pertengkaran menjadi konsumsi rakyat kecil tiap hari. Padahal mereka susah menghidupi keluarga karena tidak menjadi perhatian pimpinannya.
4. Rakyat dininabobokkan oleh kultur pragmatisme dalam segala hal. Negara tidak tanggap dalam menghadapi kenyataan bahwa rakyat miskin tokoh. Sehingga tidak sedikit dari mereka hanya menokohkan tokoh-tokoh dalam sinetron baik, sinetron fiktif (bohong) atau pun sinetron riil yang koruptif.
5. Rakyat Indonesia, hari-hari ini, miskin karakter. Maka sering siswa perempuan terlihat berboncengan dengan siswa laki-laki laiknya suami istri dengan mesranya dengan tiada aturan yang jelas, baik dari pihak keluarga ataupun sekolah. Seakan-akan kedua lembaga pendidikan tersebut lemah tak berdaya menghadapi degradasi moral ini.
6. Lemahnya lembaga-lembaga publik dalam penegakan hukum. Lembaga-lembaga negara saat ini sedang sibuk-sibuknya begawan-begawan mereka menghadapi tuduhan korupsi. Sehingga program-program besar untuk rakyat terabaikan dan sering terpotong-potong dan tercabik-cabik karena itu.
7. Lembaga pendidikan pun lemah, tak punya kekuatan untuk bangun membangun karakter bangsa. Tentunya hal itu tak dapat dilepaskan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan ketidaksiapan para pejabatnya untuk menjalankannya. Tidak sedikit dari mereka yang juga sibuk menghadapi kasus-kasus misalnya pendistribusian dana BOS, ketiadaan gedung sekolah, pungutan liar, dll.
8. Demokrasi bukan lagi sebagai pemandu pensejahteraan rakyat. Tetapi ia sebagai alat untuk pembahagiaan golongan dan keluarga. Regulasi-regulasi yang diciptakan oleh eksekutif dan legislatif pun sering tidak menyentuh kepentingan rakyat.
9. Tokoh-tokoh penggiat demokrasi saat ini kebingungan untuk terus mempertahankan demokrasi itu sendiri. Mungkin rusaknya negeri ini juga karena demokrasi itu, karena mereka tak mampu memberi jaminan bahwa demokrasi itu saat ini, bukan dari dan untuk rakyat.
10. Dan hingga saat ini, Indonesia pun masih sedang berbalik. Entah sampai kapan kita berperang melawan ketidaknyamanan hidup di tengah demokrasi ini.
Sumber gambar: http://planet4ltair.wordpress.com/2010/08/18/65-tahun-indonesia-merdeka
Saya termasuk orang yang terlambat mengenal sosok Joko Widodo atau biasa dipanggil Jokowi yang sejak lama diperbincangkan masyarakat. Walikota Solo berperawakan kurus ini bukan walikota sembarangan pada pemilukada tahun 2010 beliau terpilih untuk kedua kalinya mempin Surakarta dengan perolehan suara lebih dari 90%. Hal ini tentu angka yang luar biasa dalam pemilihan umum, Jokowi menang mutlak. Angka ini tentu menggambarkan kecintaan warga Solo yang bersar terhadap Pemimpin yang satu ini.
Majalah Tempo menjuluki pria lulusan ilmu kehutanan UGM ini sebagai Wali kaki lima. Semua berawal dari upaya penertiban PKL yang menjadi masalah klise di daerah perkotaan, selain penertiban PKL merupakan hasil dari survei yang dilakukan tim kecil pemkot surakarta tentang keinginan-keinginan warga kota tepian Sungai Bengawan. Hasilnya: kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.
Jokowi tidak mau melakukan penertiban dengan cara-cara yang biasa dilakukan oleh pemkot di daerah lainnya, dengan cara panggil tentara, polisi atau Satpol PP lalu mengusir mereka dengan paksa. Jokowi memiliki pandangan bahwa “Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma perut sendiri, tapi juga keluarga, anak-anak”. Jokowi ingin melakukan relokasi mereka tetapi 3 periode kepemimpinan sebelumnya gagal melakukan upaya tersebut hal ini terkait ancaman PKL akan membakar kantor walikota jika direlokasi. Ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor wali kota sudah dua kali-1998 dan 1999-dihanguskan massa.
