Acara Kopdar BeBlog dadakan dan dalam skala mini akhirnya terlaksana juga. Ketika aku sedang akan mengetik di keyboard, tiba-tiba mas Yulef nelpon dan mengajak kopdar di Giant Bekasi. Langsung gak jadi negtik dan meluncur ke Giant Bekasi. Sampai di Bekasi langsung parkir mobil dan menuju masjid, pas saat aku lewat masjid ada suara Ilham yang sedang mencariku dan kamipun tertawa bersama.
“Ayuk sholat dan langsung beli tiket”, kataku
“Apa filmnya ?”
“Yang penting nontonnya bukan filmnya”
“Hahahaha….”
Akhirnya kita sepakat nonton Film The Flying Swords of Dragon Gate, sebuah film kungfu yang sudah lama kuidamkan untuk ditonton. Film The Flying Swords of Dragon Gate ini sejatinya didisain untuk tampilan 3D, sehingga ketika menyaksikan dalam dimensi 2D, masih saja terasa efek 3D-nya. Rasanya layar seperti naik turun sesuai keinginan sang sutradara. Luar biasa !
Mengapa film sederhana ini layak tonton?
Faktor pertama dan kedua boleh dibilang sama besarnya, yaitu faktor Jet Li dan Tsui Hark. Dua nama ini sangat bisa dipegang sebagai jaminan untuk melihat tontonan yang berkelas, apalagi kalau memang anda termasuk Jet Li mania, maka film ini benar-benar film yang laik tonton.
Meskipun Jet Li terlihat semakin gemuk dan semakin tua (tidak seperti foto di atas), tetapi koreografer pertarungan antara Jet Li dan para lawan-lawannya tetap sangat menarik, apalagi kalau disaksikan di layar 3D. Tali temali yang melingkar-lingkar selama pertarungan pasti membuat tampilan yang sangat cantik dalam efek 3D.
Jalan ceritanya sendiri, kalau dilihat di sinopsis yang dimuat pada situs 21cineplex sangat sederhana.
The Flying Swords of Dragon Gate menggambarkan tiga tahun setelah Dragon Inn yang terkenal dibakar saat para pemilik penginapan Jade menghilang. Sekelompok perampok baru telah mengambil alih menjadi pemilik penginapan pada siang hari dan menjadi pemburu harta karun pada malam hari. Penginapan tersebut merupakan lokasi rumor kota hilang yang terkubur di bawah gurun, dan harta yang terpendam hanya akan terungkap oleh badai raksasa setiap 60 tahun. Geng ini menggunakan penginapan sebagai pusat menemukan harta yang hilang.
Namun dalam penyajiannya tetap ada unsur-unsur yang mengejutkan serta trik yang cerdas untuk mengacaukan taktik lawan. Adu taktik dan kesalahan taktik menjadi menu sendiri dalam film ini.
Persahabatan dan cinta meski diberi porsi yang sedikit tapi tetap berbobot, khas kisah kasih dalam dunia kung fu. Cinta tidak harus saling memiliki, tapi bila harus memiliki, maka harus dikejar sampai kemanapun. Satu hal lagi yang bisa diambil dari film ini adalah “Cinta tidak bisa dibohongi!” Ketegaran tidak bisa terus tegak, dia akan tunduk dengan hukum cinta.
Gambar-gambar panorama yang ciamik juga menghiasi sepanjang film ini, selain hamparan gurun pasir yang gersang dan juga masih terlihat cantik.
Sayangnya jebakan tali yang sangat tajam kurang ditonjolkan sebagai salah satu variasi dalam film ini. Mungkin memang jebakan model ini agak terlalu mengada-ada di jaman dulu, sehingga tidak diekspose lebih jauh.
Yang paling seru memang pertarungan antara Jet Li dan para lawannya. Terlihat scene demi scene tertata rapi dan koreografinya sangat pantas diacungi jempol. Film Kung Fu tanpa pertarungan memang jadi terasa hambar dan ini rasanya masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi para sineas film kung fu mandarin. Andai saja ada film Kung Fu dengan jurus seadanya tapi lebih menitik beratkan pada sisi cerita mungkin akan menjadi tayangan tersendiri.
Red Cliff sudah kuat di cerita, tetapi tetap saja ada adegan pertarungan yang perlu koreografi khusus.
Jadi sebagai salah satu penggemar kung fu ala Jet Li, agak kurang obyektif kalau aku sarankan untuk menonton film ini, tapi sebaiknya memang tonton film ini dan berikan apresiasi untuk Tsui Hark dan Jet Li.
Selamat menonton.
+++
Gambar diambil dari FB The Flying Swords of Dragon Gate (Jet Li)