Jokowi lalu bermaksud melakukan “lobi meja makan” seperti yang ia lakukan ketika memasarkan usaha mebelnya. Lobi meja makan dilakukan dengan cara mengundang koordinator paguyuban Pedagang Kaki Lima makan siang di rumah dinas walikota. Melihat gelagat ingin dipindahkan mereka datang membawa petugas LSM untuk melakukan upaya perlawanan, sampai makan siang selesai para pedagang kaki lima kecele karena nyatanya Jokowi hanya mengundang makan siang saja “Enggak ada dialog, Pak?” tanya mereka. “Enggak. Cuma makan siang, kok,” jawab Joko.
tiga hari setelah itu mereka diundang kembali dalam acara makan siang, hingga tujuh bulan upaya Jokowi mendekatkan diri pada PKL dengan tujuan merelokasi mereka, baru pada pertemuan ke-54 Jokowi mengutarakan maksudnya pada mereka “Bapak-bapak hendak saya pindahkan” dan tak satupun dari mereka membantah
Jokowi tidak berani menjamin bahwa tempat relokasi akan membuat mereka sejahtera, tetapi hanya menjanjikan bahwa tempat PKL yang baru akan diiklankan di media cetak dan televisi selama empat bulan. Selain itu pedagang kaki lima minta diberikan kios yang baru dengan cuma-cuma, menurut Jokowi “Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan,”. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jokowi memang benar tidak menarik uang untuk relokasi tetapi para pedagang kaki lima diminta memberikan retribusi harian sebesar 6.500 sehingga dalam waktu beberapa tahun investasi pemerintah Solo sudah bisa kembali.
Kalau di Bekasi biasanya pengusiran Pedagang Kaki Lima cenderung tidak manusiawi dengan diusir, disita, dikejar-kerjar bahkan tidak sedikit yang kena pentung petugas. Tetapi Jokowi justru melakukan hal sebaliknya, Jokowi tahu bagaimana cara memanusiakan manusia yang merupakan rakyat yang memandatkan amanah kepadanya. Acara relokasi dibuat dengan meriah. Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan dihiasi dengan senyum dan rasa bangga pedagang kaki lima yang dipindahkan, Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng-simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap. Dengan rendah hati Jokowi berujar bahwa “Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan,” kata menurut Joko, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. “Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah,” katanya. Jujur saya sangat terharu mendengar ketulusan pemimpin yang satu ini
Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman. Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata tinggal sisanya masih dicarikan dana oleh pemkot.
Ekonomi Kerakyatan
Jika pemimpin daerah lain memiliki pemahaman bahwa untuk meningkatkan ekonomi daerahnya adalah dengan membuka investasi swasta sebesar-besarnya dengan memberikan peluang investasi pada sektor-sektor mewah seperti Mall, Pusat perbelanjaan, Alfamart, Indomart, dll. yang pada hakikatnya hanya mensejahterakan sebagian orang, Jokowi justru memiliki kebijakan ekonomi yang bertentangan. Hingga saat ini Joko telah menolak 12 Mall yang coba di bangun di Surakarta, kasus yang terakhir adalah penolakannya terhadap upaya Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jawa Tengah membangun Mall di tanah eks bangunan pabrik es Saripetojo. Bahkan sang Gubernur menyatakan walikota Solo ini dengan kata Bodoh, sontak pernyataan itu menyulut kemarahan warga Solo yang mengancam Gubernurnya Sendiri agar tidak memasuki wilayah Solo
Penolakan Jokowi terhadap investasi swasta sebagaimana dipahami oleh kaum kapitalis bukan tanpa alasan, dengan sederhana Joko mengungkapkan bahwa Baginya sesuatu yang kecil bisa memberikan kontribusi besar. Karena yang kecil-kecil itu lama-lama bisa menjadi besar. Bagi dia, menggarap pedagang-pedagang kecil di kota Solo jauh lebih menarik daripada sibuk menarik investor besar. Sebab pedagang kaki lima di Solo itu jumlahnya banyak, sehingga bila ditangani serius mampu menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup signifikan. Jokowi prihatin selama 40 Tahun hidupnya di Solo pasar tradisional tidak mengalami perubahan signifikan, bahkan terancam dengan kehadiran Mall. “Kalau yang mart-mart itu tidak menolong yang kecil. Investor itu tidak selalu asing. Karena kalau kecil dikelola dengan baik bisa mendatangkan yang besar. Ratusan ribu rupiah tidak apa-apa, tidak harus miliar,” begitulah alasan seorang pemimpin yang berpihak pada rakyatnya
Hal ini kondisinya terbalik di Bekasi, Pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun Mal, pasar modern, perumahan, tetapi lupa menata pedagang kecil di pasar-pasar tradisional yang mulai kembang-kempis pendapatannya.
Membangun Kota yang Berbudaya
Jokowi melakukan banyak gebrakan progresif di Solo termasuk mengembalikan Solo menjadi Kota berbudaya, caranya yang pertama Jokowi membangun brand Solo sebagai The Spirit of Java Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan
Jokowi sadar bahwa kebudayaan merupakan asset berharga bagi pendapatan daerah, Jokowi gencar melakukan event-event untuk memperkenalkan Solo, baik nasional maupun Internasional. di Negara maju masyarakat cenderung menyukai berbelanja di pasar tradisional karena harganya murah dan juga lebih variatif, selain itu pasar tradisional juga merupakan tempat membangun budaya masyarakat yang baik, karena di pasar masyarakat bersosialisasi dengan baik.
Adapun event budaya yang dilaksanakan pemkot Solo pada tahun ini diantaranya
TANGGAL
EVENT
LOKASI
30
Januari
Grebeg Sudiro
Pasar Gedhe
9- 15
Februari
Sekaten
Alun-alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta
16
Februari
Grebek Mulud
Keraton Kasunanan Surakarta
18-22
Februari
Festival Kethoprak
Gedung Kesenian Balekambang
20
Februari
Solo Karnaval
Jalan Slamet Riyadi
19
Maret
Festival Tirtonadi
Pelataran Sungai Kalianyar
4
April
Mahesa Lawung
Keraton Kasunanan Surakarta
29 April
1 Mei
Bengawan Travel Mart
Solo dan sekitarnya
29
April
Solo Menari
Jalan Slamet Riyadi
6 – 8
Mei
Festival Dolanan Bocah
Kawasan Gladhak
20 - 21
Mei
Mangkunegaran Performing Art
Pura Mangkunegaran
19 – 21
Juni
Kreatif Anak Sekolah Solo (KREASSO)
Kawasan Mangkunegaran
25
Juni
Solo Batik Carnival
Jalan Slamet Riyadi
25 – 26
Juni
Keraton Art Festival
Keraton Kasunanan Surakarta
27
Juni
Tingalan Jumenengan Dalem ke-7 SISKS XIII
Keraton Kasunanan Surakarta
1 – 3
Juli
Solo International Performing Art (SIPA)
Pamedan Mangkunegaran
4 – 6
Juli
Solo Batik Fashion
Kompleks Balaikota
Juli
Solo Culinary Festival
Kompleks Balaikota
23
Juli
Final Putra-Putri
Solo Ngarsapura
20
Agustus
Malem Selikuran
Keraton Kasunanan – Taman Sriwedari
31
Agustus
Grebeg Poso
Keraton Kasunanan – Masjid Agung
1 – 11
September
Pekan Syawalan Jurug
Taman Satwa Taru Jurug
1 – 11
September
Bakdan ing Balekambang
Taman Balekambang
29 – 30
September
Solo Keroncong Festival
Mangkunegaran
1
Oktober
Grand Final Cipta Lagu Keroncong
Solo
7 – 9
Oktober
Wayang Bocah
Gedung Wayang Orang Sriwedari
16
Oktober
Bengawan Solo Gethek Festival
Langenharjo Jurug
21 – 23
Oktober
Pasar Seni Balekambang
Taman Balekambang
28 – 30
Oktober
Javanese Theatrical
Solo
6
November
Kirab Apem Sewu
Kampung Sewu
7
November
Grebeg Besar
Keraton Kasunanan Surakarta
26 – 27
November
Kirab Malam 1 Sura
Keraton Kasunanan – Pura Mangkunegaran
5
Desember
Wiyosan Jumenengan SP KGPAA Mankoe Nagoro IX
Pura Mangkunegaran
31
Desember
Pesta Budaya dan Kembang Api Malam Tahun Baru
Solo
Begitu indah hidup masyarakat Solo yang disugukan berbagai event menarik yang secara langsung akan mendewasakan masyarakat bagaimana membangun kota wisata yang bersih, sehat, ramah, dan maju.
Ecocultural City
Kalau di Jakarta hampir tidak ada program pemerintah di era pemerintahan Fauzi Bowo yang berhasil (sept ; perda rokok, dll) maka bang kumis perlu berguru pada Jokowi bagaimana cara memasyarakatkan programnya. Untuk memasyarakatkan progam pemerintah selama lima tahun menjadi Kota Ecociltural City misalnya pemkot solo menyelenggaraan karnaval bertajuk Solo Carnaval Ecocultural City (SCEC) yang diselenggarakan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo bekerja sama dengan sejumlah pihak. Puluhan ribu masyarakat Solo ambil bagian pada pesta rakyat tersebut
Rute karnaval mulai dari Lapangan Kota Barat menuju Halaman Balaikota Solo. Kawasan depan Taman Sriwedari, bahkan menjadi lokasi yang paling padat didatangi warga dari berbagai kalangan, hingga wisatawan mancanegara. Rombongan peserta karnaval bertema Solo Sejuk Sejahtera itu dipimpin langsung oleh Walikota Solo, Joko Widodo. Di barisan paling depan, Walikota mengendalikan sendiri kuda yang menarik kereta kencana yang dinaikinya bersama Wakil Walikota, FX Hadi Rudyatmo dan Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub) RI, Bambang Susantono.
Perjalanan dari Lapangan Kota Barat dimulai sekitar pukul 14.00 WIB. Masyarakat pun segera disuguhi tontonan menarik dari ratusan peserta karnaval yang menghadirkan berbagai atraksi dan kostum unik dengan tema-tema ekologi lingkungan hidup, di antaranya air, taman atau tanaman, sawah, hutan, lengkap dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada di dalamnya.
Di belakangnya, tampil pula beberapa kelompok yang menghadirkan suasana ekologi di taman seperti bunga, juga petani yang membawa peraga, hingga memedi (orang-orangan) sawah dan wayang padi. Kelompok berikutnya menghadirkan nuansa hutan dengan menampilkan berbagai kostum merak, kijang, wanoro (kera), gunung, hingga manusia pohon dan penari jatayu.
Pada kelompok terakhir, terlihat penampilan dari Komunitas Desa Budaya Solo yang merupakan kelompok peduli sampah. Sedikitnya ada 30 orang yang masuk dalam kelompok tersebut. Di kepala mereka, terpasang keranjang-keranjang sampah. Salah seorang dari mereka melakukan gerakan-gerakan tari yang menggambarkan sebagai tukang sapu yang membersihkan sampah-sampah kota. Mereka bahkan memberikan sebatang sapu lidi yang diberi nama sapu budaya kepada Walikota.
Selain itu pada acara tersebut diresmikan dua transportasi baru kota Solo yakni railbus dan bus tingkat wisata. Keduanya akan menambah panjang deret prestasi Jokowi sebagai Walikota Solo yang sangat dicintai rakyatnya.
Walikota Tanpa Gaji
Meski lama tak mengambil gaji nya, Jokowi tidak lantas bercerita kemana-mana untuk mendapatkan simpati. Hal ini terungkap belum lama ini. Dengan malu-malu diungkapkannya ketika ditanya oleh salah satu peserta seminar “Gerakan Perempuan Mewujudkan Good Governance” di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (26/5/2011).
Sungguh saya sebagai warga Bekasi iri dengan Solo yang mendapatkan anugerah walikota yang benar-bernar bekerja untuk rakyatnya. Bagi warga Bekasi, menjelang pimilukada ini mari kita mencari sosok Jokowi pada calon pemimpin kita nantinya, bukan hanya mereka yang pandai berjanji tapi mari kita lihat attitude nya selama ini, partai, status sosial, ikatan kekeluargaan tak menjamin. Hanya attitude nya lah yang bisa kita jadikan sebagai pegangan untuk memilih.. Kita berdoa semoga akan muncul Jokowi-Jokowi selanjutnya.. Amiin ya rabb